Musibah tumpahan minyak di pesisir utara Karawang, Jawa Barat, menyebabkan perekonomian warga di sekitarnya terpuruk. Tak mudah bagi mereka menjalani dua bulan belakangan ini.
Oleh
MELATI MEWANGI
·5 menit baca
Musibah tumpahan minyak di pesisir utara Karawang, Jawa Barat, menyebabkan perekonomian warga di sekitarnya terpuruk. Tak mudah bagi mereka menjalani dua bulan belakangan ini. Hidup mereka diwarnai seretnya penghasilan, hidup berkalang limbah, dan menanti kepastian kapan kualitas air laut normal kembali.
Raut wajah Suparman (37) serius mendengarkan satu per satu nama dipanggil petugas di Kantor Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Karawang, Kamis (12/9/2019) siang. Ia tak sendiri. Ada puluhan bahkan ratusan warga dan nelayan lain yang memenuhi kantor desa.
Setiap nama yang disebutkan petugas dia perhatikan. Warga Sedari itu tak ingin ketinggalan jika namanya sewaktu-waktu dipanggil. Bahkan, dia enggan duduk meski ada bangku kosong di sampingnya. Dia terlihat sangat gelisah.
Setelah ditunggu lama, ekspresi wajahnya mendadak semringah. Suara keras dari dalam kantor desa seperti membangunkan emosinya.
”Suparman!” kata petugas.
Dia bangkit dan mendatangi petugas. Namun, harapannya kosong. Nama yang dimaksud adalah Suparman yang lain. Bukan dia. Wajahnya mendadak lesu kembali. Mungkin karena lelah, kali ini ia memilih duduk di bangku yang sedari tadi kosong di sampingnya.
Siang itu, Suparman menjadi satu dari sekian banyak nelayan yang menunggu pencairan dana kompensasi tahap pertama musibah tumpahan minyak di pesisir utara Kabupaten Karawang. Pertengahan Juli lalu, tumpahan minyak terjadi akibat kebocoran pada anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java.
Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Karawang, jumlah nelayan yang terindikasi terdampak tumpahan minyak 7.782 orang. Mereka tersebar di 11 desa, yakni Cemarajaya, Sedari, Sukajaya, Sukakerta, Rawagempol Kulon, Tanjungpakis, Sungai Buntu, Ciparagejaya, Tambaksari, Muara Baru, dan Pusakajaya Utara.
Pertamina lantas memberikan kompensasi awal bagi warga terdampak sebesar Rp 900.000 per orang per bulan. Dana itu diberikan selama dua bulan periode terdampak, yakni Juli-Agustus 2019. Pembayaran menggunakan buku tabungan yang melibatkan Bank Mandiri, BNI, dan BRI.
Pada hari itu, selain Sedari, pencairan dana kompensasi juga dilakukan di Desa Tambaksari, Kecamatan Tirtajaya, bagi 765 warga. Pada tahap awal ini, Pertamina mengeluarkan total dana Rp 18,54 miliar untuk 10.271 warga terdampak.
Sulit bagi Suparman menyembunyikan kegundahannya. Sudah tujuh minggu terakhir dia tidak melaut. Apabila seminggu mendapat Rp 300.000-Rp 500.000, ia total sudah kehilangan penghasilan hingga Rp 12,6 juta.
Penghasilan dari warung nasi milik istrinya, Ipung (33), juga tak mencukupi. Biasanya Ipung mampu meraup Rp 500.000 per hari. Namun, kini untuk mendapatkan Rp 100.000 per hari pun terasa berat. Tak ada nelayan yang butuh mengisi perut dengan nasi jika melaut sulit dilakukan.
Puncak kegalauan Suparman terjadi pada akhir Juli lalu. Ia berutang kepada juragannya, bos pengepul, Rp 1 juta. Uang tersebut untuk menghidupi ketiga anaknya, Ina F (15), Farhan (8), dan Fauzan (2).
”Semoga tahap selanjutnya bisa cair sesuai dengan harapan kami,” ucapnya.
Puncak kegalauan Suparman terjadi pada akhir Juli lalu. Ia berutang kepada juragannya, bos pengepul, Rp 1 juta. Uang tersebut untuk menghidupi ketiga anaknya, Ina F (15), Farhan (8), dan Fauzan (2).
Akan tetapi, asa itu sepertinya sementara waktu bakal gugur. Setelah uang di tangan, Dakwan (29), nelayan Sedari lainnya, mengatakan, kompensasi tersebut tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung. Dalam sehari, Dakwan bisa mendapat Rp 250.000-Rp 350.000 dari hasil tangkapannya. Bahkan, dulu Ranita, istri Dakwan, mampu meraup Rp 500.000 per hari dari hasil berjualan warung kopi di pinggir wisata mangrove.
”Sejak musibah ini, kami harus gali tutup lubang demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi harus menabung untuk biaya lahiran pada akhir tahun,” ujar Ranita sambil mengelus-elus kandungannya yang berusia lima bulan.
Belakangan perekonomian mereka kian terpuruk. Mereka sampai berutang kepada saudaranya Rp 350.000 setiap awal minggu. Uang tersebut baru dikembalikan jika Dakwan sudah mendapat bayaran dari hasil tenaga lepas penyerok ceceran minyak.
Ditemui di tepi Pantai Sedari, Asmudin (50), nelayan, bersiap untuk datang ke kantor desa. Ia baru saja pulang menjaring limbah di tengah laut. Sambil melepas atribut khusus, Asmudin berjalan menuju kantor desa.
Asmudin mengatakan, dana kompensasi akan dipergunakannya untuk servis perahu. ”Sejak tidak melaut, perahu saya dipakai untuk bolak-balik ambil limbah. Sudah saatnya servis, paling tidak butuh Rp 800.000. Belum lagi untuk membetulkan jaring yang rusak,” ujarnya.
Nelayan Sedari sejatinya lebih beruntung telah menerima dana kompensasi meski tak sesuai asa. Sebanyak 18 desa lainnya masih dipaksa menunggu giliran. Dartin (35), nelayan Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Karawang, mengeluhkan dana kompensasi yang belum cair. Ia sudah lebih dari tujuh minggu tidak berlayar mencari ikan. Akibatnya, dia terpaksa berutang kepada juragannya atau bos pengepul sebesar Rp 700.000 pada akhir Juli lalu.
Saat ini, ia menjadi tenaga lepas untuk mengambil ceceran limbah dengan upah Rp 100.000 per hari. ”Sebenarnya uang segitu tidak cukup untuk menghidupi tiga anak saya. Namun bagaimana lagi, kalau nekat melaut, nanti jaring rusak. Tangkapan pun sedikit,” kata Dartin di sela-sela waktu istirahatnya.
Vice President Relations PT Pertamina Hulu Energi Ifki Sukarya menyampaikan, nominal kompensasi saat ini bukan jumlah final yang akan diberikan, melainkan sementara. Sebab, penghitungan kompensasi masih akan berjalan sementara proses penutupan sumur bor belum selesai.
”Pencairan dana kompensasi tahap selanjutnya belum bisa ditentukan atau targetkan pada bulan apa karena bergantung pada proses klaim dan nilai kerugian. Kami melihat lamanya proses dan kondisi lapangan,” ucap Ifki.
Dana kompensasi ini seolah menjadi asa bagi mereka. Harapan itu tampak dalam raut wajah mereka, raut harap-harap cemas karena takut tak terdaftar. Meski demikian, pada akhirnya mereka mendapatkan apa yang diharapkan meski besarannya dinilai tak sesuai dengan ekspektasi.