Menyoroti Kekerasan atas Minoritas Muslim di Xinjiang
Sekalipun Beijing terus menyangkal, pengaduan dan laporan tentang adanya kekerasan di Xinjiang terus saja menghiasi media massa di sejumlah negara. Warga etnis Uighur, Kazakh, dan lainnya menjadi sasaran indoktrinasi.
Setelah sempat sepi dari pemberitaan, isu minoritas Muslim Uighur dan minoritas lainnya di China kembali mengemuka, pekan lalu. Kali ini terkait dengan kelompok peretas yang bekerja untuk Pemerintah China.
Mereka meretas jaringan telekomunikasi di beberapa negara untuk melacak aktivitas pelancong Uighur di Asia Tengah dan Asia Tenggara.
Peretasan adalah bagian kampanye spionase dunia maya yang lebih luas, yang menargetkan para diplomat dan personel militer asing, kata sumber. Namun, China juga mengutamakan pelacakan pergerakan etnis Uighur, kelompok minoritas Muslim yang dianggap sebagai ancaman keamanan oleh Beijing.
Dalam dua tahun ini, serta di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dan China, dunia mengecam kekerasan terhadap minoritas Muslim Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang, China barat laut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah menuding China bertindak diskriminatif terhadap warga etnis Uighur.
Baca juga: PBB Simpulkan China Diskriminatif terhadap Muslim Uighur
Salah satunya datang dari Turki. Setelah lama berdiam diri, beberapa waktu lalu Turki berang terhadap China karena dipicu kematian penyair Uighur, Abdurehim Heyit, yang dipenjara delapan tahun karena salah satu lagunya.
Kementerian Luar Negeri Turki mengkritik perlakuan China terhadap minoritas Muslim-nya dan menyerukan penutupan kamp-kamp interniran Uighur. Massa warga Turki, yang merupakan negara asal nenek moyang Uighur, pun menggelar unjuk rasa menentang kekerasan di China itu.
Sekalipun Beijing terus menyangkal, pengaduan dan laporan tentang adanya kekerasan di Xinjiang terus saja menghiasi media massa di sejumlah negara di dunia. Warga etnis Uighur, Kazakh, dan lainnya menjadi sasaran indoktrinasi.
Baca juga: Amnesty: China Dirikan Kamp-kamp Indoktrinasi untuk Warga Etnis Uighur
Para pelarian memberikan kesaksian mereka mengenai adanya kekerasan fisik atas kaum minoritas tersebut. Mereka, baik warga minoritas dari etnis Uighur maupun warga etnis Kazakh, mengadukan kekerasan yang diduga dilakukan di luar hukum oleh otoritas lokal Xinjiang.
Aparat intelijen China dicurigai berperan besar dalam berbagai operasi yang mendorong penangkapan yang disertai penahanan secara ilegal, yang disebut sebagai ”kamp pendidikan ulang” atau ”kamp pendidikan kejuruan”.
Organisasi dan badan dunia, termasuk Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan PBB, sudah sering mengecam Beijing terkait kekerasan di Xinjiang. Banyak warga Uighur yang melarikan diri dari krisis Xinjiang memberikan kesaksian atas fakta kekerasan tersebut.
Baca juga: Parlemen AS Desak Trump Jatuhkan Sanksi kepada China
Menurut laporan Human Rights Watch (HRW) 2019 tentang kejadian 2018 di China, otoritas China secara dramatis telah meningkatkan represi dan pelanggaran sistemik terhadap 13 juta Muslim Turki, termasuk Uighur dan etnis Kazakh, di Xinjiang, China barat laut (www.hrw.org).
HRW menyebutkan, otoritas China telah melakukan pengurungan massal secara sewenang-wenang, penyiksaan, dan penganiayaan di berbagai fasilitas penahanan. Setidaknya, belasan ribu orang ditahan tanpa proses hukum.
Baca juga: Pemerintah China Ungkap Penangkapan Hampir 13.000 Warga di Xinjiang
Beijing menerapkan kontrol yang meluas pada kehidupan sehari-hari masyarakat di Xinjiang, seperti juga di Tibet dan Hong Kong, dengan memasang kamera pengawas.
Minoritas Uighur dan lainnya dilaporkan ditahan di tempat khusus yang disebut ”kamp pendidikan ulang” atau kamp pengasingan. Kamp dijalankan Pemprov Xinjiang sejak 2014.
