55 Menit Pertempuran Tiga Matra Berbasis Satelit
Simulasi pertempuran tiga matra TNI di Situbondo, Jawa Timur, mengandalkan sistem komunikasi satelit dan senjata yang terintegrasi ke seluruh kekuatan kendaraan tempur. ”Drone” memulainya dengan pengintaian dan pemboman.
Pesawat nirawak (drone) bersenjata CH4 terbang di ketinggian 15.000 kaki. Drone itu mengitari dan mengintai area yang dicurigai sebagai tempat pertahanan musuh.
Tak lama kemudian, drone yang dikendalikan dari Bandara Juanda di Sidoarjo itu lalu mengirimkan informasi ke Pos Komando Tugas Udara Gabungan. Area pertahanan musuh telah ditemukan. Perintah penyerangan diserukan.
Drone CH4 yang semula melakukan pengintaian, segera menjatuhkan sebuah bom ke titik target. 25 detik kemudian, bom sudah meluluh-lantakkan sebagian kekuatan musuh.
Serangan pesawat nirawak itu disusul serangan tiga matra Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kekuatan militer darat, laut, dan udara bergerak silih berganti dari berbagai arah untuk membumihanguskan markas musuh. Dalam tempo 55 menit, musuh dilumpuhkan.
Simulasi pertempuran Dharma Yudha 2019 yang berlangsung di Titik Pantau 12 Pusat Latihan Tempur Marinir Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, Kamis (12/9/2019), itu mengandalkan sistem komunikasi satelit dan sistem senjata yang terintegrasi ke seluruh kekuatan kendaraan tempur. Drone, kapal, truk peluncur roket, tank, pesawat, dan helikopter terpadu dengan pasukan infanteri.
Dengan satu komando dan melalui satu jaringan komunikasi berbasis satelit itu, serangan tiga matra TNI terpadu. Hal itu berkat dukungan sistem penggunaan dan penyebaran informasi untuk memperoleh keunggulan di medan perang, network-centric warfare.
Network-centric warfare ialah dogma perang yang diterapkan dengan membangun sistem jaringan komunikasi terpusat antarmatra yang mampu terintegrasi ke seluruh kekuatan kendaraan dan peralatan tempur, serta pasukan infanteri. Dogma perang itu dipelopori oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada 1990-an.
Berbagai teknologi canggih digunakan dan dimanfaatkan dalam strategi perang itu, seperti satelit, drone, dan sejumlah peralatan komunikasi. Pada simulasi perang itu, misalnya, TNI menggunakan Drone CH4.
Pesawat nirawak itu merupakan jenis Medium Altitude Long Endurance (MALE) atau berkemampuan terbang di ketinggian sedang dan dalam tempo lama. Dengan menggunakan satelit Beyond Visual Line of Sight (BVLOS), drone itu mampu terbang selama 12 jam dengan radius 1.000 kilometer.
Dalam pertempuran tersebut, Drone CH4 diterbangkan menggunakan sistem Visual Line of Sight (VLOS) dari Bandara Juanda. Dengan sistem itu, drone dapat terbang selama 30 jam tanpa henti. Adapun jarak Surabaya hingga lokasi latihan di Karang Tekok, Situbondo, sekitar 250 kilometer.
Jet tempur
Selain Drone CH4, dua pesawat tempur andalan TNI AU, Sukhoi Su-27/30 dan F-16 Fighting Falcon, turut unjuk kekuatan tempur. Keduanya menampilkan manuver serangan dadakan atau composit strike ke pertahanan udara musuh atau suppression enemy’s air defence (SEAD).
Composit strike itu diawali dengan operasi pengamatan udara pada ketinggian 18.000 kaki oleh pesawat Boeing B737 Intai Maritim dari Skadron Udara 5 Lapangan Udara (Lanud) Sultan Hasanuddin Makassar.
Setelah mendapatkan informasi tentang sasaran pertahanan udara musuh, Komando Tugas Udara Gabungan (Kogasudgab) TNI AU segera menganalisis sasaran dan mengerahkan satu paket composit strike untuk membombardir kekuatan pertahanan udara musuh.
Dalam serangan pertama, dua pesawat F-16 Figthing Falcon menembakkan rudal atau peluru kendali AGM-65 Maverick, sedangkan dua pesawat Sukhoi Su-27/30 meluncurkan peluru kendali S-8. Pesawat-pesawat ini bertugas menghancurkan kekuatan pertahanan udara musuh.
Baca juga: Saat Sukhoi dan F-16 Falcon TNI AU Memborbardir Pertahanan Udara Musuh
Pesawat tempur strategis Sukhoi Su-27/30 berfungsi sebagai penyerang dadakan menggunakan bom jenis OFAB-250. Sukhoi yang posisinya berada di belakang empat pesawat F-16 Fighting Falcon itu berfungsi sebagai pesawat penyapu musuh (sweeper).
Serangan manuver dadakan pertama yang dilakukan Falcon dan Sukhoi ini diharapkan membuat musuh tidak dapat melacak keberadaan pesawat-pesawat yang akan menyerang pada serangan berikutnya.
Setelah itu disusul dengan serangan gelombang kedua. Serangan gelombang kedua itu dilakukan empat pesawat Sukhoi Su-27/30 Flanker yang membawa bom jenis OFAB-250 dan empat pesawat T50i Golden, pembawa bom jenis Mk-82. Sebagai pengawal serangan gelombang kedua adalah empat pesawat Hawk 109/209 Elang.
