MCW Sesalkan DPR Tak Dengarkan Suara Publik soal Capim KPK
Organisasi pemerhati korupsi Malang Corruption Watch menyesalkan langkah DPR yang tidak mendengarkan suara publik dalam memilih lima calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Organisasi pemerhati korupsi Malang Corruption Watch menyesalkan langkah DPR yang tidak mendengarkan suara publik dalam memilih lima calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. DPR memilih secara voting lima dari 10 calon pada Jumat (13/9/2019) dini hari.
Koordinator MCW M Fahrudin Andryansyah saat ditemui di kantor MCW di Malang, Jawa Timur, Jumat siang, mengatakan, DPR tidak mendengarkan suara rakyat, akademisi, dan institusi KPK itu sendiri. Apa yang dilakukan DPR dalam memilih pemimpin KPK sarat dengan kepentingan politik. ”Itu patut disayangkan,” ujarnya.
Penilaian MCW ini, menurut Fahrudin, bukan dilatarbelakangi oleh gagalnya salah satu tokoh pendiri MCW, Luthfi J Kurniawan, masuk ke dalam lima komisioner KPK, melainkan lebih kepada sikap MCW secara kelembagaan yang memiliki kepentingan untuk menyuarakan upaya pemberantasan korupsi. Dalam voting, Luthfi berada di urutan ketujuh (tujuh suara) di bawah Sigit Danang Joyo (19 suara).
MCW sejak awal pesimistis terhadap proses pencalonan pemimpin KPK. Mereka beralasan, dalam komposisi tim panitia seleksi ada beberapa orang yang punya kedekatan dengan lembaga tertentu. Hal itu makin tampak pada tahap-tahap akhir proses seleksi, meski selama proses seleksi banyak pendaftar yang telah dieliminasi.
”Setelah calon mengerucut pada lima nama dan memiliki catatan yang publik sudah tahu. Apalagi suara terbanyak diperoleh oleh salah seorang yang santer diberitakan rekam jejaknya. Ini membuat publik bertanya apa yang terjadi di lembaga negara, terutama DPR,” ujarnya.
Padahal, DPR seharusnya bisa memberikan harapan baru kepada publik bahwa pemimpin KPK yang harus dipilih adalah orang yang punya integritas, punya rekam jejak baik, dan cita-cita terhadap upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah penguatan terhadap institusi KPK yang selama ini sering dilemahkan.
Fahrudin menilai langkah DPR dalam memilih calon ada hubungannya dengan revisi Undang-Undang KPK yang saat ini menjadi polemik. Masa kerja anggota DPR periode sekarang hampir selesai. Sepertinya mereka tengah berupaya melemahkan KPK secara sistematis, baik secara substansi maupun struktural.
”Sebenarnya revisi UU KPK belum dibutuhkan meski perbaikan di internal KPK tetap dibutuhkan guna memperbaiki sistem yang ada,” kata Fahrudin yang menilai perbaikan UU Tindak Pidana Korupsi lebih dibutuhkan ketimbang revisi UU KPK.
Sebenarnya revisi UU KPK belum dibutuhkan meski perbaikan di internal KPK tetap dibutuhkan guna memperbaiki sistem yang ada.
Sementara itu, di depan Gedung DPRD Kota Malang, Jumat sore, puluhan mahasiswa dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Malang berunjuk rasa menolak revisi UU KPK. Selain membentangkan poster, mereka juga berorasi di depan pintu masuk Gedung Dewan, menolak revisi yang mereka nilai akan memperlemah KPK.
Menurut demonstran, saat ini KPK berada di ujung tanduk. Hal ini bisa dilihat dari rentetan peristiwa yang terjadi beberapa waktu terakhir, salah satunya Sidang Paripurna DPR yang menyetujui revisi UU KPK.
”Kami menyadari DPR punya kewenangan. Akan tetapi, kami meminta agar DPR tidak menggunakan wewenangnya untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK,” kata Ketua Umum PMII Kota Malang Sena K.
Menurut mahasiswa, ada sejumlah persoalan di draf Revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga antirasuah itu, mulai dari independensi, penyadapan dipersulit, sumber penyelidikan dan penyidikan yang dibatasi, hingga pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih DPR.