Keadaan memang tak mudah bagi Huawei enam bulan terakhir. Raksasa telekomunikasi ini limbung setelah pasokannya diputus dan petingginya ditangkap, sementara industri ponsel pintar terus bergolak.
Oleh
DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
·6 menit baca
Keadaan memang tak mudah bagi Huawei dan karyawannya enam bulan terakhir. Raksasa telekomunikasi ini limbung setelah pasokannya diputus dan petingginya ditangkap, sementara industri ponsel pintar terus bergolak dengan perebutan kue pasar antara pemain baru dan lama. Dunia tidak menunggu, sementara kaki Huawei terikat sehingga tidak bisa berlari.
Tahun ini, Huawei harus merevisi ramalan pendapatannya, berkurang 30 miliar dollar AS, karena kebijakan ”Entity List” yang dirilis Pemerintah Amerika Serikat (AS). Dampaknya, perusahaan pemasok komponen dari negara yang sama juga enggan berkongsi. Angka itu disebut ”mendatar” karena hampir sama dengan pendapatan tahun 2018. Hasil serupa diprediksi masih terulang tahun 2020.
Kebijakan AS itu memukul divisi ponsel Huawei karena kehilangan akses ke Google, penyedia layanan yang banyak digunakan untuk sistem operasi Android di dalam ponsel mereka, seperti navigasi, keamanan, dan komunikasi. Bukan berarti tidak bisa memakai Android, tetapi Huawei kehilangan keunggulan dibandingkan kompetitor di pasar global.
Sementara itu, Chief Financial Officer Huawei Meng Wanzhou, yang ditangkap di Kanada karena tudingan pelanggaran sanksi ekonomi terhadap Iran, juga tengah menanti persidangan. Huawei sudah menyiapkan tim pengacara yang akan mendampingi selama persidangan, termasuk bekerja sama dalam setiap tahapan di pengadilan.
”Bisnis seperti biasa, tapi dengan tekanan yang lebih banyak,” komentar Vice President Corporate Communications Huawei Glenn Schloss pekan lalu di kantor Huawei, Shenzhen, China.
Bergulat
Pernyataan Schloss merangkum apa yang tengah dialami Huawei sekaligus menjelaskan bagaimana mereka menghadapi kemelut yang terjadi. Dan, hal ini melibatkan seluruh karyawan.
Menurut Schloss, para karyawan dalam kondisi ”terbakar semangatnya” dan bekerja jauh lebih keras lagi, bahkan melampaui jam kerja normal. Salah satu cerita yang dibagi adalah minimarket 24 jam yang terletak di kawasan Bantian, tempat Kampus Huawei, makin ramai dikunjungi jelang tengah malam.
Public Relations Manager Huawei Indonesia Panji Pratama membenarkan cerita tersebut. Terdapat memo internal hingga kantor di luar China untuk menunjukkan bahwa etos kerja seperti ini harus menjadi pelecut semangat bagi karyawan di wilayah lain untuk lebih keras dalam bekerja.
Dalam pertemuan tahunan pada 21 Februari 2019, Rotating Chairman Huawei, Eric Xu, mengatakan, perusahaan mereka sedang berperang sehingga harus bekerja lebih keras dan efisien dibandingkan masa tenang. Semua dilakukan untuk menjamin keberlangsungan secara jangka panjang di sejumlah negara.
Kenapa Huawei tidak memilih untuk menyerah saja? Barangkali nasibnya akan seperti ZTE yang sebelumnya disasar karena pelanggaran sanksi ekonomi terhadap Korea Utara dan Iran. Setelah memilih bekerja sama, ZTE harus membayar denda dan membiarkan tim pengawas untuk memantau aktivitas mereka dan tekanan pun berangsur mereda.
Schloss menarik napas panjang, sempat terdiam, lantas menyebut bahwa karyawan juga pemilik Huawei karena mereka punya saham. Huawei menawarkan opsi membeli saham perusahaan melalui skema Employee Stock Ownership Program (ESOP) dengan 96.769 karyawan pemilik saham pada tahun 2018.
”Perusahaan ini didorong oleh karyawan. Tentu saja mereka tidak ingin melakukan sesuatu yang akan membuyarkan masa depannya sendiri,” ujarnya.
Mempertahankan riset
Salah satu motivasi bagi Huawei untuk terus mempertahankan diri adalah momentum yang muncul dengan teknologi 5G yang mulai diterapkan secara komersial di beberapa negara. Janji teknologi yang memungkinkan kapasitas internet lebih besar dengan jeda atau latensi rendah membuat 5G membuka pintu untuk pemanfaatan di ranah industri.
