Lihat Jakarta, kata saya. Dia adalah contoh yang tak perlu ditiru oleh kota mana saja, apalagi ibu kota baru nanti.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Usaha apa yang bisa dilakukan di ibu kota baru, Om, tanya mereka, seolah saya ahli dagang atau bahkan dukun. Om nanti akan lebih sering dong main ke ibu kota, tanya yang lain.
Ah, ternyata memang cukup lama saya tidak mengunjungi mereka. Saya sering ke situ tatkala bandara di Balikpapan belum sebagus sekarang, dan ke Samarinda waktu itu belum ada penerbangan langsung dari Jakarta.
Kalau mau ke Samarinda, Tenggarong, dan lain-lain, begitu mendarat di Balikpapan, harus mengisi perut dulu. Lanjutan perjalanan cukup panjang dan tidak mudah menemukan warung makan di pinggir jalan.
Perjalanan Balikpapan-Samarinda melewati Bukit Soeharto yang sepi, kiri-kanan hutan, tidak ada apa-apa. Kadang melintas sepeda motor. Alangkah susah kalau motor mengalami ban kempis. Pengendara harus mendorong di jalan yang seolah tanpa ujung. Ada pula perkebunan lada. Penggarapnya umumnya petani-petani Bugis. Kaltim adalah wilayah multikultural, itu yang saya suka.
Terbayang kemudian bahwa daerah inilah yang nantinya akan jadi ibu kota republik. Bakal dibangun di zaman di mana semua orang mengunggulkan kota pintar, istilahnya smart city, terbayang idiom-idiom lain yang bakal mengikutinya: smart mobility, intelligent transport, elevated route, central business district, MRT, LRT, et cetera.
Sempat terpikir, munculnya kota baru ini berbarengan dengan dirayakannya mobil yang diklaim sebagai mobil nasional bikinan dalam negeri. Akankah mobil perdesaan berseliweran di ladang-ladang, sebagai indikasi kepintaran dan efisiensi?
Terus terang, selera saya bukanlah kota yang pintar-pintar amat. Mencoba mengingat kota-kota yang pernah saya kenal berikut kawasan yang saya suka, sering saya kangen Greenwich Village di New York. Beberapa kafe memasang tanda ”No Wi-Fi”. Maksudnya apa? Agar orang ngobrol, tidak sibuk dengan gadget masing-masing.
Suasana ngobrol sore-sore, kadang perdebatan, itulah yang saya temui di beberapa kafe di kawasan tersebut, terutama yang berdekatan dengan kampus New York University (NYU) yang tersohor. Mahasiswa keluar-masuk, mencangking buku tebal. Menunya kentang goreng dan bir.
Amsterdam, kota yang menginspirasi New York, lebih proletar lagi. Sebagian besar penduduk Amsterdam mengandalkan sepeda. Ibu-ibu memodifikasi sepeda menjadi seperti gerobak. Pada gerobak yang ditempatkan di depan sepeda, mereka menaruh anak (-anak) kecil.
Kawasan termutakhir Amsterdam, dibangun dengan cita rasa artistik anak muda, terdapat di seberang kanal Central Station. Feri mondar-mandir menyeberangkan orang dari Central Station ke kawasan baru yang sangat hip itu. Isi feri adalah para pejalan kaki dan pesepeda.
Kota-kota berikut kawasan yang saya sebut tadi tidaklah semata-mata mengagungkan kekinian. Eye Film Museum di kawasan baru Amsterdam menyajikan film-film lama. Juga poster-poster dan kartu pos dari film-film lama, dari suatu zaman yang belum sepintar dan seefisien sekarang, ketika semua orang menjadi ahli tanpa spesialisasi.
Saya tidak meragukan para arsitek, ahli tata kota, para ”new urbanist” kita. Mereka ahli dalam green space, environmental stewardship, preservasi historis (mudah-mudahan), dan lain-lain jargon era Industri 4.0 ini. Yang saya ragukan adalah visi kota, apalagi dengan kapasitas kepemimpinan sekarang.
Pembangunan kota pertama oleh manusia ribuan tahun lalu, seperti Jericho dan Mesopotamia, adalah untuk melindungi penghuninya untuk melakukan ibadah. Sampai saat ini, kota-kota terbaik di dunia memiliki ciri tersebut. Selain kebebasan, kota, apalagi ibu kota, umumnya memiliki karakter ramai, aman, menghormati semua keyakinan.
Tak bisa dimungkiri antusiasme kerabat di Kaltim menyambut kota masa depan. Yang berminat punya tanah di ibu kota baru barangkali bisa menghubungi Presiden, selain makelar-makelar tanah setempat. Mengenai bisnis apa yang cocok, jawab saya: apa saja, pokoknya jangan bisnis agama. Rusak masyarakat.
Lihat Jakarta, kata saya. Dia adalah contoh yang tak perlu ditiru oleh kota mana saja, apalagi ibu kota baru nanti.