NUSA DUA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan berharap penyedia layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi mengedepankan transparansi informasi. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan konsumen serta mendorong tumbuhnya industri yang berkelanjutan.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengatakan hal itu saat memberikan sambutan pembukaan Seminar Internasional Kebijakan dan Regulasi Fintech di Hotel Sofitel Nusa Dua, Bali, Senin (12/3).
Transparansi bisa diterapkan dengan secara rutin melaporkan informasi yang jelas kepada konsumen dan OJK. Wujud transparansi informasi ini mencakup hak dan kewajiban para pihak, seperti investor, peminjam, platform, dan bank koresponden menyangkut potensi pendapatan. Selain itu, juga potensi risiko, biaya-biaya, bagi hasil, manajemen risiko dan mitigasi jika terjadi kegagalan transaksi.
OJK telah mengeluarkan POJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. POJK ini menyasar industri tekfin bidang pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi informasi atau biasa dikenal peer-to-peer (p2p) lending.
Pada Pasal 9 Ayat (1) POJK No 77/2016 disebutkan, penyelenggara yang telah terdaftar wajib menyampaikan laporan berkala tiga bulan sekali untuk periode yang berakhir 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember. Laporan ini memuat jumlah pemberi dan penerima pinjaman, kualitas pinjaman, serta kegiatan yang telah dilakukan.
"Kami melihat saja perkembangan industri p2p lending ke depan seperti apa. Kalau sekarang, kami melihat, industri p2p lending sudah berkembang sangat pesat," kata Nurhaida.
Sampai Januari 2018, jumlah perusahaan p2p lending yang terdaftar di OJK sebanyak 36 perusahaan, yang berstatus berizin baru satu perusahaan. Sejumlah 42 perusahaan dalam proses pendaftaran. Total pinjaman yang disalurkan mencapai Rp 3 triliun. Jumlah penyedia dana tercatat 115.897 orang, sedangkan peminjam 330.154 orang. Nurhaida menyebut, POJK No 77/2016 memiliki kemungkinan diperbarui.
Keinginan mendorong transparansi informasi ini sejalan dengan data laporan 37 perusahaan dan 58 aplikasi layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi informasi yang diduga tidak memiliki legalitas hukum. Akan tetapi, mereka berani menyalurkan pinjaman kepada masyarakat.
Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi OJK Tongam L Tobing menyebutkan, sebagian dari mereka berdomisili di luar Indonesia. Pusat data atau server mereka pun terpasang di luar negeri. Hal ini tentu menyalahi ketentuan POJK No 77/2016.
Menurut Tongam, aplikasi layanan pinjam-meminjam uang antarpihak ini berbasis teknologi informasi ini wajib terdaftar di Kementerian Komunikasi dan Informatika. "Kami sudah memanggil mereka pada 19 Februari. Kami bekerja sama dengan Bareskrim Polri. Laporan aktivitas ataupun pergerakan mereka, kami peroleh dari berbagai sumber," ujarnya. (MED)