Presiden Segera Bertemu KPK
Keinginan komisioner KPK bertemu Presiden harus direspons segera. Tidak hanya untuk meredakan situasi, tetapi juga mencari titik temu revisi UU KPK.
JAKARTA, KOMPAS— Presiden Joko Widodo menyatakan keinginannya segera bertemu dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi agar revisi terbatas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bisa dibahas bersama. Pertemuan yang lebih cepat diharapkan dapat segera menemukan jalan dan titik temu yang terbaik.
”Presiden memang ingin bertemu pimpinan KPK untuk membahas revisi terbatas UU KPK agar ada jalan keluarnya. Diupayakan terus, jika tidak Minggu, atau Senin (16/9/ 2019),” ujar Menteri Sekretaris Negara Pratikno saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (14/9).
Sehari sebelumnya, tiga dari lima unsur pimpinan KPK 2015-2019, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang, menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi. Mereka menunggu perintah selanjutnya dari Presiden dan berharap diajak berbicara terkait kegelisahan di KPK.
Perlunya Presiden Jokowi segera menerima pimpinan KPK juga disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD. Menurut Mahfud, pertemuan Presiden Jokowi dengan pimpinan KPK harus secepatnya.
”(Terkait revisi UU KPK) sudah saya sampaikan semua pendapat saya kepada Presiden, tetapi mungkin ada pertimbangan lain,” ujar Mahfud.
Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, juga mendorong pertemuan serupa segera dilakukan. Secara moral, pertemuan itu baik dan perlu untuk meredakan situasi. Namun, hal itu tetap kembali kepada Presiden yang ingin mengambil langkah seperti apa yang dianggap sesuai. Jimly menambahkan, pembahasan revisi UU KPK jangan terburu-buru.
Secara terpisah, Agus mengatakan siap kapan pun diterima Presiden Jokowi jika memang Presiden akan menerimanya terkait kegelisahan di KPK setelah keputusan DPR dan pemerintah untuk merevisi UU KPK. ”Sekarang sedang diatur oleh Mensesneg,” kata Agus.
Selain terkait hasil uji kelayakan dan kepatutan Komisi III DPR terhadap pimpinan KPK periode 2019-2023, kegelisahan muncul terutama karena adanya revisi UU KPK. Sampai saat ini, KPK belum diajak bicara dan mendapatkan draf RUU tersebut.
Presiden Jokowi dalam keterangan pers, yang didampingi Pratikno dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Jumat, menegaskan, sebelum memutuskan revisi terbatas UU KPK, pihaknya telah mempelajari dan mendengarkan masukan dari masyarakat, pegiat antikorupsi, akademisi, mahasiswa, dan tokoh-tokoh bangsa. Meski ada revisi, KPK tetap memiliki peran sentral dalam pemberantasan korupsi dan mempunyai kewenangan lebih kuat dibandingkan lembaga lain (Kompas, 14 September 2019).
Sia-sia tanpa penindakan
Terkait arah pemberantasan korupsi yang akan lebih mengutamakan pencegahan setelah revisi terbatas UU KPK, Agus menyatakan, hal itu akan sia-sia jika tak disertai penindakan atau penangkapan pelaku. ”Ya, sia-sia kalau hanya pencegahan. Namanya saja pemberantasan, jadi harus dengan tindakan penangkapan,” katanya.
Menurut Agus, selama ini KPK sering melakukan pencegahan korupsi. Namun, pencegahan korupsi juga harus dilakukan pemerintah, lembaga-lembaga lain, dan masyarakat secara masif dan komprehensif. ”Pencegahan harus
disertai perubahan sistem pelayanan, tata kelola, reformasi birokrasi, hingga perilaku lewat pendidikan serta membangun komunikasi. Kelemahannya, selama ini penegakan hukum tidak kuat, demokrasi transaksional, reformasi belum tuntas, dan sistem penggajian kita masih memungkinkan adanya honor di luar gaji,” kata Agus.
Menyinggung pemeriksaan KPK yang memerlukan waktu lama, Agus menyatakan, di banyak negara, sejumlah lembaga sejenis KPK juga perlu waktu sampai beberapa tahun penyidikannya. ”Di Singapura, misalnya, butuh waktu tiga tahun untuk menjerat oknum pejabat tinggi dengan sebelumnya menyisir pegawai-pegawai di bawahnya. Jadi, jangan hanya pakai referensi satu atau dua kasus,” katanya.
Terkait dewan pengawas, Agus menyatakan, institusi itu akan mengurangi independensi KPK, apalagi jika penyadapan juga harus minta izin terlebih dahulu. ”Hal-hal ini yang bisa menjadi perhatian dan diketahui Presiden secara rinci jika bertemu,” ujar Agus.
Asas ”contrarius actus”
Hingga kemarin, berbagai kalangan menolak revisi terbatas UU KPK. Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Fajri Nursyamsi menyatakan, Presiden Jokowi perlu menarik kembali surat presiden (surpres) yang dikirimnya ke DPR.
”Penarikan kembali dapat dilakukan berdasarkan asas contrarius actus, yaitu asas dalam hukum administrasi negara yang memberi kewenangan pejabat negara membatalkan keputusannya. Artinya, Presiden berwenang membatalkan atau menarik kembali surpres sebelumnya,” ujar Fajri.
Senada dengan itu, pengajar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari, menyatakan, Presiden Jokowi sesungguhnya masih bisa menyelesaikan masalah jika mau menarik kembali surpres.
Dukungan pun dilakukan Haris Azhar dari Lokataru. Presiden Jokowi dinilai selalu menempatkan dirinya sosok yang demokratis. Hal ini tentu harus menjadi dasar keputusannya menarik surpres.
Komisioner Ombudsman RI, Ninik Rahayu, menilai, ada keanehan proses administrasi dalam pembentukan UU atas revisi UU KPK. Jika revisi tetap dipaksakan, hal itu berdampak pada kesalahan prosedur.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menyampaikan, revisi UU KPK bisa berdampak pada iklim usaha.
Josi Khatarina, perwakilan dari Perempuan Indonesia Antikorupsi, berharap Presiden menunjukkan tindakan nyata pemberantasan korupsi.
”Kami berharap Presiden bisa mewujudkan kata-katanya, tidak hanya lisan ingin memberantas korupsi. KPK memang tak sempurna. Namun, ini bukan saat yang tepat untuk melakukan revisi UU KPK,” kata Josi.
Hal yang sama disampaikan Donal Fariz dari Indonesia Corruption Watch. Saat ini ada kedaruratan, tidak hanya untuk KPK. Sengkarut yang ada harus juga dilihat sebagai ancaman terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Airlangga Pribadi, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, menambahkan, semestinya Presiden melihat ada yang tak beres saat revisi UU KPK diinisiasi DPR.
Sementara itu, aksi sekelompok orang seperti pada Jumat lalu terjadi lagi di Gedung KPK Jakarta, kemarin. Selain pelemparan batu, juga pemaksaan membuka kain hitam penutup logo KPK.
(IAN/EDN/INA/HAR)