Berlayar di Tengah 10 Kali Lipat Ombak Ketidakpastian Global
Kapal Nusantara siap berlayar melanjutkan rute Jokowinomics II. Rute pelayaran itu semakin menantang, karena melewati "ombak" ketidakpastian perdagangan dunia yang disebut IMF meningkat 10 kali lipat.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Kapal Nusantara, Indonesia, siap berlayar melanjutkan rute Jokowinomics II. Rute pelayaran itu semakin menantang. Ombak di perairan dalam negeri dan luar negeri sama-sama tengah berkecamuk. Nahkoda dan navigator memegang peran kunci agar Kapal Nusantara tak kandas atau bahkan tenggelam di tengah jalan.
Perairan dalam negeri tengah bergejolak karena berbagai faktor. Beberapa di antaranya adalah konflik Papua, upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, rencana penambahan pimpinan MPR, perlambatan pertumbuhan ekonomi di tengah penurunan kinerja ekspor, dan potensi melebarnya defisit APBN.
Di tengah gejolak ombak perairan domestik, terjangan ombak di perairan luar negeri semakin kuat. Baru-baru ini, Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan laporan New Index Tracks Trade Uncertainty Across The Globe pada 9 September 2019.
Dalam laporan itu, IMF menyebutkan, tingkat ketidakpastian perdagangan global pada triwulan I-2019 telah melonjak hampir 10 kali lipat dari ketidakpastian perdagangan global dua dekade sebelumnya.
IMF bahkan memperkirakan, lonjakan tajam ketidakpastian perdagangan global pada triwulan I-2019 itu dapat memangkas pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,75 basis poin pada tahun ini.
Tingkat ketidakpastian perdagangan global pada triwulan I-2019 telah melonjak hampir 10 kali lipat dari ketidakpastian perdagangan global dua dekade sebelumnya.
Indeks Ketidakpastian Perdagangan Dunia (WTU) yang dirilis IMF menunjukkan, ketidakpastian perdagangan global mulai meningkat tajam pada triwulan III-2018 setelah selama 20 tahun terakhir stabil. Lonjakan ketidakpastian itu bertepatan dengan dimulainya pengenaan tarif impor dua negara yang tengah perang dagang, Amerika Serikat dan China.
Pada triwulan I-1996 hingga triwulan I-2018, WTU berada pada 0-15. Mulai triwulan II-2018, WTU mulai meningkat dan pada triwulan III-2018 sudah menjadi 30.
Kendati sempat turun pada triwulan IV-2018 di bawah 20, WTU justru meroket pada triwulan I-2019, hampir menyentuh angka 110, usai AS meningkatkan tarif impor besar-besaran kepada China pada 1 Maret 2019.
IMF menyusun indeks itu sejak 1996 dari 143 negara berdasarkan laporan Unit Intelijen Ekonom (EIU). Para ekonom EIU menghitung seberapa sering kata “ketidakpastian” dan “tidak pasti” yang bersanding dengan sejumlah kata lain.
Sejumlah kata lain itu di antaranya proteksionisme, perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara, tarif, perdagangan, konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perdagangan dan pembangunan, serta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam laporannya, IMF juga menyatakan AS dan negara-negara mitranya (terutama Kanada dan Meksiko), Eropa, dan Asia Pasifik merupakan wilayah yang paling terpengaruh ketidakpastian perdagangan global. Adapun Afrika merupakan wilayah yang paling minim terdampak perang dagang AS-China.
Juli lalu, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 dan 2020 masing-masing sebesar 3,2 persen dan 3,5 persen. Proyeksi itu lebih rendah dari proyeksi IMF pada April lalu yang sebesar 3,3 pada 2019 dan 3,6 pada 2020. Khusus Indonesia, pertumbuhan ekonominya diperkirakan 5,2 persen pada 2019 dan 2020.
Sebelumnya, Bank Dunia memperingatkan kondisi perekonomian Indonesia yang rentan terhadap gejolak global dalam laporannya Global Economic Risks and Implications for Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global terus melemah dan potensi resesi semakin nyata. Di AS, tanda resesi terlihat pada imbal hasil jangka pendek obligasi yang lebih tinggi daripada imbal hasil jangka panjang.
