KRI Dewaruci: Janji Tak Tertulis Sang Dewa Laut
Bagi yang pernah naik kapal laut, mabuk laut merupakan hal yang lumrah. Namun, apa jadinya jika para taruna tetap merasakan mabuk meski berulang kali naik kapal laut.
Bagi yang pernah naik kapal laut, mabuk laut merupakan hal yang lumrah. Namun, apa jadinya jika para taruna tetap merasakan mabuk meski berulang kali naik kapal laut. Pengalaman dua wartawan Kompas ikut pelayaran KRI Dewaruci pada 1978 dan 1981 rasanya menarik untuk kembali disimak.
Sejarah Singkat
KRI Dewaruci merupakan kapal layar tiang tinggi tipe Barquentine, dengan satu tiang depan untuk mengembangkan layar persegi. Kapal yang dibangun di galangan kapal HC Stulken & Sohn, Hamburg, Jerman Barat, pada 1952 sebenarnya telah dirancang oleh Adrian Braun, seorang arsitek perkapalan sejak tahun 1932. Namun, proyek ini terhenti karena Perang Dunia Kedua.
Kapal ini memiliki panjang 57,60 meter, lebar 9,10 meter dengan tiga tiang tempat memasang 16 buah layar. Tiang Bima (depan) 33,25 meter dengan sembilan layar, tiang Arjuna (tengah) 35,87 meter, lima layar dan tiang Yudhistira (belakang) 32,50 meter dengan dua layar. Kecepatan jelajahnya memakai mesin mencapai 10,5 knot, sedangkan menggunakan layar mencapai 9 knot. Kapal yang mampu mengangkut 110 orang diserahkan Kapten Otto von Hattendorf kepada Aspers KSAL Mayor Pelaut Imam Sutopo di Hamburg, Jerman.
Sebagai kapal latih Angkatan Laut, kapal ini diberangkatkan ke Indonesia pada bulan Juli 1953 yang dipimpin langsung oleh Kapten Laut AFH Roosenow, Komandan pertama kapal latih KRI Dewaruci. Salah satu prestasinya adalah sudah dua kali mengelilingi dunia, tahun 1964 dan 2012, sebelum 9 ”pensiun” sebagai kapal latih dan digantikan KRI Bima Suci pada 2017.
Keliling dunia
Sebanyak 70 orang yang terdiri dari 40 orang kadet AL dan 30 orang perwira, bintara, dan tamtama, Kamis (5/3/1964) malam, menghadap Presiden Soekarno di Istana Negara. Mereka mohon doa restu untuk melakukan pelayaran keliling dunia pada 8 Maret 1964. Pelayaran selama enam bulan ini sekaligus memenuhi undangan dari Pemerintah AS yang akan menggelar acara ”New York World Trade Fair” serta ”Operation Sail’ (lomba layar internasional).
Presiden Soekarno dalam sambutannya mengatakan para kadet sebagai calon perwira harus menjunjung tinggi nama bangsa dan negara di mana pun berada serta membuktikan bahwa Indonesia adalah negara besar dan jaya. Kegiatan ini diberi nama Operasi ”Sang Saka Jaya” dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Laut Soemantri. Sejak kedatangannya di Indonesia, KRI Dewaruci telah melakukan empat kali muhibah keluar negeri ke Asia Tenggara dan Australia, yaitu 21 Mei 1957, 10 Mei 1958, 15 Mei 1959, dan 10 Mei 1961.
Diiringi lagu-lagu mars dari Korps Musik Angkatan Laut, KRI Dewaruci dilepas di dermaga Kartika Bahari, Tanjung Priok, Jakarta. ”Peran Muka Belakang! Peran Muka Belakang!”, semua kadet segera menempati pos nya. Setelah keluar dari gerbang Pelabuhan Tanjung Priok, alarm tanda peran layar berdering keras berulang-ulang. ”Peran layar! Peran layar!”, para ABK segera bekerja membuka layar. Perlahan angin berembus pada bentangan layar mendorong kapal menjauhi Tanjung Priok.
Pada hari Sabtu, 25 April 1964, dalam perjalanan menuju Yugoslavia, kapal dihantam badai di kawasan Laut Tengah. Kapal diangkat, dibanting, dan ditelan gelombang. Kawat baja sebesar pergelangan tangan tempat menggantung jala pengaman di bawah cocor, putus. Senin pagi, meski ombak hanya sedikit berkurang, mulailah dilakukan pemeriksaan kondisi kapal. Tiba-tiba seseorang berteriak, ”Patung Dewaruci tidak ada!” Di kejauhan samar-samar terlihat daratan Korinti, di wilayah Yunani. Meski kehilangan patung Dewaruci, dalam lomba layar internasional dari Bermuda-New York, yang merupakan bagian dari muhibah keliling dunia, KRI Dewaruci berhasil juara keempat setelah Norwegia, Denmark dan Argentina. Selain itu menjadi satu-satunya peserta dari Asia.