Warga dikurung tanpa proses pengadilan di kamp-kamp yang dioperasikan secara rahasia dan ilegal atau di luar sistem hukum negara (www.businessinsider.com dan www.hrw.org).
Dipantau intelijen
Pengalaman empirik yang paling pahit, antara lain, dialami Alfiraa Dilshat dan Rashida Abdughufur, warga Uighur yang menetap di Adelaide, Australia selatan.
Dalam sebuah panggilan video dari Xinjiang, Rashida senang karena bisa terhubung dengan ibunya. Namun, di layar telepon muncul ibunya dengan tangan terborgol, duduk di samping seorang polisi China.
Baca juga: Tantangan Kemanusiaan di Xinjiang
”Mereka mulai menginterogasi saya,” kata Rashida. Karena khawatir akan keselamatan diri dan ibunya, Rashida pun terpaksa membeberkan banyak hal sensitif, termasuk kartu telepon seluler Australia-nya. Seusai menerima telepon, ”Wajahnya pucat pasi,” kata Alfiraa tentang Rashida.
Tidak lama setelah itu, pesan suara dari ibunya di Xijiang muncul di telepon selulernya. ”Orang-orang ini akan menemukanmu,” kata Rashida.
Akun WeChat yang digunakan untuk menghubungi ibunya pun hilang sehingga Rashida tak bisa berkomunikasi dengan ibunya sejak 2018. Rashida melarikan diri dari Xinjiang pada 2017 karena kekerasan fisik di sana.
Peristiwa itu merupakan contoh nyata dari tindakan intimidasi yang dilakukan oleh aparat intelijen China, yang terus melacak warga Uighur di luar negeri. Di dalam negeri, warga Uighur yang tak bersalah pun diberitakan disiksa, diborgol, dan ditahan tanpa proses hukum serta banyak pula yang hilang begitu saja.
Aparat intelijen Beijing dilaporkan terus mengintai warga Uighur yang melarikan diri ke luar China dan menindak mereka tanpa proses hukum. Bahkan, aparat juga diduga melakukan intimidasi dan pelecehan sambil berusaha menutup tindakan aparat lokal yang terlibat operasi.
Kementerian Keamanan Publik (MPS) China dilaporkan sebagai otak semua operasi intelijen tersebut, tetapi laporan itu dibantah Beijing.
Penjara di pegunungan
Tentang kekerasan dan adanya ”kamp pendidikan ulang” rahasia juga terungkap dalam sidang kasus bom di Kazakhstan yang mengadili seorang perempuan Kazakh, Sayragul Sauytbay (42), tahun lalu. Dia menyebutkan, kamp menahan ratusan ribu minoritas Muslim Uighur dan minoritas lainnya.
Sauytbay adalah warga etnis Tionghoa-Kazakhtan yang dituduh melintasi perbatasan secara ilegal untuk bergabung dengan suami, Wali Islam, dan dua anaknya di Kazakhstan. Namun, kesaksiannya tentang kerja paksa di kamp rahasia di Xinjiang paling menyita perhatian.
Baca juga: Uighur, Mayoritas yang Minor
Menurut Sauytbay, dirinya mendapat akses yang leluasa untuk meneliti dokumen rahasia yang menjelaskan jaringan luas ”kamp pendidikan ulang” tersebut. Kelompok etnis minoritas Muslim Xinjiang atau China pada umumnya menjadi penghuni paling banyak di dalam kamp-kamp yang ada.
Ditanya di bawah sumpah tentang apa yang disebut ”kamp”, tempat Sauytbay bekerja sebagai pegawai Pemerintah China, pengunjung pengadilan tersentak ketika ia menyebutkan bahwa kamp-kamp itu menampung sekitar 2.500 warga etnis Kazakh. Kamp tersebut di China dinamai ”kamp politik”, tetapi sebenarnya itu lebih sebagai ”penjara di pegunungan terpencil”.
Sauytbay mengatakan, pihak berwenang menyampaikan kepadanya bahwa dia takkan pernah diizinkan pergi ke Kazakhstan, tempat keluarganya memperoleh kewarganegaraan. Namun, ia menyelinap masuk tanpa izin demi bertemu keluarganya meski dia menanggung risikonya.
