Jalan untuk mencegah perkawinan anak akhirnya terbuka, menyusul pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jalan untuk mencegah perkawinan anak akhirnya terbuka, menyusul pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (16/9/2019). Perubahan undang-undang yang menaikkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun dan mengatur dispensasi secara ketat itu diharapkan menjadi momentum menyelamatkan anak-anak Indonesia dari praktik perkawinan anak.
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menjadi bagian dari sejarah karena menghapus diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Dengan perubahan UU tersebut, kini batas usia minimal perkawinan tidak lagi ada perbedaan. Semuanya sama 19 tahun. Perjuangan untuk menghentikan perkawinan anak sudah disuarakan sejak Kongres Perempuan Indonesia I pada 1928.
”Penghapusan praktik perkawinan anak merupakan bentuk upaya negara untuk menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, mendapatkan perlindungan dari kekerasan serta diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise saat menyampaikan Pendapat Akhir Presiden tentang Perubahan Atas UU No 1/1974, Senin petang, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Selain UUD 1945, hal tersebut juga diamanatkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 35/2014 tentang Perubahan Atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), dan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi pada 1990.
Pengesahan RUU tersebut dilakukan DPR pada Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Adapun pemerintah, selain Menteri PPPA Yohana, juga hadir perwakilan dari Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Hukum dan HAM.
Sebelum pengesahan RUU itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Totok Daryanto membacakan laporan hasil rapat kerja dengan pemerintah pada 12 September 2019. Delapan dari 10 fraksi, yakni Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Nasdem, dan Fraksi Partai Hanura, menyetujui batas usia minimal bagi laki-laki dan perempuan untuk melakukan perkawinan adalah 19 tahun.
Sementara itu, dua fraksi, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, berpendapat bahwa usia laki-laki dan perempuan untuk melakukan perkawinan adalah 18 tahun. Fraksi PKS dan PPP memberikan catatan atas revisi UU tersebut.
”Kami mewakili pemerintah menyatakan sangat bahagia, bangga, dan berterima kasih kepada DPR sebagai lembaga legislasi yang telah bersama-sama dengan pemerintah membuat sejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi 80 juta anak Indonesia, yaitu melakukan terobosan yang progresif melalui pengesahan RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” kata Yohana yang didampingi Deputi Tumbuh Kembang Anak KPPPA Lenny N Rosalin dan Deputi Perlindungan Anak Nahar.
Perubahan UU Perkawinan sudah dinantikan seluruh warga Indonesia dalam upaya menyelamatkan anak Indonesia atas praktik perkawinan anak yang sangat merugikan anak, keluarga, dan negara. Perubahan tersebut membuktikan Indonesia mampu menjawab salah satu persoalan perlindungan anak yang ditandai banyaknya praktik perkawinan anak yang sangat memprihatinkan.
Saat keluar dari ruang rapat paripurna, Yohana dengan mata berkaca-kaca mengungkapkan bahagia sekali atas pengesahan UU tersebut.
Landasan penting
Setelah pengesahan Perubahan atas UU Perkawinan tersebut, hal terpenting adalah melakukan sosialisasi UU tersebut ke semua kementerian/lembaga dan semua pemangku kebijakan, termasuk masyarakat. ”Pengesahan UU ini penting karena kita meletakkan landasan bagi kepentingan anak-anak Indonesia, dari segi regulasi kita bisa melindungi anak dari perkawinan anak,” ucap Lenny.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari bersama sejumlah aktivis organisasi perempuan dan anak yang mengikuti rapat paripurna tersebut juga sangat terharu dan bahagia.
”Ini adalah capaian kerja keras selama bertahun-tahun sepanjang 90 tahun gerakan perempuan berusaha untuk mengakhiri perkawinan anak, 45 tahun berjuang menghentikan perkawinan anak setelah UU Perkawinan diluncurkan baru kali ini kita mengubah usia perkawinan laki-laki dan perempuan sama 19 tahun. Ini perjuangan yang cukup berat,” ujarnya.
Dian juga menegaskan pengesahan UU tersebut juga tidak lepas dari perjuangan dan keberanian tiga korban perkawinan anak, yaitu Rasminah, Endang, dan Maryati, yang menjadi pemohon dan menyampaikan pengalaman mereka sebagai korban pada uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Permintaan mereka disetujui MK hingga akhirnya DPR merevisi UU Perkawinan.
”Kita berutang besar kepada mereka karena mendengar pengalaman dari Rasminah dan kawan-kawanlah sehingga permohonan uji materi diterima MK,” ujar Dian.
Saat dihubungi secara terpisah, Senin malam, Rasminah, salah satu korban perkawinan anak asal Indramayu, Jawa Barat, menyatakan terima kasih kepada DPR dan pemerintah yang mewujudkan perubahan UU Perkawinan, khususnya batas usia minimal bagi perempuan untuk melakukan pernikahan.
”Alhamdulillah, senang sekali, perjuangan kami tidak sia-sia. Semoga tidak ada lagi anak perempuan bernasib seperti kami. Cukup kami saja yang menjadi korban,” ujar Rasminah.
Direktur Kapal Perempuan Misiyah menyatakan, setelah disahkan, UU Perkawinan yang baru direvisi segera disosialisasikan kepada semua pihak. Gerak Bersama Stop Perkawinan Anak harus berlanjut, mengawal implementasi UU tersebut.