Pada tanggal 15 Januari 2012, dengan nama operasi ”Kartika Jala Krida” KRI Dewaruci melakukan pelayaran keliling dunia untuk kedua kalinya setelah 48 tahun. Tepat pada tanggal 1 Oktober 2012, KRI Dewaruci tiba di Tanah Air setelah 277 hari pelayaran.
Badai dan obat antimabuk
Hari Selasa, 17 Oktober 1978, Max Margono, wartawan Kompas mengikuti pelayaran muhibah KRI Dewaruci ke Manila, Filipina, dibawah Komandan Letkol Laut (P) Susanto. Selama 45 hari mereka akan melakukan pelayaran astronomi menuju Manila lewat Balikpapan sejauh 4.000 mil laut. Pelayaran astronomi adalah berlayar dengan berpedoman pada arah bintang. Diiringi cuaca cerah di sekitar Dermaga Ujung Surabaya, tepat pukul 10.00, peluit kapal melengking menandai mulainya perjalanan KRI Dewaruci.
Empat seperempat jam kemudian, angin berkecepatan 6-12 mil per jam mendorong gelombang dan mengguncangkan kapal dari arah depan. Kepala mulai terasa pusing mengakibatkan nafsu makan hilang. Kondisi ini tak kunjung reda hingga Rabu (18/10) malam. ”Ini masih merupakan hari-hari perkenalan anda dengan Dewaruci,” ujar Letkol Laut Susanto. Untungnya pada hari Kamis dan Jumat, ombak tidak ada. Bulan bersinar terang. Para peserta muhibah keluar dari sarangnya dan berada di geladak. Ada yang membawa gitar dan memainkannya sementara yang lain sekedar duduk-duduk atau main gaple. Sebelas dari 16 layar terkembang, mendorong kapal dengan kecepatan 6 knot melaju di laut bak kaca karena tenangnya.
Saat singgah di Balikpapan, Sabtu (21/10)-Senin (23/10), warga setempat mendapat kesempatan mengunjungi kapal secara gratis. Selain bertemu wali kota, para peserta muhibah mengadakan pertandingan bola voli persahabatan dengan siswa SMA dan berkunjung ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan AKABRI bagian laut. Ujian ketahanan mental dimulai saat berlayar di laut lepas Sulu, Senin (30/10).
Udara sejuk menjadi isyarat kapal mulai memasuki perairan bertekanan rendah. Artinya angin dari segala arah akan bergerak menuju ke daerah yang bertekanan rendah. Dalam waktu singkat, gelombang laut setinggi 7 meter menyongsong Dewaruci. Ekor badai Rita di Laut Sulu yang berkecepatan 45 km per jam membuat kapal miring 10 derajat. Kecepatan angin badai Rita di pusatnya bisa mencapai 340 km/jam. Selama dua hari kapal seperti di aduk-aduk. Tiap dua menit baling-baling terangkat ke atas air dihantam gelombang. Pelat lunas kamar mesin retak 7 sentimeter dan menyebabkan bocor. Namun, dalam tempo 2 jam, kebocoran bisa diatasi.
Satu per satu awak mabuk laut dan masuk kamar, bagi yang tidak bertugas. Beberapa taruna terlihat berbaring di tempat seadanya karena pusing, dan kepayahan akibat banyak muntah. Hujan lebat dan kabut membuat jarak pandang hanya 50 meter, bandingkan dengan panjang kapal yang hanya sekitar 58 meter. Petugas kemudi ikut mabuk sehingga perlu diganti oleh Kopral Laut Djaekun.
Bercerita soal mabuk laut, muncul berbagai resep berdasarkan pengalaman setiap orang. Seperti masuk kamar mandi, yang artinya dimuntahkan di kamar mandi kalau tak mau terlihat orang. Kopral Laut Djaekun, pemegang kemudi kapal, dan Kopral Poedjiono memilih makan banyak. Bagi Mayor Laut (Teknik) WA Pinatitji, Kepala Kamar mesin, mencegah mabuk dengan cara minum wiski dan air dingin untuk membasahi kepala. Ada lagi yang menyarankan minum air asam campur gula. Hantaman badai Rita juga membuat 3 juru masak kapal mabuk berat, menyisakan satu orang yang masih bisa bangun dan bekerja. Maka, selama dua hari, seluruh awak kapal harus makan roti sebagai ganti nasi. Akhirnya pada Kamis, tanggal 2 November, KRI Dewaruci berlabuh di pelabuhan Manila, Filipina, disambut oleh Gubernur AKABRI bagian Laut Laksamana Muda Mardiono.
Ijazah Dewa Neptunus
Diiringi lagu mars ”Angkatan Bersenjata Indonesia”, ”Maju Tak Gentar”, pelan-pelan KRI Dewaruci meninggalkan dermaga Armada RI di Pelabuhan Ujung, Surabaya, di bawah perintah Komandan Letkol Laut Rio Judojanto, Jumat, 17 April 1981. Kali ini, wartawan Kompas, Ansel da Lopez, selama 35 hari mengikuti pelayaran astronomi dari Surabaya sampai Yokosuka, Jepang, dengan nama Operasi ”Kartika Jala Krida 81”.
