Pemerintah Sederhanakan Aturan untuk Mendorong Pengembangan Industri Hilir Tambang
Penyederhanaan aturan dibutuhkan untuk mendorong pengembangan industri hilir tambang dengan tetap memprioritaskan kelestarian lingkungan dalam pengelolaan limbah.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah masih mengkaji aturan yang dinilai menghambat pemanfaatan ampas bijih hasil pengolahan pabrik pemurnian logam mineral atau smelter. Penyederhanaan aturan dibutuhkan untuk mendorong pengembangan industri hilir tambang dengan tetap memprioritaskan kelestarian lingkungan dalam pengelolaan limbah.
Rapat koordinasi untuk penyederhanaan aturan tersebut berlangsung di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Rapat kedua setelah pertama kali digelar Mei lalu dihadiri perwakilan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Perindustrian.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, Peraturan Menteri LHK akan diterbitkan untuk melengkapi standar Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
"(Peraturan menteri itu) dharapkan selesai tahun ini. Pasti," katanya.
PP Nomor 101/2014 mengatur tentang pengelolaan limbah, termasuk ampas bijih (slag) hasil pengolahan smelter. Regulasi ini membuat proses hilirisasi sisa tambang tersebut berjalan lambat.
Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan, PP tersebut mengategorikan slag sebagai limbah B3 yang harus memiliki izin khusus dalam pengelolaan, penempatan, penimbunan, serta pemanfaatan limbah.
"Aturan-aturan ini tentunya harus bisa disederhanakan sehingga tidak membebani industri, melainkan memberi nilai tambah bagi limbah dan menarik investasi industri hilir," kata Harjanto.
Agar kegiatan pengelolaan limbah tetap berorientasi lingkungan, ia menyarankan agar aturan yang ada kembali dikaji dengan mengacu ketentuan internasional, seperti Konvensi Basel.
Konvensi, yang diprakarsai Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1989, itu, antara lain, mengatur negara industri agar konsisten mengelola dan membuang limbah tersebut ke negara di mana limbah dihasilkan dengan cara yang berwawasan lingkungan.
Menumpuk
Perkembangan teknologi membuat slag dapat diolah kembali menjadi bahan konstruksi, seperti batako dan semen. Slag juga bisa digunakan untuk reklamasi tambang.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, rumitnya perizinan selama ini membuat sekitar 20 juta ton slag, yang sebagian besar dihasilkan smelter nikel, menumpuk setiap tahun.
"Dari jumlah itu, baru 10 persen yang bisa diolah. Intinya karena terlalu banyak perizinan yang menghambat pemanfaatannya," ujarnya.
Pada tahun 2021, produksi slag diprediksi akan mencapai 35 juta ton per tahun. Hal itu karena hadirnya smelter baru. Tahun ini, tiga smelter berlabel Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) yang diterbitkan Kementerian ESDM dibangun. Lalu hingga 2022, ditargetkan akan ada 60 smelter IUP OPK lainnya.
Saat ini, ada 20 smelter IUP OPK dengan rincian, 13 smelter nikel, 2 smelter komoditas tembaga, 2 smelter bauksit, 2 smelter besi, dan 1 smelter mangan. Ada juga smelter berlabel Izin Usaha Industri (IUI) dari Kemenperin sebanyak 7 smelter.