Akademisi Padang menunjukkan solidaritasnya kepada KPK. Mereka menyuarakan agar upaya pelemahan KPK dihentikan.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Akademisi Padang menunjukkan solidaritasnya pada KPK. Mereka menyuarakan agar upaya pelemahan KPK dihentikan.
Charles Simabura, dosen Universitas Andalas, mengatakan, civitas akademika prihatin terhadap upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK. Salah satu bentuk keprihatinan dengan menggelar aksi solidaritas bagi KPK. Aksi ini berdekatan dengan momen terpilihnya lima pimpinan KPK, Kamis (12/9/2019) malam, yang sejak awal dinilai bermasalah.
”Kami hendak mengawal dan mengantisipasi proses revisi UU KPK yang sudah disetujui Presiden untuk dibahas,” kata Charles, dosen Jurusan Hukum Tata Negara, Jumat (13/9/2019).
Menurut Charles, sudah saatnya publik melakukan pergerakan menolak pelemahan KPK. Jika pelemahan dibiarkan, dikhawatirkan kiprah KPK sebagai lembaga pencegahan dan pemberantasan korupsi berakhir. Padahal, KPK merupakan lembaga dengan tingkat kepercayaan publik tertinggi saat ini.
Charles menjelaskan, ada beberapa poin yang menjadi landasan penolakan revisi UU KPK. Pertama, KPK sebagai lembaga independen didorong menjadi lembaga pemerintah pusat sebagai bagian dari eksekutif di bawah presiden dan pegawai KPK didorong menjadi aparatur sipil negara. Kondisi itu akan membuat KPK mudah diintervensi oleh kepentingan penguasa.
Kami hendak mengawal dan mengantisipasi proses revisi UU KPK yang sudah disetujui presiden untuk dibahas.
Poin selanjutnya, sejumlah kewenangan KPK terkait projustisia, penyidikan, penyelidikan, dan penyadapan harus melalui izin dewan pengawas. Padahal, jika dibentuk, netralitas dan independensi dewan pengawas patut dipertanyakan karena berasal dari DPR dan pemerintah, dua lembaga yang kerap tersandung korupsi.
Pertimbangan lainnya dalam menolak revisi UU KPJ, adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3. Hal itu akan membuat kasus korupsi penyelesaiannya lama bisa dihentikan. Padahal, kasus itu lama selesai bukan karena KPK lalai, melainkan karena keterbatasan sumber daya.
Hal yang tidak kalah penting adalah adanya upaya mendorong KPK menjadi sekadar lembaga pencegahan korupsi. Padahal, seharusnya KPK menjalankan fungsi pencegahan dan penindakan korupsi. Charles menilai, para pejabat cukup alergi dengan prestasi KPK dalam penindakan korupsi selama ini.
”Kami berharap upaya pelemahan KPK dihentikan. Jika pemerintah dan DPR sudah tidak bisa dipercaya, sudah saatnya masyarakat bergerak menolak dan mengingatkan pemerintah dan DPR untuk berhati-hati, jangan sembarangan dan sembrono mengambil kebijakan. Jangan sampai justru pada pemerintahan sekarang KPK mati. Padahal, mereka sebelumnya berjanji memperkuat KPK,” ujar Charles.
Kami berharap upaya pelemahan KPK dihentikan. Jika pemerintah dan DPR sudah tidak bisa dipercaya, sudah saatnya masyarakat bergerak menolak dan mengingatkan pemerintah dan DPR untuk berhati-hati, jangan sembarangan dan sembrono mengambil kebijakan.
Pada Jumat pagi, puluhan mahasiswa dan dosen Universitas Andalas berunjuk rasa di sekitar kampus di Padang, Sumatera Barat. Mereka menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK oleh DPR.
Unjuk rasa berlangsung sekitar satu setengah jam sejak pukul 09.30. Massa yang berpakaian serba hitam itu beraksi di persimpangan depan Gedung Rektorat Unand. Pengunjuk rasa secara bergantian berorasi menolak revisi UU KPK dan mengungkapkan kekecewaan terhadap upaya pelemahan KPK.
Selain berorasi, para pengunjuk rasa juga membawa tiruan pocong sebagai simbol matinya penindakan korupsi karena pelemahan KPK. Tulisan-tulisan berisi penolakan terhadap revisi UU KPK, kekecewaan terhadap presiden, dan harapan untuk masa depan KPK turut mewarnai aksi.
”Kami menggunakan pakaian serba hitam sebagai simbol berbelasungkawa upaya DPR dan pemerintah untuk mematikan KPK. Jika revisi itu benar-benar terealisasi, akan melemahkan KPK. Dampak terparah adalah matinya KPK secara perlahan,” kata Doko, juru bicara peserta unjuk rasa.
Aziz Abdullatif, peserta aksi lainnya, berpendapat, munculnya ide revisi UU KPK patut dipertanyakan. UU KPK yang tidak bermasalah tiba-tiba direvisi di masa jabatan DPR yang tinggal menghitung hari. Sementara itu, UU lain yang masuk prioritas dalam Prolegnas 2015-2019 justru tidak menunjukkan perkembangan berarti.
Aziz melanjutkan, rencana revisi UU KPK menjadi pukulan kedua bagi KPK. Sebelumnya, KPK dilemahkan dengan terpilihnya kandidat bermasalah sebagai pimpinan KPK. Panitia seleksi dan proses seleksi calon pimpinan KPK menuai kekecewaan publik.
”Kami takut KPK tidak lagi menjadi lembaga yang bisa memberantas korupsi, tetapi justru jadi tempat menampung para koruptor. Pimpinannya saja sudah bermasalah, apalagi ke bawahnya,” kata Aziz, mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara angkatan 2016.