Pesawat F-16 Fighting Falcon mempunyai kemampuan yang ditakuti dalam pertarungan udara. Dengan desain aerodinamis, performa engine yang superior, serta persenjataan canggih, pesawat F-16 Fighting Falcon TNI AU akan memberikan efek gentar yang tinggi kepada musuh.
Sementara pesawat Sukhoi Su-27/30 Skuadron Udara 11 merupakan pesawat tempur multifungsi (multirole fighter) Generasi 4,5. Pesawat ini memiliki fungsi sebagai alat buru sergap dan mampu melaksanakan operasi tempur taktis.
Dengan kecepatan terbang hingga 2,35 kecepatan suara (mach number /MN), pesawat ini mampu mengejar atau menyergap musuh dengan jarak 650 nautical mile atau setara dengan 1.200 kilometer.
Dalam era modern saat ini, pesawat Sukhoi merupakan salah satu pesawat canggih dan ditakuti lawan. Sukhoi dapat menyerang dan menghancurkan berbagai obyek vital musuh, antara lain sistem pertahanan udara musuh, berbagai jenis radar, jembatan, fasilitas industri, kendaraan lapis baja, dan kapal perang.
Rangkaian serangan udara yang dilakukan Kogasudgab itu menggunakan doktrin Operasi Serangan Udara Strategis (OSUS) dan Operasi Lawan Udara Ofensif (OLUO) TNI AU. Tujuan serangan udara menggunakan pesawat tempur strategis TNI AU ini adalah untuk merebut keunggulan udara lawan. Setelah itu, operasi lanjutan di darat dan di laut dapat dilakukan dengan aman.
Dianggap sukses
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Ketahanan Wiranto mengaku puas seusai melihat Latihan Gabungan Tiga Matra TNI itu. Latihan gabungan yang melibatkan sekitar 12.000 personel TNI itu sukses dan tidak ada satu pun sasaran yang meleset.
”Simulasi itu merupakan demonstrasi baru yang menunjukkan kekuatan kita, yaitu melalui drone. Drone itu mampu mengintai, menembak, dan mengebom. Ini merupakan kemajuan dan lompatan teknologi TNI kita yang luar biasa,” tuturnya.
Baca juga: Simulasi Pertempuran Modern Dianggap Sukses
Menurut Panglima ABRI pada era Presiden BJ Habibie ini, latihan gabungan dilakukan untuk kesiapsiagaan menghadapi berbagai ancaman. Latihan ini juga dibutuhkan untuk meningkatkan dan merawat profesionalitas prajurit di semua tingkatan di semua matra.
Salah satu kebanggaan Indonesia adalah kekuatan angkatan bersenjata. Indonesia telah memiliki satu kekuatan angkatan bersenjata yang dapat mengimbangi kekuatan negara lain.
”Dalam latihan itu, simulasi lengkap tiga matra yang tergabung dalam satu operasi yang rumit dan sulit berbasis komunikasi satelit dapat dilaksanakan dengan sangat akurat,” ujar Wiranto.
Simulasi itu merupakan demonstrasi baru yang menunjukkan kekuatan kita, yaitu melalui drone. Ini merupakan kemajuan dan lompatan teknologi TNI kita yang luar biasa.
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Letnan Jenderal Besar Harto Karyawan menuturkan, latihan ini merupakan upaya untuk menghadapi sekaligus mengembangkan teknik pertempuran modern. Skenario latihan diawali dengan adanya serangan sistem siber yang mengancam keamanan negara.
”Setelah mengetahui adanya serangan, kami segera membalasnya juga melalui serangan siber untuk melawan operasi musuh. Sebab, pertahanan terbaik adalah menyerang,” ujarnya.
Serangan itu diawali dengan penyusupan intelijen untuk mendapatkan data khusus lawan. Tugas ini dilakukan dalam beberapa upaya, salah satunya menggunakan pesawat nirawak.
Setelah simulasi pertempuran berakhir, Panglima Komando Tugas Udara Gabungan TNI AU Marsekal Muda TNI Donny Ermawan melaporkan hasil serangan itu melalui konferensi video kepada Panglima Kogab TNI.
Dia menyebutkan, hasil operasi udara gabungan ke sasaran secara serentak menggunakan Large Force Employment (LFE) adalah kehancuran di pusat komando dan pengendalian, pusat logistik, radar, dan pesawat musuh.
Integrasi komunikasi satelit
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, selain meningkatkan profesionalisme dan kesiapsiagaan prajurit, latihan gabungan ini ditopang oleh interoperabilitas yang didukung network-centric warfare di semua matra.
Baca juga: Kemampuan Perang Berbasis Integrasi Komunikasi Jadi Fokus
Interoperabilitas yang diharapkan Hadi ialah kemampuan berperang menggunakan beragam sistem untuk bekerja sama. Latihan ini membuat prajurit mampu membangun sebuah sistem untuk bekerja ataupun untuk dikerjakan oleh sistem lain.
”Pada 2020, kami berharap sudah memiliki alat yang mampu menggabungkan tiga sistem (dari setiap matra). Saat ini, kami masih membangun perangkat jaringan untuk menghubungkan tiga sistem itu melalui satelit,” ucap Hadi.