Resesi juga mengintai beberapa negara anggota Uni Eropa (UE), seperti Jerman dan Inggris. Produktivitas industri di UE terus turun dalam beberapa triwulan terakhir. Selain itu pertumbuhan ekonomi China kian melemah akibat eskalasi perang dagang AS-China.
Risiko ekonomi global itu semakin besar jika China melepas kepemilikan obligasi pemerintah AS. HSBC Global Research juga mengingatkan, obligasi Pemerintah China akan secara bertahap dimasukkan dalam indeks obligasi JP Morgan, yaitu Government Bond Index-Emerging Markets (GBI-EM) selama 10 bulan mulai Februari 2020.
Tingkat kupon obligasi Pemerintah China dalam GBI-EM akan meningkat sebesar 1 persen setiap bulan dan mencapai ambang batas maksimum sebesar 10 persen pada 30 November 2020. Kendati hanya diterbitkan 10 bulan, obligasi Pemerintah China ini diproyeksikan menarik arus modal asing mencapai 20 miliar dollar AS.
Tumbuhnya minat investor asing terhadap obligasi Pemerintah China menyebabkan pergerakan arus modal keluar terutama dari Thailand, Kolombia, Polandia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Arus modal keluar dari Indonesia periode Februari-November 2020 diproyeksikan sekitar 1,1 miliar dollar AS.
Resesi ekonomi global juga membahayakan momentum pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun 0,3 persen setiap pertumbuhan ekonomi China turun 1 persen. Perekonomian berpotensi tumbuh 4,9 persen pada 2020 dan 4,6 persen pada 2022.
Navigasi dan mitigasi
Melihat kondisi itu, Pemerintah Indonesia perlu berhati-hati membawa Kapal Nusantara mencapai tujuan. Di tengah risiko fiskal “besar pasak daripada tiang” di dalam negeri, upaya-upaya mitigasi dan navigasi perlu terus dilakukan.
Setidaknya dalam waktu dekat ini, Indonesia perlu mewaspadai dan mengantisipasi keluarnya arus modal asing, depresiasi rupiah, penurunan kinerja ekspor, dan perlambatan investasi. Sebab, IMF menyebutkan, ketidakpastian perdagangan global masih berlanjut hingga perang dagang AS-China tuntas.
Di sisi lain, Bank Dunia menyatakan, risiko pergerakan arus modal keluar berpotensi lebih deras dari situasi krisis Asia pada 2008. Hal itu dapat menyebabkan rupiah terdepresiasi dan berujung pada peningkatan suku bunga acauan bank sentral.
Pemerintah Indonesia bersama pemangku kepentingan terkait telah berupaya memitigasi risiko-risiko itu. Salah satunya adalah dengan menerapkan bauran kebijakan di sektor moneter, markroprudensial, fiskal, dan nonfiskal.
Sinergi kebijakan itu akan berfokus pada pengembangan industri manufaktur berorientasi ekspor. Tiga sektor yang diutamakan adalah otomotif, tekstil dan produk tekstil (TPT), dan alas kaki.
Namun, strategi jangka menengah-panjang itu tidak akan mudah dilakukan. Sebab, negara-negara lain juga menempuh cara serupa.
Bahkan Bank Dunia menyebutkan, sepanjang Juni-Agustus 2019, Indonesia kehilangan peluang menangkap relokasi investasi yang dilakukan 33 perusahaan asing. Sebanyak 23 perusahaan memilih Vietnam, dan 10 perusahaan lainnya pindah ke Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia, dan Thailand. Reformasi struktural di negara-negara itu lebih efektif dari Indonesia.
Nahkoda dan navigator berperan penting agar kapal dengan segala elemen awak kapal, penumpang, dan muatannya tidak terombang-ambing tanpa arah.
Kendati begitu, kehidupan Indonesia masih tetap harus berlanjut. Kapal Nusantara tetap akan berlayar mengarungi rute Jokowinomics II yang mengedepankan pemerataan pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia.
Sekali lagi, nahkoda dan navigator berperan penting agar kapal dengan segala elemen awak kapal, penumpang, dan muatannya tidak terombang-ambing tanpa arah.