Anak Bangsa, Mari Kita Jaga Damai Tanah Papua
Tanah Papua kembali membuktikan kekuatannya. Perbedaan pendapat dan latar belakang, sekali lagi, tak mampu memecah belah persatuan. Ke depan, tantangan bisa jadi lebih keras. Semua anak bangsa harus dapat porsi setara.
Tanah Papua kembali membuktikan kekuatannya. Perbedaan pendapat dan latar belakang, sekali lagi, tak mampu memecah belah persatuan mereka. Ke depan, tantangan bisa jadi lebih keras. Semua anak bangsa harus mendapat porsi yang sama.
Selasa (20/8/2019) siang, raut wajah Lamberthus Jitmau terlihat lelah. Kantong mata Wali Kota Sorong, Papua Barat, itu menebal dan menghitam. Malam sebelumnya, ia baru saja keluar masuk kampung di Sorong.
Gelombang unjuk rasa terkait ujaran kebencian bernada rasisme yang terjadi di Jawa Timur membuatnya cemas. Jika tak segara ditangani, potensi membesar bisa terjadi. Semalaman, bersama beberapa tokoh masyarakat setempat, dia mencoba mendinginkan suasana.
Akan tetapi, semuanya belum cukup. Sekitar 1.000 orang datang menyuarakan keinginan mereka di kantor Wali Kota Sorong pada Selasa siang. Spanduk dan sorak-sorai massa mengiringi aksi tersebut. Mereka meminta Lamberthus keluar dan menetapkan sikapnya terkait kasus ini.
Lamberthus tak gentar. Dia melangkahkan kaki keluar dari kantornya. Namun, baru sebentar Lamberthus berada di depan massa aksi, suasana mendadak kacau. Beberapa orator berebut pengeras suara.
Saat Lamberthus hendak berbicara, terjadi lemparan berbagai jenis barang. Entah milik siapa. Botol air mineral, batu, dan kayu beterbangan. Itikad baik sementara berbalas tindakan berbahaya.
Mencegah hal yang tidak diinginkan, Lamberthus mengalah. Dia kembali masuk kantor. Dialog gagal dilakukan. Kekecewaan besar terpahat di wajahnya. Tubuhnya lunglai bersandar duduk di kursi.
”Kenapa anak-anak saya bisa seperti ini?” katanya. Setelah meneguk air mineral, ia menghela napas panjang. Lamberthus seperti tahu, hari itu Sorong masih bakal mencekam.
”Semua tetap tenang, ya,” ujarnya lagi. Kali ini, matanya nanar memandang pejabat Pemerintah Kota Sorong yang berdiri di hadapannya. Tampak jelas, Lamberthus berharap ada jalan agar semuanya bakal baik-baik saja.
Toleransi
Unjuk rasa pertama terjadi di Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, Senin (19/8/2019). Hal itu dipicu persekusi bernada rasisme yang diduga menimpa mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pada Jumat, 16 Agustus.
Gedung DPRD Papua Barat, gedung Majelis Rakyat Papua, dan beberapa bangunan di kompleks perkantoran dibakar massa. Sejumlah tempat usaha yang berdiri di sisi jalan utama dirusak. Aktivitas kota itu lumpuh.
Selang beberapa jam kemudian, kerusuhan melebar ke Kota Sorong, 392 kilometer arah barat Manokwari. Massa merusak sejumlah bangunan di pusat kota. Kelompok lain bergerak ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Sorong. Lapas pun terbakar.
Sebagian massa juga merangsek masuk ke Bandar Udara Domine Osok. Beberapa sisi bangunan bandara megah senilai Rp 239 miliar itu dirusak.
Saat Kompas mendarat di bandara yang menjadi gerbang Papua itu pada Senin petang, sekitar 20 penumpang masih terjebak di dalamnya. Mereka tak berani keluar meski para pendemo sudah pergi dikejar aparat gabungan TNI dan Polri yang datang setelah bandara dikepung massa. Sorong mencekam, seisi kota diliputi ketakutan.
Emosi massa kian terbakar setelah tersulut provokasi dan kabar bohong melalui media sosial. Belakangan, keinginan referendum memisahkan diri dari NKRI mencuat disuarakan beberapa kalangan.
