Kebakaran hutan dan lahan yang kembali berulang telah mempertaruhkan martabat Indonesia di mata dunia. Sejumlah pengabaian dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi celah yang berujung pada meluasnya kebakaran.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan yang kembali berulang telah mempertaruhkan martabat Indonesia di mata dunia. Sejumlah pengabaian dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi celah yang berujung pada meluasnya kebakaran.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo mengatakan, upaya pemulihan lahan bekas terbakar memang telah dilakukan pascatragedi kebakaran 2015. Namun, ia melihat ada sejumlah persoalan mendasar yang masih diabaikan. Persoalan itu menjadi celah yang mengakibatkan berulangnya kebakaran.
Ia menjelaskan, upaya pemulihan semestinya diikuti dengan pengamanan. Namun, itu tidak optimal dilakukan selama berjalannya restorasi gambut. Apalagi, praktik membuka lahan dengan cara bakar masih terjadi di banyak tempat. ”Sudah direstorasi, tetapi tidak ada jaminan pengamanan sehingga kebakaran tetap berulang,” katanya, Selasa (17/9/2019).
Selain itu, ia juga melihat sebagian kawasan hutan negara, baik hutan produksi maupun konservasi, secara de facto tidak mendapatkan pengelolaan dan penjagaan yang memadai. Di Sumatera dan Kalimantan, banyak hutan produksi berstatus eks hak pengusahaan hutan (HPH) malah marak diokupasi belakangan ini.
Celah lain yang belum dibenahi adalah pertanggungjawaban dari pemanfaatan anggaran negara untuk pemulihan lingkungan masih bertumpu pada indikator administratif. Sementara hasil program di lapangan tidak menjadi indikator keberhasilan.
”Sudah direstorasi, tetapi tidak ada jaminan pengamanan sehingga kebakaran tetap berulang,” kata Hariadi.
Pakar karhutla dan saksi ahli Kementerian LHK pada sejumlah kasus karhutla, Bambang Hero Saharjo, mendapati sejumlah modus di balik kebakaran lahan yang meluas dalam areal konsesi di Sumatera dan Kalimantan. Ia melihat ada pemegang konsesi yang memang sengaja membakar lahannya untuk menghemat biaya pembukaan lahan.
Ada pula perusahaan yang seolah malu-malu, dengan cara membiarkan lahannya dirambati api dari luar, dan baru mengupayakan pemadaman setelah sebaran api meluas dalam konsesinya. ”Jadi dibiarkan saja apinya merambat. Setelah luas terbakar, barulah mulai dipadamkan,” katanya.
Ia pun melihat ada dua modus lain yang selama ini belum banyak diungkap. Pertama, modus perusahaan membakar lahan untuk mendapatkan klaim asuransi kebakaran. Kedua, mendapatkan selisih keuntungan dari penyaluran kredit perbankan.
Kebakaran meluas hingga lebih dari 50 hektar di wilayah Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Minggu (4/8/2019). Bara api yang muncul sepekan terakhir diperkirakan telah merambat jauh di balik permukaan gambut sehingga sulit dikendalikan. Tampak garis polisi dipasang pada salah satu pondok warga di lokasi kebakaran. Selasa siang, kalangan mahasiswa dan aktivis lingkungan berunjuk rasa memprotes kebakaran lahan yang meluas di Jambi.
Koordinator Umum Aliansi Peduli Karhutla dan Kabut Asap Jambi Ardi Irawan mengatakan, setidaknya ada 38 perusahaan di Jambi yang wilayah konsesinya terbakar. Sejumlah perusahaan diindikasikan tidak menjalankan kepatuhan atas aturan tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Mereka mengeringkan lahannya pada areal bergambut sehingga menyebabkan kebakaran dalam konsesinya sendiri.
Terkait itu, pihaknya mendesak aparat kepolisian serius menindaklanjuti temuan itu dan mengupayakan penegakan hukum.