Perempuan tersebut merupakan salah satu dari begitu banyak etnis Kazakh yang terpisah dari kerabat mereka setelah tindakan keras di Xinjiang.
Baca juga: Dubes China Didesak Tinggalkan Indonesia
Otoritas China melakukan tindakan keras terhadap etnis Kazakh, Uighur, dan etnis minoritas lainnya dengan alasan untuk membendung separatisme dan ekstremisme. Sebenarnya, hal itu hanya alasan pembenaran atas kebijakan represif.
Ada sekitar 1,5 juta warga etnis Kazakh di Xinjiang. Namun, mayoritas warga Xinjiang terdiri dari etnis Uighur yang memeluk agama Islam dan Han, etnis lokal yang beragama Buddha.
Namun, mereka menghindari represi ekstrem negara, yang diderita oleh etnis Uighur, kelompok Turki yang sebagian besar Muslim, yang membentuk mayoritas demografis di banyak bagian wilayah tersebut.
Tidak seperti etnis Uighur, etnis Kazakh lebih leluasa masuk-keluar China dan Kazakhstan. Sekitar 200.000 orang di antara etnis Kazakh di China menjadi warga Kazakhstan, negara di Asia Tengah sejak kemerdekaannya tahun 1991.
Memalukan
Situasi etnis Kazakh di Xinjiang memalukan bagi Kazakhstan, mitra ekonomi utama China di Asia Tengah. Walaupun Pemerintah Kazakhstan ragu-ragu untuk menghadapi Beijing, karena mereka berada di bawah tekanan untuk bersuara menentang penindasan di Xinjiang, Astana sempat menolak tekanan China.
Baca juga: Tolak Tekanan China Memulangkan Uighur, Kazakhstan Dipuji AS
China telah mendaftarkan negara Kazakhstan yang kaya minyak sebagai mitra utama dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI), yang bertujuan untuk meningkatkan rute perdagangan darat antara Eropa dan Asia. Beijing juga bungkam mengenai tuduhan soal ”kamp pendidikan ulang” itu.
Di bawah tekanan publik, Kementerian Luar Negeri Kazakhstan menyerukan ”peninjauan yang obyektif dan adil” atas penahanan warga Kazakh di wilayah tersebut. Namun, Kazakhstan yang membutuhkan investasi besar China juga menghadapi persoalan kemanusiaan yang buruk.
Pengadilan atas Sayragul Sauytbay adalah ujian ”Dari kedewasaan hubungan Kazakhstan-China,” kata Serikzhan Mambetalin, aktivis politik Kazakhstan. Jika Kazakhstan menyerahkan Sauytbay kembali ke China, ”Rakyat akan mengatakan pemerintah gagal melindungi rakyatnya sendiri.”
Pada akhir 2016, pihak berwenang di China mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mengumpulkan paspor minoritas Muslim. Orang-orang itu dipaksa untuk mengajukan permintaan resmi supaya bisa meninggalkan China.
Wali Islam bersaksi, selama beberapa bulan keluarga kehilangan kontak dengan Sauytbay setelah istrinya dipindahkan dari taman kanak-kanak ke pusat pendidikan ulang. Sauytbay mengatakan kepada pengadilan bahwa dia telah diperdaya oleh otoritas agar bisa bekerja di kamp tersebut.
Keluarga itu dipersatukan kembali hanya setelah dia melintasi perbatasan pada April tahun lalu. Petugas keamanan Kazakhstan menangkapnya pada 21 Mei tahun yang sama. Dua diplomat China di persidangan menolak untuk menjawab pertanyaan aktivis dan jurnalis.
Baca juga: China Bela Kebijakan di Xinjiang
Beijing melalui berbagai kesempatan selalu menyangkal tentang adanya kekerasan fisik terhadap minoritas Muslim di Xinjiang. Dalam konferensi pers, beberapa waktu lalu, Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir menggambarkan laporan luas tentang kondisi kekerasan terhadap Uighur dan kamp tahanan sebagai ”sepenuhnya bohong”.
Kementerian Luar Negeri China bahkan dengan tegas mengatakan, tidak ada kekerasan fisik dan aparat keamanan hanya menjalankan tugas untuk memerangi terorisme, separatisme, radikalisme, serta tindakan lain yang mengganggu keamanan negara. (AFP/REUTERS/AP)