Baca juga : Tari Yospan Massal untuk Papua Damai
Tak perlu menunggu lama, keesokan harinya setelah dialog yang batal, jalan menuju damai yang diinginkan Lamberthus itu terhampar. Massa dalam jumlah lebih besar kembali datang ke Pemkot Sorong. Mereka kembali meminta Lamberthus bicara. Tak ingin mengalami hal serupa, perdebatan alot terjadi di antara sejumlah pejabat Kota Sorong. Ada yang meminta Lamberth tak lagi menemui mereka.
”Sudah, tidak apa-apa. Saya temui saja. Mereka anak-anak saya. Kalau tidak ditemui, saya khawatir kondisi semakin kacau,” tutur Lamberthus, mencoba berbesar hati. Dia kembali keluar dari kantor wali kota. Langkahnya masih tegak. Dia mencoba tegar menghadapi massa yang masih emosi.
”Anak-anakku terkasih, tolong dengar saya. Orang tua dan kakak kalian ini bicara,” kata Lamberthus.
Selanjutnya, ia bicara panjang lebar selama 30 menit. Intinya, dia meminta masyarakat tetap tenang dan pulang ke rumah masing-masing. Dia berjanji akan menyampaikan aspirasi yang ditulis perwakilan massa ke tingkat pimpinan lebih tinggi. Kali ini, ucapannya berhasil. Tak ada lagi hujan batu dan kayu.
”Mari bersama menjaga kedamaian di kota ini. Kita semua bersaudara. Tuhan memberkati kita semua,” kata Lamberthus, sembari mengantar massa aksi meninggalkan kompleks Pemkot Sorong.
Lamberthus tak keliru. Sorong selama ini dikenal sebagai kota penuh toleransi. Tahun 2015, saat Setara Institute meluncurkan indeks toleransi di 94 kota di Indonesia, Sorong ada di kelompok 10 besar terbaik.
Tak heran apabila Sorong punya status tersebut. Salah satu modal kuatnya adalah kehadiran istilah ”satu tungku tiga batu” yang hidup di pesisir Papua Barat, mulai dari Sorong, Fakfak, hingga Kaimana. Itu adalah semboyan yang menjaga toleransi beragama selama berabad-abad di wilayah ujung timur Indonesia ini.
Secara harfiah, tungku dimaknai sebagai satu rumah besar, yaitu kebersamaan. Sementara tiga batu penopang di bawahnya merujuk pada tiga agama besar di Papua Barat, yaitu Katolik, Islam, dan Kristen. Ibarat tungku, satu saja batu itu hilang, keseimbangan pun akan terganggu. Tungku tumpah, petaka pun muncul (Kompas, 26 Oktober 2013).
Perdamaian
Semangat itu juga yang membuat anak muda Sorong bergerak saat potensi rusuh datang. Seperti tak ingin dinodai marah dan murka, mereka berekonsiliasi dengan caranya sendiri. Isu adanya sentimen agama dalam kerusuhan coba diredam lewat aksi nyata.
Baca juga : Pulihkan Segera Papua
Jumat (23/8/2019), misalnya, sejumlah pemuda Islam dan Kristen keturunan Maluku membersihkan puing-puing di Jalan Basuki Rahmat, salah satu kawasan rawan saat aksi massa terjadi. Mereka berasal dari beberapa kampung di Sorong. Ada yang orangtua mereka berasal dari Maluku. Sebagian berdarah campuran Maluku-Jawa dan Maluku-Sulawesi. Selain mengangkut ban bekas terbakar dan potongan kayu di tengah jalan, anak muda itu juga membantu merapikan kios-kios milik pedagang.
”Kami di Maluku punya pengalaman pahit saat konflik dulu. Kami tidak ingin apa yang kami alami dulu terulang lagi di sini. Mari semua anak muda menjadi pembawa damai,” kata Angelico Stefanus (30), warga Sorong berdarah Maluku.
Kami di Maluku punya pengalaman pahit saat konflik dulu. Kami tidak ingin apa yang kami alami dulu terulang lagi di sini. Mari semua anak muda menjadi pembawa damai.
