Perlindungan konsumen dalam jual beli properti diharapkan tidak hanya berhenti pada peraturan, tetapi mesti dapat diimplementasikan di lapangan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan konsumen dalam jual beli properti diharapkan tidak hanya berhenti pada peraturan, tetapi mesti dapat diimplementasikan di lapangan. Oleh karena itu, untuk menjalankannya diperlukan pengawasan dan transparansi dari pemerintah daerah.
Hal itu diungkapkan Rio Priambodo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Bidang Pengaduan dan Hukum, Jumat (13/9/2019), di Jakarta. Melalui Permen 11/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli (PPJB) Rumah, hak konsumen lebih terjamin.
”Permasalahannya selama ini pengembang itu seperti berlindung di balik klausul PPJB yang lama. PPJB yang baru ini akan mengikat konsumen dengan pengembang. Konsumen, kan, perlu kejelasan dan kepastian karena sudah setor uang ke pengembang,” kata Rio.
Menurut Rio, keluhan atau pengaduan masyarakat terkait proses jual beli properti selalu menempati lima besar terbanyak di YLKI. Keluhannya menyangkut proyek gagal bangun, mangkrak, hingga aspek legalitas proyek yang bermasalah.
Contoh lainnya, konsumen ragu dengan kelanjutan sebuah proyek karena pembangunannya tidak jelas, sementara mereka tetap harus membayar angsuran. Jika pembelian dibatalkan, mereka akan mendapat sanksi pemotongan uang sampai 50 persen. Dengan pengaduan dan keluhan tersebut, peraturan mengenai PPJB yang baru diterbitkan tersebut dinilai akan melindungi konsumen secara lebih baik.
Untuk itu, diperlukan pengawasan dan transparansi dari pemerintah daerah dalam pelaksanaannya. Pemda diharapkan menunjuk secara jelas dinas yang berwenang dalam pengawasan. Selain itu, pemda juga diharapkan transparan kepada masyarakat tentang adanya pengembang yang wanprestasi.
”Mestinya dinas setempat merilis data per tahun daftar pengembang yang diadukan konsumen. Jadi, masyarakat bisa melihat secara terbuka, jangan sampai pengembang bermasalah membuat proyek di tempat lain, jadi tidak ada lagi korban,” ujar Alvin.
Marketing Director Paramount Land Alvin Andronicus berpandangan, pada prinsipnya perjanjian jual beli rumah atau properti berdasarkan kepercayaan dan komitmen. Konsumen percaya pada pengembang, sedangkan pengembang berkomitmen untuk membangun properti bagi konsumen.
Dengan dasar itulah, sebuah transaksi jual beli selama ini bisa dijalankan meski hanya berdasarkan gambar atau desain proyek. ”Saya pun yakin developer tidak ada yang mencari untung dari pembatalan jual beli. Memang di satu sisi pembeli merasa sanksi sangat besar, tetapi sebenarnya itu daya ikat agar konsumen berkomitmen, kecuali ada force majeure,” kata Alvin.
Menurut Alvin, aturan yang menjadi keberatan pengembang adalah terkait dengan pembatalan dan jumlah denda yang dikenakan. Selama ini, denda atau sanksi berupa pemotongan uang sampai 50 persen dari jumlah yang disetorkan karena pengembang telah menanggung biaya lain, seperti PPh Final, PPn, biaya kontraktor, dan biaya tim pembangunan.
Dengan aturan PPJB yang baru, jika terjadi wanprestasi, semua biaya tersebut hanya ditanggung oleh pengembang. Hal itulah yang menjadi keberatan pengembang. ”Konsumen, kan, mestinya sudah smart jadinya tidak sembarangan beli untuk unit atau developer tertentu. Jadi harus ada saling percaya antara kedua belah pihak,” ujar Alvin.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Khalawi Abdul Hamid mengatakan, pelaksanaan Permen PUPR No 11/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah tersebut akan diikuti dengan petunjuk teknis pelaksanaan. Penyusunan petunjuk teknis tersebut melibatkan Persatuan Pengembang Real Estat Indonesia.