Anarkisme yang terjadi saat unjuk rasa di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta menyisakan tanya. Ada yang menduga bahwa mereka demonstrasi digerakkan oleh kelompok tertentu.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Unjuk rasa ricuh di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan belakangan ini mencerminkan kemunduran demokrasi. Para demonstran dinilai tidak memahami substansi demo. Sebagian menduga mereka melakukan itu karena menerima bayaran pihak tertentu.
“Kenapa mereka mau dibayar ? Kalau kita tanya apa alasan mereka untuk mendukung revisi Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 jawabannya tidak tahu dan sebagainya. Ada situasi informasi asimetrik,” ujar Direktur Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah, di Jakarta, Minggu (15/9/2019).
Artinya, ada situasi kebutuhan ekonomi orang-orang prasejahtera untuk mau digerakan dalam aksi-aksi yang tidak substansial dalam demokrasi bahkan dimobilisasi. Keadaan ini merupakan sebuah kemunduran dari demokrasi substansif.
Dalam beberapa kali unjuk rasa di KPK, Kompas mendapati bahwa benar massa yang ikut hanyalah massa bayaran. Pasalnya, massa yang hadir didominasi oleh bapak-bapak, ibu-ibu, hingga anak-anak yang dimobilisasi untuk memadati jalanan.
Pada 30 Agustus 2019, dalam demo terkait Calon Pimpinan KPK, saat massa ditanyakan alasan mengapa ikut demo, mereka mengaku hanya untuk mengisi waktu luang dan tidak tahu apa yang didemokan. Begitu pun pada 13 September 2019 dalam demo terkait revisi UU KPK, massa yang mengatasnamakan mahasiwa ternyata hanyalah massa bayaran yang dibayar Rp 100.000.
Maryati menilai, keadaan ini mencerminkan ketimpangan ekonomi di Ibu Kota, Jakarta bahwa masyarakat membutuhkan uang makan. Fenomena ini dikatakannya sebagai pembodohan demokrasi. “Orang demonstrasi tapi dibayar dan tidak paham substansinya. Itu benar-benar kemunduran (demokrasi). Jika terus begini, mereka pun akan percaya kepada uang, siapa yang membayar dan siapa yang punya kekuatan,” katanya.
Keadaan ini jelas berbahaya bagi demokrasi Indonesia ke depan. Sebab, kualitas masyarakat yang berpartisipasi dalam demokrasi menjadi tidak bebas karena tidak punya pikiran orisinil serta berada di bawah pengaruh uang dan kekuasaan.
Pada 2018, laporan indeks demokrasi dari The Economist Intelligence Unit pun menempatkan Indonesia di posisi 65 dari 167 negara di dunia, lebih rendah dari Malaysia (52) dan Filipina (53). Artinya, kondisi demokrasi Indonesia masih tergolong demokrasi cacat.
Anggota Koalisi Perempuan Anti Korupsi, Anita Wahid juga menyerukan hal senada. Menurutnya, kekerasan, pengrusakan, dan pembakaran dalam demo yang dilakukan juga tidak mencerminkan apapun selain bahwa kekerasan boleh dilakukan. Dalam jangka Panjang, keadaan ini akan menciderai demokrasi Indonesia.
Anita menegaskan, pengesahan revisi UU KPK tidak perlu terburu-buru. Padahal, substansi dari UU KPK sangat krusial, sensitif, dan berdampak bagi pemberantasan korupsi.
Revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 yang muncul dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 September 2019 memang tidak disangka-sangka. Pasalnya, Rancangan UU KPK merupakan produk lama sejak 2016 yang saat itu ditunda dan tidak masuk lagi dalam Program Legislasi Nasional 2017, 2018, dan 2019.
Dengan begitu, putusan yang diambil DPR pada Rapat Paripurna hanya dalam lima menit tanpa dibacakan oleh masing-masing fraksi tentu akan memundurkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Terlebih, revisi UU KPK ditargetkan selesai sebelum masa jabatan DPR berakhir pada akhir September.
Apabila RUU KPK benar disahkan, maka kewenangan KPK dalam menyadap, menggeledah, dan menyita harus mendapat izin dari Dewan Pengawas yang dibentuk DPR atas usulan Presiden. Selain itu, personel penyidik KPK pun tidak lagi independen karena harus berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Aparatur Sipil Negara.
Kemudian, dalam hal penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Revisi ini pun akan membuat penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang tidak selesai dalam satu tahun boleh dihentikan oleh KPK.
“Apa sih tujuannya, itikadnya, sehingga sampai segitu buru-burunya. Semua pembahasan selama 9 tahun terakhir seakan dianulir dan dikesampingkan hanya untuk mengejar penyelesaiannya di masa kerja DPR sekarang. Ini adalah sebuah proses yang patur kita curigai, kepentingannya siapa?,” kata Anita.
Menurut Maryati, Presiden Joko Widodo harus memiliki pernyataan tegas bahwa dirinya tidak ingin melemahkan KPK. Namun dalam situasi ini memang omongan Jokowi akan dinilai sebagai omong kosong, maka dibutuhkan proses rekonsiliasi.
“Tokoh-tokoh negara harus berbicara sebab kalau dibiarkan agak lama akan berbahaya. Ketidakpercayaan terhadap Presiden juga menurut saya tidak bagus karena itu pasti tidak stabil dan akan mempengaruhi ekonomi. Kita tidak ingin Indonesia chaos,” ujar Maryati.