Di Kelurahan Remu, anak-anak muda asli Papua juga mendatangi Pasar Remu. Di sana mereka ikut menata lapak dagang mama-mama yang amburadul akibat aksi. Lucky (30), salah seorang anak muda itu, mengatakan, dirinya bersama tiga rekannya pemuda asli Papua sengaja datang agar insiden tidak berdampak buruk bagi perekonomian di Sorong.
Dia membayangkan, jika mama-mama tidak berjualan, warga akan kesulitan mendapatkan bahan makanan. Apabila hal itu terjadi, dampaknya bisa panjang dan bakal merugikan.
Saat Sorong perlahan adem, Manokwari, ibu kota Papua Barat, juga dipenuhi kasih. Sempat muncul isu keagamaan, kearifan warga dan tokoh masyarakat kembali menjadi kunci perdamaian. Emosi tanpa arti tak diberi ruang. Manokwari sekali lagi membuktikan kekuatannya menerima perbedaan.
Kasih sejak lama mengalir di sana. Sejarah sudah membuktikannya. Injil pertama kali masuk Papua melalui Pulau Mansiam pada abad ke-18 dan terus menyebar ke pedalaman dan pegunungan. Agama ini disebarkan Geisiser dan Ottow, misionaris dari Eropa.
Bahkan, sebagian warga pesisir Papua Barat percaya masuknya agama Kristen mulai dari Manokwari turut dibantu uluran tangan pemeluk Islam. Mereka menumpang kapal yang difasilitasi Sultan Ternate yang beragama Islam (Kompas, 26 Oktober 2013).
Baca juga : Libatkan Kelompok Muda Tentukan Masa Depan Papua
Salah satu ujian yang berhasil dilalui saat ketegangan muncul kembali setelah aksi berujung anarki di Jayapura, Kamis, 29 Agustus. Terpaut 825 kilometer, aroma panasnya sampai ke Manokwari. Beredar kabar adanya rencana aksi besar-besaran di Manokwari pada Senin (2/9/2019). Rencana aksi itu disebar melalui pesan singkat, selebaran, dan pesan dari mulut ke mulut.
Kali ini, anak muda Manokwari bergerak lebih cepat meredakan ketegangan. Tak ingin rusuh jadi hantu, mereka berinisiatif memadamkan bara api dengan hangat lilin perdamaian.
Minggu (1/9/2019) malam, lebih dari 40 orang, termasuk anak-anak, datang ke tugu patung Izaak Samuel Kijne di pusat kota Manokwari. Ratusan lilin dinyalakan. Mereka juga mengikat kepala dengan pita berwarna merah putih. Di bawah patung misionaris cinta tanah Papua itu, mereka berdoa agar Manokwari dijauhi dari marabahaya.
Doa anak-anak itu muda itu berjalan beriringan dengan imbauan penting para pemuka adat Papua Barat. Guna meredam isu panas, Kepala Suku Besar Arfak Dominggus Mandacan mengumpulkan semua tokoh adat dan kepala suku Arfak pada hari yang sama. Manokwari merupakan wilayah adat di bawah kekuasaan suku Arfak. Oleh karena itu, suku Arfak dianggap sebagai ”pemilik” Manokwari.
Dalam pertemuan yang dihadiri sekitar 500 orang itu, masyarakat suku Arfak diminta tidak turun ke jalan. Masyarakat suku Arfak harus menjaga kedamaian di Manokwari.
”Sebagai tuan rumah di kota ini, kita harus bertanggung jawab untuk mengamankannya. Tidak boleh ikut-ikutan membuat rusuh. Sampaikan pesan saya ini kepada semua orang suku Arfak,” kata Dominggus.
Sebagai tuan rumah di kota ini, kita harus bertanggung jawab untuk mengamankannya. Tidak boleh ikut-ikutan membuat rusuh. Sampaikan pesan saya ini kepada semua orang suku Arfak.
Seruan Dominggus didengar. Rencana aksi pada Senin itu tidak jadi mekar. Begitu berpengaruhnya suara Kepala Suku Besar Arfak itu. Kata-katanya tersebut seperti sabda yang wajib dipatuhi pengikutnya.
Di kalangan masyarakat Papua secara keseluruhan, pesan damai dan seruan perang biasanya keluar dari mulut kepala suku. Jika pendekatan terhadap kepala suku dilakukan dengan baik, banyak masalah dapat diselesaikan. Kali ini, seruan itu kembali terbukti.
