JAKARTA, KOMPAS —DPR bersikeras mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada akhir periode 2014-2019. Padahal, kualitas RKUHP dinilai sejumlah pihak lebih mundur dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku. Di sisi lain, kehadiran sejumlah pasal karet dan bermasalah bisa meningkatkan potensi masyarakat tersandung kasus pidana.
Dari tujuh poin krusial yang dibahas DPR dan pemerintah, yaitu pidana mati, hukum adat, penghinaan terhadap presiden, kesusilaan, tindak pidana khusus, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup, hanya tinggal dua poin yang pembahasannya belum rampung. Kedua poin itu, menurut anggota Panitia Kerja RKUHP, Ichsan Soelistyo, terkait penghinaan terhadap presiden dan kesusilaan.
”Tinggal beberapa poin lagi sehingga pembahasan RKUHP hampir selesai. Sudah empat tahun kami bahas. Kalau terus ditunggu, RKUHP ini tak akan bisa memuaskan semua pihak,” kata Ichsan, Jumat (13/9/2019), di Jakarta.
Ketua Panitia Kerja RKUHP Mulfachri Harahap mengatakan, DPR menargetkan dalam satu pekan mendatang akan dilakukan pengambilan keputusan tingkat pertama. Meskipun sulit menghadirkan aturan yang sempurna, pihaknya berharap KUHP ini dapat diterima semua kalangan.
Pasal bermasalah
Salah satu aturan yang dianggap bermasalah adalah penghinaan terhadap presiden dalam Pasal 218 dan 219. Ketentuan mengenai penghinaan terhadap presiden itu telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No 013-022/ PUUIV/2016. Namun, Ichsan menjelaskan, sebagai simbol negara, presiden tidak boleh dihina sehingga diperlukan aturan hukum bagi pihak-pihak yang menghina presiden. ”Kita akan mencari jalan keluar dari putusan MK itu,” katanya.
Mulfachri menambahkan, pasal penghinaan terhadap presiden itu menjadi delik aduan mutlak dan absolut. Berhubung presiden memiliki kesibukan luar biasa, aduan itu bisa disampaikan secara tertulis oleh presiden.
Untuk pasal kesusilaan, Ichsan mengatakan, prinsip utama dalam poin itu ialah untuk menjamin ruang privasi semua warga negara. Indonesia, katanya, berasaskan nilai-nilai keagamaan yang berada di masyarakat sehingga ruang pribadi harus dihargai. Sebagai delik aduan, pihak-pihak yang dibolehkan menyampaikan aduan terkait kasus pidana kesusilaan hanya keluarga terdekat.
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, DPR dan pemerintah harus menghormati putusan terdahulu terkait sejumlah aturan pidana. Sebagai contoh, aturan mengenai penghinaan terhadap presiden yang sudah dicabut MK dan aturan terkait korupsi yang telah dikeluarkan dari KUHP melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Saya melihat banyak pemikiran yang mundur ke belakang. (Peraturan) yang telah di luar, dimasukkan, lalu yang dahulu dicabut, dihidupkan lagi. Bagaimana ingin dikatakan kalau produk KUHP ini lebih maju dibandingkan dengan produk KUHP buatan kolonial?” kata Akhiar.
Peraturan daerah
Mengenai ketentuan hukum yang hidup di masyarakat (living law) yang termuat dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2), Ichsan mengungkapkan, dalam masa peralihan selama dua tahun, ketentuan itu akan dibuat tersurat dalam peraturan daerah yang dikeluarkan oleh setiap pemerintah daerah.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur menyayangkan pengaturan tersebut. Ketentuan itu seperti memberikan kewenangan kepada pemda untuk menerbitkan peraturan pidana yang sangat dipengaruhi kondisi di daerah.
”Ini berbahaya bagi konteks kebinekaan dan dapat memicu perpecahan di masyarakat,” ujarnya. Isnur juga mengingatkan bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia saat ini mencatat ada sekitar 400 perda inkonstitusional.
Atas dasar itu, ia berharap eksekutif dan legislatif tidak memaksakan RKUHP disahkan DPR periode 2014-2019. Ada sejumlah aturan dalam RKUHP yang memperluas potensi masyarakat tersandung kasus pidana dan akan mempersulit penegak hukum menjalankan peraturan yang dicantumkan RKUHP.
”Karena itu, kami meminta pemerintah dan DPR menunda demi kebaikan semua daripada pengesahan dilakukan tergesa-gesa, justru dapat menimbulkan bencana,” kata Isnur.
(SAN/AGE)