Ketua parlemen Inggris mengingatkan PM Boris Johnson bahwa parlemen akan mengambil langkah-langkah keras seandainya ia tidak menghormati aturan hukum terkait Brexit.
LONDON, JUMAT— Meskipun parlemen Inggris saat ini sedang menjalani skorsing selama lima pekan sampai 14 Oktober, parlemen mengingatkan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson agar menghormati hukum dan tidak mencoba-coba melakukan pengabaian. Jika Johnson tidak patuh, parlemen akan melakukan tindakan keras.
Ketua Majelis Rendah Inggris John Bercow, Jumat (13/9/2019), mengingatkan, jika Johnson tak patuh pada UU dengan menolak meminta perpanjangan tenggat Brexit kepada Uni Eropa (UE), Johnson memberikan contoh yang sangat buruk kepada masyarakat. Bercow menegaskan, parlemen akan menghalangi langkah Johnson dengan segala cara dan dengan kekuatan penuh.
”Seandainya pencegahan itu membutuhkan tambahan kreativitas prosedural, percayalah, kami akan melakukannya. Waktu dan aturan tertulis tidak akan bisa menghentikan (langkah parlemen),” kata Bercow.
Pernyataan Bercow itu muncul setelah Johnson menegaskan lagi, Inggris tetap akan keluar dari UE pada 31 Oktober, dengan atau tanpa kesepakatan. Padahal, pekan lalu, sebelum reses, parlemen Inggris telah meloloskan UU yang menyatakan Brexit harus terjadi dengan kesepakatan. Jika kesepakatan belum tercapai sampai 31 Oktober, PM Inggris diharuskan meminta perpanjangan tenggat Brexit sampai Januari 2020.
Johnson saat ini menghadapi tuntutan legal bahwa langkahnya untuk menskors parlemen selama lima pekan dinilai melanggar hukum.
Johnson juga dianggap telah berbohong kepada Ratu Inggris Elizabeth II terkait alasannya mengundurkan pidato Ratu pada pembukaan sidang parlemen menjadi tanggal 14 Oktober.
Kepada Ratu, Johnson mengatakan, pengunduran itu dilakukan karena ada agenda domestik yang mendesak. Padahal, kubu oposisi menengarai, skorsing terhadap parlemen itu demi memuluskan strategi Johnson untuk menerapkan opsi Brexit tanpa kesepakatan.
Terdesak
Posisi Johnson kini makin terdesak karena Pengadilan Tinggi Skotlandia memutuskan bahwa langkah Johnson untuk menskors parlemen selama lima pekan ”melanggar hukum” dan bertujuan untuk ”menghalangi parlemen”. Pemerintah Inggris mengajukan banding atas keputusan itu.
Menurut juru bicara oposisi dari Partai Liberal Demokrat, Tom Brake, pemerintah menyembunyikan dokumen internal berupa pesan, surel, terkait keputusan untuk menskors parlemen.
”Saya curiga dokumen-dokumen itu akan mengonfirmasi bahwa Perdana Menteri berbohong mengenai alasan prorogasi (memperpanjang reses parlemen). Kita semua tahu alasan Johnson menskors parlemen karena ia tak mau parlemen menghalangi dirinya,” kata Brake.
Johnson juga menghadapi persoalan baru terkait persiapan Inggris seandainya terjadi Brexit tanpa kesepakatan. Kamis (12/9), ia mengatakan bahwa Inggris akan siap jika keluar dari UE pada 31 Oktober. Namun, berdasarkan dokumen yang diberi tajuk ”Operation Yellowhammer” yang akhirnya dibuka kepada publik karena desakan parlemen, terbukti bahwa prediksi Pemerintah Inggris terhadap Brexit tanpa kesepakatan sangat muram.
Dokumen itu menjelaskan, disrupsi yang akan terjadi antara lain adalah pembangkangan sipil, ketegangan antarkomunitas, dan kelangkaan bahan makanan ataupun obat-obatan. Juga akan terjadi kemandekan di pelabuhan-pelabuhan yang akan mengancam pasokan.
Hanya 46 hari menjelang tenggat Brexit berakhir, masih belum jelas apakah Brexit akan terjadi atau tidak. Sampai saat ini, ganjalan utama kesepakatan Brexit terfokus pada masalah backstop Irlandia Utara. Inggris menolak backstop tersebut, tetapi juga tidak memiliki alternatif yang lebih baik.
UE pesimistis
Juru runding Brexit dari UE, Michel Barnier, pesimistis bahwa sampai KTT UE pada pertengahan Oktober kedua pihak bisa mencapai kesepakatan. ”Tak ada alasan untuk optimistis.”
Pekan depan, parlemen Eropa akan melakukan voting untuk memperkuat sikap UE terkait Brexit. Bagi Brussels, tak akan ada kesepakatan tanpa backstop. (AFP/AP/MYR)