Banyak negara demokrasi menghadapi tantangan arus ekstremisme yang menguat beberapa tahun terakhir. Wacana soal demokrasi terus jadi sorotan di tengah ekstremisme yang kerap bersanding dengan menguatnya konservatisme.
Oleh
Rini Kustiasih dari Stockholm, Swedia
·4 menit baca
STOCKHOLM, KOMPAS — Banyak negara demokrasi menghadapi tantangan arus ekstremisme yang menguat beberapa tahun terakhir. Wacana mengenai demokrasi pun terus menjadi sorotan di tengah ekstremisme yang kerap bersanding dengan menguatnya konservatisme.
Sebagai salah satu negara dengan demokrasi yang mapan, ancaman itu pun nyata di Swedia. Dalam kesempatan dialog dan presentasi yang difasilitasi oleh Swedish Institute, sebagai rangkaian acara sebelum Gather Festival yang mengusung tema ”Innovation, Democracy and Citizen Dialogue”, Duta Besar Swedia untuk Demokrasi Lena Posner-Korosi, Selasa (10/9/2019), mengatakan, tidak terkecuali di Swedia, demokrasi menghadapi isu yang tidak mudah dengan menguatnya kekuatan ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri di negara tersebut. Kurangnya penghargaan dan rasa saling menghormati menjadi salah satu indikator untuk menunjukkan adanya ancaman terhadap demokrasi.
”Di Swedia, di mana hak-hak sipil dan kesetaraan dilindungi, termasuk bagi kelompok minoritas, sikap yang tidak menghargai itu menjadi ancaman. Munculnya aktor-aktor antidemokrasi yang sikapnya antara lain bisa dilihat dari bagaimana mereka memperlakukan kelompok minoritas adalah salah satu ancaman bagi demokrasi,” tuturnya.
Sikap ekstrem dalam kehidupan berdemokrasi itu kerap memanfaatkan kebebasan yang disediakan oleh demokrasi untuk mengungkapkan pendapat dan pandangan politiknya. Di satu sisi, hal itu merupakan bagian dari kebebasan sipil, tetapi di sisi lain hal itu menimbulkan persekusi dan intimidasi kepada pihak lain yang semestinya tidak bisa ditoleransi. Dalam konteks ini, toleransi atas sikap-sikap semacam itu tidak bisa dibiarkan.
”Makna toleransi menjadi bias dan perlu untuk dimaknai ulang. Bukan toleransi semacam itu yang diharapkan muncul dari demokrasi, tetapi sikap menghormati pihak yang berbeda atau berlainan,” katanya.
Selain sikap yang tidak menghargai kelompok berbeda, terutama minoritas, penyebaran ujaran kebencian di media sosial juga menjadi kecenderungan baru yang mesti diwaspadai di kalangan anak muda. Akses yang luas pada internet membuat jangkauan pada informasi tidak terbatas. Informasi yang beredar menjadi sulit untuk diverifikasi karena semua orang bisa berpartisipasi dan berpendapat di ruang maya tersebut.
”Banyak hal positif yang dapat dipetik dari media sosial, tetapi juga hal lainnya mesti diwaspadai, seperti berita bohong dan ujaran kebencian,” ucap Lena.
Banyak hal positif yang dapat dipetik dari media sosial, tetapi juga hal lainnya mesti diwaspadai, seperti berita bohong dan ujaran kebencian.
Persoalan seperti yang terungkap di Swedia juga ditemui di Indonesia. Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Marzuki Wahid yang dihubungi terpisah mengatakan, sikap ekstrem juga ditemui di Indonesia dengan situasi lebih kurang sama.
”Demokrasi menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mengemukakan pendapatnya. Hal ini membuat kelompok tertentu dengan sikap ekstrem berpotensi membajak demokrasi demi kepentingan politik tertentu,” katanya.
Diplomat dan jurnalis Swedia, Olle Wastberg, menambahkan, setiap negara demokratis terus berjuang untuk kebebasan hak-hak sipil dan penghargaan atas perbedaan. Hal itu tidak hanya terjadi di negara dengan demokrasi yang sudah mapan, tetapi juga di negara berkembang dengan aspirasi yang besar terhadap demokrasi, seperti Indonesia.
Pelibatan warga
Ancaman lain terhadap demokrasi ialah keengganan warga untuk terlibat dalam proses demokrasi karena mereka merasa tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Sebagai contoh, rata-rata partisipasi pemilih dalam pemilu parlemen di Swedia 45-50 persen. Angka ini dianggap rendah dan menunjukkan kurangnya kepercayaan publik dalam pembuatan kebijakan dan pemilu sebagai bagian dari demokrasi. Sejumlah inisiatif dibuat oleh Pemerintah Swedia untuk meningkatkan keterlibatan publik dalam pembuatan keputusan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Sebuah inisiatif dibangun oleh pemerintah setempat untuk meningkatkan pelibatan warga, yakni melalui Swedish Association of Local Authorities and Regions (SALAR). Melalui lembaga ini, publik diajak berdialog dan ikut menentukan pilihannya dalam merencanakan kebijakan.
Proyek-proyek sederhana, seperti pembuatan taman bermain atau lokasi perumahan baru, dilakukan dengan melibatkan warga sepenuhnya. Bahkan, anak-anak bisa turut memberikan masukan dan memberikan pilihan atas perencanaan tersebut.
Warga, misalnya, memilih untuk meletakkan bangku atau kursi taman di bagian tertentu dari wilayah yang telah direncanakan. Mereka juga dimintai pendapatnya soal desain taman dan bagaimana seharusnya lokasi itu ditempatkan dalam kehidupan publik mereka. Pelibatan publik itu dilakukan dengan aplikasi yang bisa diakses secara daring ataupun ajakan langsung dengan mendatangi rumah warga satu per satu.
”Kami berupaya sebanyak mungkin mengajak warga dan melibatkan mereka untuk membangun atau merencanakan proyek-proyek tertentu yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Ini adalah tujuan demokrasi itu, yakni pelibatan sebanyak mungkin warga dalam membangun komunitas mereka sendiri, dan dengan demikian mereka ikut bertanggung jawab menjaga apa yang telah menjadi pilihan bersama itu,” tutur Nordh Anders dari SALAR.
Gather Festival dijadwalkan dibuka pada Kamis (12/9/2019) waktu Swedia, dengan menampilkan pembicara dari beragam perspektif dan latar belakang, seperti seniman, inovator teknologi, pelayan masyarakat, pebisnis, dan periset lintas bidang. Sekitar 1.500 orang diperkirakan menghadiri festival ini.