Minggu (15/9/2019), sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, menyampaikan pernyataan sikap yang meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan revisi UU KPK.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS -- Meskipun pemerintah dan DPR telah sepakat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penolakan terhadap revisi UU itu masih terus bermunculan. Pada Minggu (15/9/2019), sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, menyampaikan pernyataan sikap yang meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan revisi UU KPK.
"Kami para dosen dan sivitas akademika UGM menuntut kepada DPR dan pemerintah untuk menghentikan pembahasan RUU (Rancangan Undang-Undang) KPK," kata Ketua Dewan Guru Besar UGM Koentjoro saat membacakan pernyataan sikap, Minggu siang, di Balairung UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penyampaian pernyataan sikap yang diberi nama "Deklarasi UGM Tolak Upaya Pelemahan KPK" itu dihadiri oleh sejumlah guru besar, dosen, dan mahasiswa dari berbagai fakultas di UGM. Pernyataan sikap dari UGM itu dinilai penting karena UGM merupakan almamater dari Presiden Joko Widodo.
Koentjoro mengatakan, kelahiran KPK merupakan amanah dari Reformasi yang terjadi tahun 1998. Seiring berjalannya waktu, KPK telah berkembang menjadi lembaga yang mendapat kepercayaan besar dari publik dan bahkan menjadi rujukan internasional. Namun, sejak beberapa tahun lalu, selalu muncul upaya-upaya untuk melemahkan KPK.
Koentjoro menyebut, selama beberapa waktu terakhir, upaya pelemahan KPK kembali muncul dalam berbagai bentuk, misalnya pengajuan revisi UU KPK, proses pemilihan calon pimpinan KPK yang penuh kontroversi, serta teror terhadap akademisi dan aktivis anti-korupsi yang getol mendukung KPK.
Menurut Koentjoro, berbagai upaya itu tidak hanya melemahkan KPK, tetapi juga melemahkan gerakan anti-korupsi dan bahkan juga melemahkan sendi-sendi demokrasi. "Upaya sistematis pelemahan KPK dan gerakan anti-korupsi yang agresif dan begitu brutal dalam beberapa pekan terakhir sungguh melecehkan moralitas bangsa kita. Jika kondisi ini dibiarkan, maka amanah reformasi dan konstitusi berada dalam kondisi amat berbahaya," katanya.
Koentjoro menyatakan, berbagai kondisi itulah yang kemudian mendorong para sivitas akademika UGM mengeluarkan pernyataan sikap untuk menolak berbagai upaya pelemahan KPK. Salah satu poin dalam pernyataan sikap itu adalah tuntutan terhadap pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan RUU KPK.
"Hentikan pembahasan RUU KPK karena prosedur dan substansinya yang dipaksakan berpotensi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi dan menjadi akar dari carut-marut persoalan akhir-akhir ini," ungkap Koentjoro.
Hentikan pembahasan RUU KPK karena prosedur dan substansinya yang dipaksakan berpotensi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi. (Koentjoro)
Selain menghentikan pembahasan RUU KPK, para sivitas akademika UGM juga menuntut pemerintah dan DPR untuk mengevaluasi pembahasan RUU lain yang berpotensi melemahkan gerakan anti-korupsi di Indonesia. Salah satu RUU yang disinggung oleh sivitas akademika UGM adalah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Pisahkan pasal-pasal anti-korupsi dari revisi UU KUHP dan lakukan revisi UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) untuk mengakomodasi rekomendasi UNCAC (Konvensi Anti-Korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa)," ujar Koentjoro.
Informasi tak benar
Dosen Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar mengatakan, selama beberapa waktu terakhir, ada upaya menyebarkan informasi yang tidak benar untuk melegitimasi revisi UU KPK. Salah satu informasi yang tidak benar itu, kata Zainal, adalah pandangan bahwa KPK merupakan lembaga super body sehingga membutuhkan pengawasan melalui pembentukan Dewan Pengawasan.
"Padahal, KPK bukan lembaga yang tanpa pengawasan. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mengawasi KPK, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) mengawasi KPK, Kementerian Kominfo (Komunikasi dan Informatika) mengawasi KPK, dan DPR juga mengawasi KPK," ungkap Zainal.
Presiden Joko Widodo kemungkinan tidak mendapatkan informasi yang cukup dari orang-orang di sekitarnya sehingga Presiden kemudian menyetujui revisi UU KPK meski dengan sejumlah catatan. (Zainal Arifin Mochtar)
Zainal menambahkan, informasi tidak benar lain yang juga terus disebarkan adalah pandangan bahwa upaya pembelaan KPK oleh para aktivis dan akademisi saat ini dilakukan atas "pesanan" KPK. "Ada mitos yang dibangun bahwa seakan-akan pembelaan terhadap KPK itu karena kita dibayar dan dikonsolidasikan oleh KPK. Padahal, kita melakukan ini karena kita cinta negeri ini," ujar dia.
Zainal menyatakan, revisi UU KPK tetap harus ditolak karena bermasalah, baik dari segi proses pengusulannya maupun substansi atau materi revisinya. Zainal juga menyebut, Presiden Joko Widodo kemungkinan tidak mendapatkan informasi yang cukup dari orang-orang di sekitarnya sehingga Presiden kemudian menyetujui revisi UU KPK meski dengan sejumlah catatan.
"Presiden barangkali tidak mendapatkan asupan informasi yang cukup, asupan analisis yang cukup," kata Zainal.