Pimpinan KPK Minta Dilibatkan dalam Pembahasan Revisi Undang-Undang
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akan melayangkan surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin (16/9/2019) agar dilibatkan dalam pembahasan revisi Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akan melayangkan surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin (16/9/2019) agar dilibatkan dalam pembahasan revisi Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002. Sebab, selain tidak pernah dilibatkan, pimpinan KPK pun belum menerima draf resmi beserta daftar inventaris masalah dari revisi UU KPK.
”Suratnya baru mau kami kirim hari ini (ke DPR). Harapannya sama, baik kepada DPR maupun Presiden, di dalam banyak kesempatan kami sampaikan (untuk bertemu). Draf resmi revisi UU KPK ataupun daftar inventaris masalahnya kami baru tahu dari media,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo, di Jakarta.
Pimpinan KPK pun masih menunggu draf resmi revisi UU KPK beserta DIM dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Selain itu, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada Sabtu (14/9) juga menyatakan akan mengupayakan pertemuan dengan pimpinan KPK untuk membahas revisi terbatas UU KPK.
Pertemuan itu menurut rencana dilakukan kemarin atau hari ini. Namun, hingga saat ini, pimpinan KPK belum mengetahui kapan akan bertemu dengan Presiden Jokowi. Menurut Agus, Pratikno masih menjadwalkan agenda pertemuan tersebut.
”Kami belum tahu, kelihatannya Pak Pratikno masih menjadwalkan agenda Presiden kapan. Sempat ada undangan tadi malam, tetapi kemudian mungkin karena kesibukan Presiden undangan itu sementara ditunda dulu,” ujar Agus.
Kompas mencatat, Revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 muncul dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 September 2019. Putusan dalam rapat itu diambil DPR hanya dalam 5 menit tanpa dibacakan oleh masing-masing fraksi.
Terlebih, revisi UU KPK ditargetkan selesai sebelum masa jabatan DPR berakhir pada akhir September. Padahal, Rancangan UU KPK merupakan produk lama sejak 2016 yang saat itu ditunda dan tidak masuk lagi dalam Program Legislasi Nasional 2017, 2018, dan 2019.
Apabila RUU KPK benar disahkan, kewenangan KPK dalam menyadap, menggeledah, dan menyita harus mendapat izin dari dewan pengawas yang dibentuk DPR atas usulan Presiden. Selain itu, personel penyidik KPK pun tidak lagi independen karena harus berasal dari kepolisian, kejaksaan, dan aparatur sipil negara.
Kemudian, dalam hal penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Revisi ini pun akan membuat penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang tidak selesai dalam satu tahun boleh dihentikan KPK melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Tunda dahulu
Dukungan untuk menunda pembahasan revisi UU KPK pun datang dari para pimpinan KPK sebelumnya, antara lain Pimpinan KPK Jilid I Taufiequrachman Ruki, Tumpak Hatorangan Panggabean, Erry Riyana Hardjapamekas beserta Pimpinan KPK Jilid II, Chandra M Hamzah.
Ruki menyampaikan, Pimpinan KPK terdahulu berharap pembahasan revisi UU KPK tidak terburu-buru dan harus diperbanyak menyerap aspirasi serta pendapat. Sebab, perubahan yang akan dilakukan pun belum diketahui seperti apa.
”Kami tahu tentang SP3, Dewan Pengawas, dan penyadapan. Tapi, seperti apa perubahan yang akan dirumuskan dalam kalimat, kami belum tahu. Ini penting karena kalimat itulah yang akan menjadi norma hukum. Saya pribadi berpendapat, kok, tertutup sekali dan tergesa-gesa (pembahasan revisi UU KPK),” katanya.
Pimpinan KPK terdahulu juga tidak menolak mentah-mentah soal revisi UU KPK. Namun, dalam pembahasannya, Tumpak menyampaikan, penting untuk dibahas bersama pimpinan KPK.
”Oleh karena itu, kalau masih mungkin, lakukanlah pembahasan secara cermat dan obyektif dalam rangka memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi ke depan,” ujarnya.
Erry juga meminta agar pimpinan KPK saat ini dapat bertemu dengan Presiden Jokowi membahas dan mempertimbangkan revisi UU KPK. Seandainya pembahasan revisi UU KPK harus dipercepat, pertimbangan dari pimpinan KPK tetap harus dilaksanakan.
”Yang kami dukung adalah gerakan pemberantasan korupsi dan eksistensi KPK yang harus tetap dipertahankan dan diperkuat. Kalau kami layak dijadikan narasumber, kami juga siap kapan saja dipanggil Presiden,” kata Erry.
Chandra mengingatkan, hukum tentang pemberantasan korupsi merupakan subsistem dari sistem hukum acara pidana secara keseluruhan. Untuk itu, sementara Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sedang dibahas, pembahasan revisi UU KPK yang terburu-buru menjadi kurang pas.
”Hukum pidana sedang kita bangun bersama-sama, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sedang berjalan dan dibahas. Subsistem ini (revisi UU KPK) akan mengikuti. Jadi, kita harus melihat lebih keseluruhan dan tidak terburu-buru,” ujar Chandra.