Pelajaran berharga
Selain warga dan pemuka adat, peran polisi menghadapi demonstran juga tidak bisa dilepaskan. Telunjuk dekat dengan muka, embusan asap rokok tepat di hadapan wajah komandan, hingga sumpah serapah, tak membuat polisi terprovokasi. Sedikit keliru, bukan tak mungkin kerusuhan bakal terjadi.
Salah satunya terlihat pada Jumat (6/9/2019) di kawasan Amban, dekat Kampus Universitas Papua, Manokwari. Massa aksi dihalau saat hendak masuk ke pusat kota. Mereka tampak memancing kemarahan lewat ucapan provokatif.
Ketika bernegosiasi dengan Kepala Polres Manokwari Ajun Komisaris Besar Adam Erwindi, misalnya. Ada perwakilan peserta aksi yang berbicara dengan suara keras sambil menudingkan tangannya ke arah wajah Adam.
Melihat ujung jari nyaris mengenai muka atasannya, beberapa anggota polisi terlihat kesal. Mereka mengunyah geraham tanda geram. Namun, ketenangan Adam bisa mendinginkan suasana.
”Sebagai komandan, saya harus tenang. Kalau bergerak, kondisi ini semakin kacau. Bisa ada korban, baik pendemo maupun aparat. Saya harus menghindari kekerasan demi Manokwari aman,” tutur Adam. Dia benar. Sabar menjadi satu kunci yang membuat Manokwari tak bergejolak lagi.
Sabtu, 7 September, Sorong tak lagi membara. Hanya terik matahari di musim kemarau yang masih menyengat. Penerbangan menuju dan dari Bandara Domine Osok lancar. Sekitar 40 pesawat mendarat dan terbang setiap hari. Sebanyak 3.000 sampai 4.000 orang pergi dan datang ke Sorong tiap hari.
”Sekarang sudah aman. Sudah bisa jalan malam-malam. Warung makan malam sudah buka. Berharap begini terus,” ucap Nafsia, mahasiswa asal Universitas Indonesia, yang tengah melakukan penelitian di Sorong.
Lamberthus Jitmau, pemimpin di kota berpenduduk sekitar 220.000 jiwa itu, pasti senang melihat kotanya kembali damai. Rakyatnya tak lagi hidup dalam cemas dan takut. Bisa jadi, ia kini bisa punya waktu istirahat lebih lama tanpa khawatir sandal dan kayu bakal menghujaninya.
Akan tetapi, pengajar Antropologi di Universitas Papua, I Ngurah Suryawan, mengingatkan, ragam masalah kompleks di tanah Papua ibarat api di dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat meletus kembali. Untuk menyelesaikan masalah Papua, perlu pendekatan humanis, bukan sekadar infrastruktur, apalagi keamanan.
”Kedepankan dialog dan perlakukan orang Papua itu setara. Dengarkan apa yang mereka sampaikan. Jangan melihat mereka sebagai musuh,” ujarnya.
Kedepankan dialog dan perlakukan orang Papua itu setara. Dengarkan apa yang mereka sampaikan. Jangan melihat mereka sebagai musuh.
Menurut dia, dialog yang terjadi saat ini belum melibatkan akar rumput, terutama anak muda yang memiliki peran besar dalam dinamika sosial di tengah masyarakat.
Dialog masih sebatas pada tataran elite. Jika anak muda dilibatkan, mereka dapat menjadi penjembatan antara pemerintah dan masyarakat. Mereka dapat berperan meredam gejolak yang terjadi di masyarakat.
Banyak orang memperkirakan, kerusuhan di tanah Papua akan bergulir dalam waktu lama. Namun, semesta tak mau membiarkan hal itu berlarut. Tangan dingin tokoh agama, tokoh adat, pemerintah, hingga aparat keamanan tulus hati merajut perdamaian. Paling penting di antara semuanya, tumbuh kesadaran masyarakat untuk menjaga Papua sebagai tanah damai.
Akan tetapi, problem kesetaraan tetap tak boleh dilupakan. Pada masa damai seperti sekarang ini, semuanya bisa lebih mudah dibicarakan. Bukan waktunya emosi diberi hati. Mari kita jaga damai di Papua.