Berharap Komitmen Memperkuat KPK
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mulai dibahas pemerintah dan DPR pada Jumat (13/9/2019).
Upaya DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disikapi terbelah oleh publik. Apa pun perubahan yang dilakukan terhadap KPK memperkuat lembaga harus menjadi pilihan.
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mulai dibahas pemerintah dan DPR pada Jumat (13/9/2019). Publik pun mengingatkan, revisi ini jangan sampai menjadi pintu untuk melemahkan, apalagi melumpuhkan KPK.
Sikap publik ini terbaca dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Secara umum, sikap publik cenderung terbelah terhadap isu revisi UU KPK yang diinisiasi DPR ini. Meskipun demikian, sebagian besar responden cenderung menyambut positif terkait perlunya perbaikan KPK.
Dari kelompok responden yang setuju revisi, sebagian besar beralasan demi mencegah KPK bertindak sewenang-wenang atas kewenangan yang dimilikinya. Selain itu, alasan kedua terbanyak yang disebutkan adalah agar kinerja lembaga ini juga jauh lebih baik lagi. Sebaliknya, dari kelompok responden yang tidak setuju dengan langkah DPR mengajukan revisi, hampir separuhnya beralasan revisi undang-undang ini berpotensi melemahkan kelembagaan KPK. Di mata mereka, UU KPK masih layak dipertahankan.
Keterbelahan ini tentu menjadi fenomena baru mengingat pada periode-periode sebelumnya, upaya revisi UU KPK selalu disikapi penolakan oleh sebagian besar responden dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas ketika itu. Namun, saat ini publik cenderung terbelah sikapnya dalam memandang revisi UU KPK. Keterbelahan ini boleh jadi tidak lepas dari sikap calon pimpinan KPK terpilih dan pemerintah yang membuka peluang upaya revisi terhadap UU KPK, terutama terkait sejumlah hal yang dipandang memerlukan perbaikan.
Pemerintah juga sudah menyodorkan sejumlah hal yang perlu diperbaiki dalam UU KPK. Hal ini tentu menjadi sinyal bagi publik bahwa upaya revisi terhadap UU KPK tidak bisa dihindari lagi. Tiga hal yang disodorkan pemerintah adalah terkait pembentukan dewan pengawas, status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara yang harus tunduk pada UU ASN, dan status KPK sebagai lembaga negara dan bagian dari eksekutif (Kompas, 13/9/2019).
Terbelah
Keterbelahan sikap publik ini juga tampak dari penyikapan mengenai sejumlah hal yang menjadi isu dan wacana perubahan dalam UU KPK. Mengenai pembentukan dewan pengawas KPK, misalnya, separuh lebih responden (64,7 persen) cenderung setuju organ itu perlu ada dalam tubuh KPK.
Jika dilihat dari latar belakang sikap responden, sebagian besar responden yang menyetujui revisi menerima keberadaan dewan pengawas. Begitu pula dengan penambahan kewenangan KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Separuh lebih responden setuju dengan hal tersebut dengan pertimbangan demi menjaga profesionalisme kerja-kerja lembaga.
Dua poin materi revisi di atas, oleh responden, tetap dipandang dalam semangat untuk memperbaiki kinerja dan memperkuat kelembagaan KPK. Setidaknya hal ini juga terlihat dari sejumlah isu.
Dalam hal mempertahankan KPK sebagai lembaga independen, misalnya, hampir 70 persen responden merespons positif karena ini posisi yang harus dipertahankan KPK untuk menunjang kerja pemberantasan korupsi. Mempertegas independensi KPK dalam revisi UU KPK pun harus dilakukan.
Isu lainnya yang juga disikapi positif oleh responden adalah terkait perekrutan penyelidik dan penyidik mandiri, tidak harus dari kepolisian. Hal ini tentu sejalan dengan upaya mendukung kemandirian dan independensi KPK. Apalagi, isu ini juga masuk dalam tiga hal yang disodorkan pemerintah dalam menjawab inisiasi DPR dalam pengajuan revisi UU KPK.
Hal lain yang disikapi secara terbelah oleh publik yakni terkait penyadapan. Sebagian responden (48,5 persen) merasa penyadapan bisa dilakukan langsung oleh KPK tanpa perlu izin. Sementara itu, sebagian responden lainnya (45,8 persen) merasa perlu ada perbaikan proses penyadapan oleh KPK. Salah satu upaya penyadapan ini harus dilakukan atas izin pengadilan atau dewan pengawas jika sudah terbentuk.
Khawatir
Keterbelahan sikap responden tersebut tentu tidak lepas dari kekhawatiran publik terhadap upaya revisi UU KPK ini akan melahirkan pelemahan terhadap KPK. Sebagian dari mereka (41,4 persen) meyakini revisi ini akan melemahkan KPK, sedangkan sebagian lainnya (37 persen) menyatakan sebaliknya.
Tentu saja, kekhawatiran ini wajar mengingat upaya revisi terhadap UU KPK sudah berkali-kali diupayakan DPR. Apalagi, revisi UU KPK kali ini cenderung dilakukan secara ”senyap” oleh DPR.
Sebagian dari mereka (41,4 persen) meyakini revisi ini akan melemahkan KPK, sedangkan sebagian lainnya (37 persen) menyatakan sebaliknya.
Bayangkan, hanya dalam waktu 5 menit, Rapat Paripurna DPR sudah menyetujui Rancangan Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi inisiatif DPR.
Proses yang begitu cepat ini tentu menimbulkan spekulasi adanya upaya sistematis pelemahan KPK. Hal ini dilakukan pada saat publik fokus pada proses seleksi pemilihan pimpinan KPK sehingga spekulasi dan kekhawatiran terjadinya upaya pelemahan terhadap institusi KPK semakin mengkristal.
Dinamika ini pun turut memengaruhi penyikapan publik pada upaya revisi terhadap UU KPK. Jajak pendapat juga merekam, keterbelahan juga terjadi saat menyikapi waktu yang tepat untuk merevisi. Sebagian responden (34,6 persen) merasa saat ini merupakan waktu yang tepat, tetapi sebagian yang lain berpendapat sebaliknya. Ini karena UU KPK yang ada masih dianggap cukup baik untuk dipertahankan. Meskipun demikian, benang merah yang mempertemukan keterbelahan ini adalah kesamaan harapan dari responden bahwa KPK ke depan memang perlu dikuatkan, bukan dilemahkan.
Penguatan KPK tentu membutuhkan dukungan dan komitmen dari pemerintah. Sebanyak 76,9 persen responden meyakini Presiden Joko Widodo tetap memiliki komitmen terhadap penguatan KPK. Tentu, keyakinan ini menjadi modal sosial bagi pemerintah untuk dapat memenuhi harapan publik akan kehadiran KPK yang lebih kuat. Upaya revisi UU KPK menjadi ujian politik bagi pemerintah di mata publik.
Bagaimanapun harus diakui, kepercayaan dan dukungan terhadap KPK selama ini menjadi garansi bahwa publik akan selalu berada di belakang KPK. Apalagi, kehadiran KPK dipandang publik sebagai oase dari upaya penegakan hukum terhadap kasus korupsi. Di mata mereka, sejak kehadiran KPK, upaya pemberantasan korupsi di negeri ini semakin membaik dan memberikan harapan. Tentu, harapan tersebut harus dijaga dan dirawat dengan memperkuat KPK, bukan malah melemahkannya. Revisi UU KPK harus menjadi pintu upaya penguatan KPK.