KPK Menunggu Presiden
Tiga dari lima unsur pimpinan KPK menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK ke Presiden. Mereka berharap Presiden mengajak bicara menyangkut persoalan KPK.
JAKARTA, KOMPAS Tiga dari lima unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi 2015-2019, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang, Jumat (13/9/2019), menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden Joko Widodo. Mereka menunggu perintah selanjutnya dari Presiden dan berharap diajak bicara oleh Presiden terkait kegelisahan yang ada di KPK.
Selain terkait hasil uji kelayakan dan kepatutan Komisi III DPR terhadap pimpinan KPK periode 2019-2023, sikap itu terutama diambil karena adanya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang kini tengah dilakukan DPR dan pemerintah. Sampai saat ini, KPK belum pernah diajak bicara dan mendapatkan draf RUU tersebut.
Setelah pernyataan itu, sejumlah pegiat gerakan masyarakat sipil memasang keranda dan melakukan tabur bunga di depan Gedung KPK, Jakarta. Di sekitar keranda ada tulisan ”KPK Telah Mati” dan ”Rest in Chaos”.
Sebelum tiga unsur pimpinan KPK memberi pernyataan pada pukul 19.35, sekelompok orang yang mengatasnamakan mahasiswa mendatangi KPK pada sore hari. Dalam aksinya, mereka membakar bunga yang dikirim masyarakat sebagai bentuk dukungan terhadap komisi itu dan membuka paksa kain hitam yang menutup papan nama KPK.
Selain menyatakan mendukung revisi UU KPK, mereka juga mengucapkan selamat kepada calon pimpinan KPK terpilih periode 2019-2023. Lima calon unsur pimpinan KPK yang dipilih Komisi III DPR adalah Firli Bahuri yang juga ditetapkan sebagai ketua KPK 2019-2023, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintauli Siregar.
Peran KPK
Kemarin, Presiden Jokowi menegaskan, seleksi pimpinan KPK, termasuk terpilihnya Firli, sudah melalui prosedur di panitia seleksi dan di DPR.
Jokowi yang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga mengatakan, ”Saya ingin KPK mempunyai peran sentral dalam pemberantasan korupsi, yang punya kewenangan lebih kuat dibanding lembaga lain.”
Terkait revisi UU KPK, Presiden menegaskan telah mempelajarinya dan mendengarkan masukan dari masyarakat, pegiat antikorupsi, akademisi, mahasiswa, dan tokoh-tokoh bangsa.
Saat ditanya tentang adanya pimpinan KPK yang ingin bertemu, Presiden menjawab, ”Yang bertemu saya banyak dan gampang. Tokoh-tokoh kemarin yang berkaitan dengan RUU KPK ini juga sudah bertemu. Gampang, lewat saja Mensesneg. Kalau sudah, tentu akan diatur waktunya.”
Berkaitan dengan kabar mundurnya Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Presiden menyatakan, hal itu adalah hak pribadi seseorang. Saut menyatakan mundur kemarin pagi. Kemarin sore di KPK, ia bersama Agus Rahardjo dan Laode menyatakan menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK ke Presiden.
”Dengan berat hati, pada hari ini, Jumat 13 September 2019, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Bapak Presiden Republik Indonesia,” kata Agus.
Agus mengatakan, lima unsur pimpinan KPK 2019-2023 yang dipilih Komisi III DPR pada Jumat dini hari masih menyisakan masalah. Namun, apabila Rapat Paripurna DPR telah menyetujui, KPK tidak bisa melawan.
Hal yang saat ini lebih menggelisahkan KPK adalah tentang rencana revisi UU KPK. Sampai saat ini, pimpinan KPK belum memperoleh draf RUU itu secara resmi. Upaya meminta kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly juga hanya dijawab bahwa pihak KPK nanti akan diundang.
”Ada kegentingan dan kepentingan apa sehingga kami tidak mengetahui dan buru-buru disahkan. Kami sangat prihatin kondisi pemberantasan korupsi semakin mencemaskan. KPK rasanya dikepung dari berbagai sisi,” tutur Agus.
Tertutup
Di tengah sejumlah kontroversi yang terjadi, rapat perdana untuk membahas revisi UU KPK antara Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi DPR dan pemerintah kemarin digelar secara tertutup.
Menurut Ketua Panja Revisi UU KPK dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas, rapat tidak dibuka karena Tata Tertib DPR mengharuskan rapat di tingkat panja dilakukan tertutup. ”Memang rapat-rapat panja harus tertutup, karena di tatib DPR, yang namanya panja itu harus tertutup,” katanya.
Padahal, saat rapat kerja perdana untuk menyampaikan pandangan Presiden atas revisi UU KPK di Badan Legislasi DPR pada Kamis (12/9) malam, Yasonna menjanjikan pembahasan revisi UU KPK dilakukan secara terbuka agar bisa disaksikan oleh publik.
Menurut Yasonna, meski panja berwenang memutuskan rapat berlangsung tertutup, transparansi diperlukan agar DPR dan pemerintah tidak terkesan membahas revisi UU KPK secara diam-diam. ”Kita buka debat secara terbuka agar jangan ada dusta di antara kita,” kata Yasonna.
Rapat panja revisi UU KPK, kemarin, diselenggarakan untuk menyisir semua daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan pemerintah, yang berjumlah 286 nomor. Wakil Ketua Panja dari Fraksi Partai Amanat Nasional Totok Daryanto mengatakan, rapat terbuka baru akan dilakukan saat rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Namun, pada rapat kerja itu, kecil kemungkinan materi sejumlah pasal akan berubah lagi karena sudah disepakati terlebih dahulu di tingkat panja yang diadakan tertutup. Totok menambahkan, dalam rapat kemarin masih ada perdebatan antara fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah terkait sejumlah hal. Namun, ia enggan mengungkapnya.
Dalam DIM yang diserahkan pemerintah itu, ada sedikit perbedaan sikap antara pemerintah dan DPR. Perbedaan itu terletak pada beberapa poin, seperti ketidaksetujuan pemerintah atas keharusan KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam hal penuntutan, keharusan penyelidik dan penyidik KPK yang hanya berasal kepolisian, serta kewenangan pengelolaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dialihkan dari KPK ke kementerian atau lembaga lain.
(IAN/INA/JOL/WER/INK/NIA/AGE)