Mereka yang hari-hari ini berjalan di seruas trotoar Jalan Tentara Pelajar, Jakarta, harus lebih hati-hati. Trotoar yang belum lama rapi itu tiba-tiba saja dibongkar.
Oleh
Agus Hermawan
·4 menit baca
Mereka yang hari-hari ini berjalan di seruas trotoar Jalan Tentara Pelajar, Jakarta, harus lebih hati-hati. Trotoar yang belum lama rapi itu tiba-tiba saja dibongkar.
Sejumlah pekerja membongkar fasilitas pejalan kaki, mencangkulnya, dan membuat semacam saluran. Rupanya, para kuli gali itu akan memasang kabel di bawah trotoar tersebut.
Pejalan kaki pun harus melipir berjalan di bahu jalan. Mereka harus lebih waspada untuk tidak tertabrak mobil atau kendaraan bermotor Jakarta yang terkenal sembrono.
Bongkar pasang trotoar seperti menjadi sebuah kebiasaan yang belum hilang di Ibu Kota. Bisa jadi penggalian karena ada pemasangan kabel, pipa, atau apa saja. Atau, dengan alasan bagian dari pemeliharaan fasilitas bagi pejalan kaki itu.
Trotoar yang masih baik bisa tiba-tiba dibongkar dan dipasang dibarukan kembali. ”Biasa... ngabisin duit proyek,” biasanya warga sudah maklum seperti itu.
Penyediaan trotoar atau fasilitas pejalan kaki di Ibu Kota memang seperti tidak pernah selesai. Saat ini, di sejumlah kawasan, trotoar sudah lebih lebar dan nyaman bagi pejalan kaki. Sejumlah tiang penghambat agar pemotor tidak melintas di trotoar juga dipasang. Jalan yang dianggap etalase Ibu Kota, seperti Jalan Sudirman atau Jalan Thamrin, pun dipasang bangku-bangku taman yang nyaman.
Namun, keberadaan trotoar di Ibu Kota juga adalah perjalanan panjang. Sebagai kampung besar, trotoar tidak melulu sebagai fasilitas pejalan kaki yang nyaman dan aman. Mereka yang sering bepergian ke luar negeri kerap membandingkannya dengan fasilitas pejalan kaki di kota-kota negara maju.
Trotoar yang lebar, teduh, bersih, aman, dan nyaman menjadi pemandangan yang mencerminkan sebuah kota telah beradab.
Keberadaan trotoar di Jakarta, seperti juga di sejumlah kota di negeri ini, adalah wajah masyarakat kita sebagaimana adanya.
Saat pengemudi ojek daring meruyak, trotoar menjadi tempat nongkrong mereka sembari menunggu pelanggan. Biasanya mereka menggunakan lapak atau alas seadanya: bisa tikar atau bekas spanduk yang digelar di trotoar.
Kerumunan mereka otomatis menghadirkan pedagang kaki lima, terutama pedagang makanan dan minuman.
Pedagang kaki lima yang ulet dan lincah bergerak bisa dalam sekejap menggelar dagangannya menggunakan gerobak; sepeda motor untuk menjajakan ketoprak, gorengan, bakso, hingga makanan berat; atau sekadar sepeda yang menjual berbagai minuman panas atau dingin.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tentunya juga melihat kenyataan itu. Menggebah para pedagang kali lima terbukti tidak efektif. Salah-salah malah mengundang bentrokan antara pedagang kaki lima dan satuan polisi pamong praja. Untuk urusan perut, orang bisa melakukan apa saja. Operasi penertiban atau razia pedagang kaki lima dengan mengangkut alat mata pencarian mereka ke atas truk bukan citra yang baik untuk Jakarta, dan tentu juga untuk Anies.
Seperti slogannya selama ini, Gubernur Anies ingin Jakarta menjadi yang ”maju kotanya, bahagia warganya”. Alih-alih menertibkan pedagang kaki lima untuk tidak berjualan di trotoar, Anies malah akan memberi tempat mereka di fasilitas yang selama ini untuk pejalan kaki.
”Jangan sampai kita berpandangan trotoar itu harus steril dari pedagang kaki lima,” katanya. Dia merujuk pada kota-kota modern dan maju di seluruh dunia yang menjadikan trotoar untuk kegiatan yang multiguna.
Kontroversi atas rencana Gubernur DKI terkait menjadikan trotoar kaki lima pun meruyak. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah mengatur fungsi dan keberadaan trotoar. Kehadiran pedagang kaki lima dikhawatirkan akan membuat trotoar semrawut. Ini bukannya tanpa alasan. Pedagang kaki lima di Jakarta berbeda dengan karakter pedagang kaki lima di negara maju.
Pengalaman menunjukkan, pedagang kita masih belum tertib. Pembatasan jam jualan kaki lima, misalnya, tidak selalu berhasil mulus. Banyak pedagang kaki lima biasa menjadikan lapak jualannya sebagai tempat menyimpan barang jualan. Tenda-tenda jualan pun biasa diletakkan di lokasi berjualan, ditinggalkan begitu saja, untuk mempermudah mereka memasangnya kembali saat berjualan.
Banyak juga yang kemudian malah menjadikan lokasi berjualannya menjadi semacam tempat tinggal mereka. Pedagang makanan dan minuman akan menyisakan persoalan sampah dan masalah higienis lain.
Istilah orang banyak, teori mah gampang. Yang susah, praktiknya!