Sebagai produsen perangkat telekomunikasi, situasi ini merupakan kesempatan emas yang tidak ingin disia-siakan Huawei. Hingga kini Huawei sudah mengesahkan 50 lebih kontrak operasional jaringan 5G di sejumlah negara. Keunggulan ini tidak lepas dari komitmen Huawei terhadap investasi untuk riset dan pengembangan, contohnya dana 15 miliar dollar AS yang dikucurkan selama 2018.
Dalam presentasi pada acara Huawei Asia-Pacific Innovation Day beberapa hari sebelumnya di Chengdu, William Xu, President of the Institute of Strategic Research Huawei menyebut kerja sama yang dilakukan dengan berbagai perguruan tinggi terkait riset soal ilmu alamiah dasar (basic science) termasuk membangun lebih dari 60 laboratorium dengan melibatkan 700 doktor ilmu matematika dan 200 lebih doktor ilmu fisika.
”Dengan kerja sama ini, kami bisa memberikan masukan kepada universitas mengenai apa yang sedang dibutuhkan oleh industri,” ujarnya.
Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Kemitraan Institut Teknologi Bandung (ITB) Bambang Riyanto Trilaksono mengatakan bahwa temuan dari penelitian ilmu alamiah dasar akan menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru ketimbang penelitian untuk ilmu terapan (applied science). ITB juga tengah merintis kerja sama dengan Huawei untuk studi mengenai kecerdasan buatan maupun teknologi 5G.
Hanya melalui terobosan pada ilmu alamiah dasar, Huawei akhirnya bisa memulai riset dan mengembangkan teknologi 5G meski hal itu berjarak 10 tahun. Semua berawal dari sebuah teori bernama polar coding yang digagas oleh ilmuwan dari Turki bernama Erdal Arikan tahun 2009. Teori tersebut berupa algoritma matematika yang memungkinkan komunikasi data bisa dilangsungkan dengan kapasitas yang lebih besar.
Melibatkan laboratorium milik Huawei di Ottawa, Kanada, dan Turki, pengembangan terus dilangsungkan hingga penemuan itu bisa menjadi standar baru untuk 5G tahun 2016.
Setelah China resmi mengawali era 5G dengan pemberian lisensi komersial kepada empat pemain dalam negeri pada Juni 2019, yang tersisa adalah riset untuk memanfaatkan potensi yang bisa ditawarkan oleh teknologi ini.
Pesawat tempur
Semua pencapaian itu tidak menutup fakta bahwa perusahaan tersebut sedang didera tekanan dari eksternal. Saat ini Huawei menyiapkan tim pengacara yang akan mendampingi Meng untuk menjalani persidangan. Schloss meyakini bahwa putusan dari hakim akan menjunjung asas keadilan.
Dan, berbagai pertanyaan ataupun pesimisme mengenai Huawei dijawab dengan sebuah gambar. Adalah gambar pesawat tempur IL-2 Sturmovik yang diproduksi Ilyushin dari Rusia menjadi bahasa yang dipergunakan untuk menjawab keraguan publik.
Gambar itu menunjukkan pesawat IL-2 dalam kondisi yang rusak parah meski tetap terbang. Teks di bawah gambar menyebut ”pahlawan itu ditempa, bukan dilahirkan”.
Dijelaskan bahwa pada Perang Dunia II, pesawat IL-2 tetap terbang meski dengan kondisi rusak setelah ditembaki oleh pertahanan udara dan serbuan dari pesawat lain. Meski rusak parah, pesawat itu akhirnya tetap berhasil pulang.
Dikutip pada 17 Juni 2019, Ren menganalogikan kondisi perusahaannya dengan pesawat tempur yang dihujani serangan yang menyebabkan ribuan ”lubang” menganga di badan. Antisipasi yang dilakukan adalah mempertahankan bagian vital agar bisa bertahan hidup.
”Pada tahun 2021, kami percaya kami akan mampu meraih kembali momentum pertumbuhan dan menghadirkan layanan yang lebih baik lagi kepada masyarakat,” ujarnya dalam acara A Coffee with Ren.
Terdengar seperti propaganda memang, tapi bisa jadi itu saja pilihan yang tersedia bagi Huawei untuk bertahan dan menganggapnya sebagai tempaan.
Pada masa krisis, menghabiskan waktu untuk berdebat, bertengkar, maupun menonjolkan ego sudah menjadi kemewahan yang tidak bisa lagi dilakukan. Bagi Huawei, mereka adalah pesawat tempur yang berusaha untuk pulang.