JAKARTA, KOMPAS —Pemerintah dan DPR mempercepat pembahasan revisi Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi agar selesai dalam waktu 11 hari ke depan. Badan Legislasi DPR juga menegaskan tak lagi membutuhkan masukan dari masyarakat ataupun dari KPK dalam pembahasan revisi UU KPK.
Hal ini dinilai menjadi preseden buruk dalam ketatanegaraan di Indonesia. Pembahasan ini berlangsung di tengah gelombang penolakan publik terhadap revisi UU KPK yang dinilai berpotensi melemahkan KPK.
Berselang satu hari setelah surat presiden terkait revisi UU tentang KPK diterima DPR, Baleg DPR serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Kamis (12/9/2019) malam, menggelar rapat kerja dalam rangka penyampaian pandangan dan pendapat presiden atas revisi UU KPK. Jumat (13/9), panitia kerja untuk membahas revisi UU KPK akan dibentuk dan pembahasan tingkat satu dimulai.
Selain revisi UU KPK, rapat itu juga membahas dua rancangan undang-undang lain, yaitu revisi UU No 12/2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan dan revisi UU No 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Ketiga RUU tersebut akan diselesaikan sebelum berakhirnya masa jabatan DPR periode 2014-2019 pada 24 September.
Ruang diskusi
Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin, optimistis pembahasan revisi UU KPK dapat dikebut dalam waktu singkat jika ada kesamaan pandangan antara DPR dan pemerintah. Menurut dia, ruang diskusi untuk menerima masukan dari publik tidak lagi dibutuhkan. Masukan itu sudah ditampung sejak wacana revisi UU KPK bergulir pada 2017 dan sempat ditunda.
”Sekarang ini, apa lagi sikap publik yang tidak kita ketahui? Semuanya, kan, sudah. Masukan pro dan kontra semua sudah dibuka. Apa perlu kami undang lagi teman-teman satu per satu?” katanya.
Supratman mengatakan, dalam proses penyusunan draf RUU, masukan publik sebenarnya sudah dipertimbangkan.
Masukan publik dalam proses pembahasan RUU diatur dalam Pasal 96 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan, masyarakat berhak memberi masukan secara lisan dan tertulis dalam pembahasan RUU. Yang dimaksud masyarakat adalah perseorangan atau kelompok orang yang punya kepentingan atas substansi RUU yang sedang dibahas.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, mengatakan, pembahasan revisi undang-undang kemungkinan tidak akan melibatkan masyarakat karena waktu yang tersisa untuk membahas sangat singkat. Masukan dari KPK juga sudah tidak dibutuhkan karena pandangan tersebut sudah diminta dari calon pimpinan KPK periode 2019-2023 lewat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR pada Rabu (11/9) dan Kamis ini.
Hingga kemarin pukul 23.00, proses uji terhadap kelima calon, yaitu Alexander Marwata, Johanis Tanak, Luthfi Jayadi Kurniawan, Firli Bahuri, dan Roby Arya Brata, sudah tuntas. Sebelumnya, lima calon lainnya, yaitu Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, Sigit Danang Joyo, Nurul Ghufron, dan I Nyoman Wara, sudah diuji pada Rabu.
Komisi III langsung memilih lima orang dari sepuluh calon tersebut. Dengan begitu, hari ini, dalam Rapat Paripurna DPR, nama-nama tersebut akan disampaikan untuk disetujui DPR.
Dalam forum itu, para calon ditanyakan pendapatnya mengenai revisi UU KPK. Kesepuluh calon kompak menyetujui revisi perlu dilakukan, dengan pandangan yang berbeda-beda terkait substansi perubahannya. Hal itu menjadi pertimbangan Komisi III memilih capim KPK.
Tiga poin revisi
Dalam rapat kerja pembahasan awal dengan Baleg DPR, kemarin malam, Yasonna mengatakan, ada tiga hal yang disoroti pemerintah dan dielaborasi lebih detail dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KPK. Pertama, pengangkatan Dewan Pengawas. Pemerintah berpandangan, pengangkatan ketua dan anggota Dewan Pengawas merupakan kewenangan Presiden, untuk meminimalisasi waktu dalam proses pengangkatan. Proses pengangkatan melalui panitia seleksi dan melibatkan masukan masyarakat.
Kedua, pemerintah sepakat menetapkan status penyelidik dan penyidik KPK sebagai aparatur sipil negara yang harus tunduk pada UU ASN. Pemerintah mengusulkan ada rentang waktu dua tahun untuk mengalihkan penyelidik dan penyidik itu ke wadah ASN. Ketiga, pemerintah sepakat dengan poin status KPK sebagai lembaga negara dan bagian dari eksekutif.
Terkait dikebutnya revisi UU KPK, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan, kondisi ini merupakan preseden buruk dalam ketatanegaraan Indonesia. Sebab, lembaga terkait tidak diajak konsultasi atau setidaknya diberi tahu isi revisi UU. ”Ini bukan adab yang baik,” ujar Laode. Di KPK, aksi dukungan terhadap KPK dan penolakan revisi UU KPK terus mengalir.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra menyesalkan respons presiden terkait revisi UU KPK yang dinilai terburu-buru menerbitkan surat presiden. ”Dia (presiden) mengabaikan pernyataannya sendiri dan tentu (mengabaikan) civil society (masyarakat sipil). Dengan surat presiden itu, DPR leluasa berbuat apa pun untuk melumpuhkan KPK,” katanya. (INK/EDN/AGE/IAN)