Belum lama berlayar, sakit mata menjalar di antara anggota kapal. Hari demi hari, jumlah penderitanya semakin banyak meski sudah diobati oleh dokter Anang Budikaryono, dokter Akabri bagian laut yang ikut dalam pelayaran tersebut. Komandan kapal pun memberi ultimatum, bagi yang sakit mata sampai di pelabuhan luar negeri, dilarang turun ke darat dan pesiar. Akhirnya awak yang sehat bolak-balik minta obat agar tidak tertular, bahkan mereka menyarankan agar yang sakit mata dikurung dalam satu kamar.
Malam hari menjelang masuk garis khatulistiwa, terdengar kegaduhan. Seorang berpakaian seperti raja dengan tombak ditangan, di kawal algojo-algojonya muncul di geladak. Komandan Letkol Rio Judojanto mengucapkan selamat datang kepada Davy Jones beserta pengawalnya. ”Aku Davy Jones, malam ini datang dari lautan membawa pesan dari Raja Lautan, Dewa Neptunus, penguasa tujuh samudera. Pesannya kepada para pelaut muda yang penakut, kuman laut, kepiting, belut, dan sebagainya yang belum dibaptis sebagai anggota keluarga besar dasar laut.
Kami dari Kerajaan Neptunus menganggap mereka masih membawa debu daratan dan kotoran sapi di kaki mereka. Mereka semua akan menjadi putra Neptunus setelah pembaptisan besok. Paginya, yang belum pernah berlayar melewati khatulistiwa dipanggil satu per satu oleh pengawal dan algojo Dewa Neptunus. Mereka diberi minum air laut, kemudian diangkat dan dicelup dalam sebuah tong yang berisi air laut dicampur oli bekas dan berbagai macam sampah dan kotoran dari dapur. Setelah dibersihkan, mereka diberi sepotong ijazah pernah melewati khatulistiwa dan diterima dalam kerajaan Dewa Neptunus. Hal ini berlaku internasional dan kapal-kapal perang menjalankannya.
Sekitar 90 mil jelang pelabuhan Yokosuka, di mulut Teluk Suruga di Lautan Pasifik, kapal dihantam badai. Angin kencang dan dingin disertai hujan membuat pantat kapal sesekali nungging dan propelernya berputar di udara karena cocornya menyelam. Permintaan darurat pun dikirim ke Jepang, yang segera mengutus Teshio dan Matsura, dua kapal perang AL Jepang untuk mendampingi KRI Dewaruci.
Kapal komando Teshio menawarkan agar Dewaruci ditunda (ditarik) saja. Sambil mengucapkan terima kasih, Letkol Laut Rio Judojanto mengatakan Dewaruci masih akan tetap berusaha sendiri. Tiba-tiba ada bunyi alarm disusul perintah lewat alat pengeras suara, ”peran penundaan... peran penundaan (kapal akan ditarik)”. Namun, dalam keadaan panik, pesan tersebut bagi sebagian awak terdengar sebagai ”peran peninggalan” (aksi meninggalkan kapal karena suatu kondisi bahaya).
Semua awak segera mengenakan pelampung, naik tangga ke geladak. Bahkan ada yang masih sempat mengingatkan untuk membawa uang. Geladak kapal yang sempit dipenuhi 137 orang yang siap meninggalkan kapal. Di anjungan, Komandan pun terlihat bingung melihat kejadian ini. Entah siapa yang salah, setelah dijelaskan ulang akhirnya semuanya kembali ke posnya.
Diakui atau tidak, KRI Dewaruci telah melahirkan orang-orang besar di TNI AL. Mantan KSAL Laksamana Soebiakto pernah menjadi komandan KRI Dewaruci. Demikian pula Laksamana Madya Soesatyo Mardhi, mantan Panglima Armada RI Laksamana Madya Rudy Purwana; mantan Pangdaeral IV Laksamana Madya Soeparno, mantan Kastaf Armada RI Laksamana Pertama JH Salu. ”Ada semacam janji tidak tertulis di Dewaruci,” ujar salah seorang perwira laut. Mereka yang berhasil di KRI Dewaruci umumnya punya masa depan gemilang. ”Dewaruci” adalah tokoh dunia pewayangan pengajar keberanian dan kebijakan untuk kebenaran.
”Jalesveva Jayamahe” ... Dirgahayu ke-74 TNI AL.
Sumber:
Kompas, Kamis, 26 Oktober 1978, halaman 1, Kompas, Sabtu, 4 November 1978, halaman 16, Kompas, Selasa, 26 Desember 1978, halaman 1, Kompas, Rabu, 27 Desember 1978, halaman 1, Kompas, Kamis, 28 Desember 1978, halaman 1, Kompas, Kamis, 21 Mei 1981, halaman 1, Kompas, Senin, 29 Juni 1981, halaman 1, Kompas, Selasa, 30 Juni 1981, halaman 1, Kompas, Rabu, 1 Juli 1981, halaman 1, Buku: Ibu Kota Menjambut RI Dewa Rutji, 1964, Buku: Dewaruci, Pelayaran Petama Menaklukkan Tujuh Samudera, karya Cornelis Kowaas, 2010.