NTB Gemilang, Jangan Redup Sebelum Bersinar
Setahun sudah pasangan Zulkieflimansyah-Sitti Rohmi Djalilah menjadi Gubernur-Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat. Banyak ide, gagasan, dan cita-cita yang dibuat pasangan ini untuk membangun NTB. Upaya membangun provinsi ini pun digagas melalui misi ”NTB Gemilang”.Namun, gagasan itu belum sepenuhnya dapat diimplementasikan secara nyata.
Dalam Sidang Paripurna DPRD NTB, 24 September 2018, Gubernur NTB mengutarakan, program NTB Gemilang adalah untuk mempercepat pembangun di provinsi yang mewilayahi Pulau Lombok dan Sumbawa itu. Ada lima bidang pembangunan yang menjadi prioritas, yakni bidang pendidikan dan kesehatan; pengembangan ekonomi dan industri; pengembangan sosial kebudayaan; pembangunan perdesaan dan lingkungan; serta pembangunan pariwisata.
Zul-Rohmi beserta organisasi perangkat daerah kini gencar melakukan sosialisasi misi itu kepada masyarakat. Harapannya, ada partisipasi aktif dari sejumlah pihak untuk mendukung dan menyukseskan program Gemilang. Warga diminta mendukung suasana kondusif agar NTB menjadi rumah yang nyaman bagi investasi.
Bahkan, beberapa bulan lalu, Gubernur Zulkieflimansyah menegaskan, NTB merupakan tempat yang nyaman untuk investor. Bahkan, NTB akan menjadi salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik.
”Pelaku bisnis akan merasa NTB sebagai tempat yang bersahabat untuk berinvestasi. Investasi dan pengusaha berdatangan yang akhirnya akan mendorong roda perekonomian,” ujar Zulkieflimansyah, dalam sambutannya sebelum shalat Idul Fitri di Masjid Hubbul Wathan, Kompleks Islamic Center NTB, Kota Mataram, NTB, Rabu (5/6/2019).
Setahun setelah mereka menduduki puncak birokrasi di NTB, misi Zul-Rohmi mulai terlihat. Di bidang pendidikan, generasi muda NTB dikirim kuliah untuk meraih gelar sarjana strata (S-1), S-2, dan S-3, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Mereka yang akan menjadi sumber daya terbaik NTB dikirim ke sejumlah perguruan tinggi di luar negeri.
Para generasi muda ini dikirim secara tersebar di berbagai belahan dunia. Mereka ke Polandia (19 orang), China dan Taiwan (41), Malaysia (15), serta Korea Selatan (18 perawat lulusan diploma tiga/D-3). Bahkan, untuk mendukung program tersebut, Pemprov NTB menyediakan beasiswa dan menargetkan pengiriman 1.000 mahasiswa setiap tahun.
Anak-anak muda NTB yang dikirim belajar ke luar negeri diharapkan tumbuh menjadi calon pemimpin bangsa. Mereka diberi kebebasan untuk memilih setelah menyelesaikan pendidikannya, baik bekerja di NTB, Indonesia, maupun ke mancanegara. Sementara di bidang pelestarian lingkungan, program tersebut diimplementasikan di lingkungan Sekretariat Daerah NTB. Bentuk program itu antara lain mengurangi sampah plastik kemasan air mineral lewat program zero waste (bebas sampah).
Caranya, setiap karyawan diminta membawa botol minum (tumbler) sendiri untuk keperluan minum. Mendukung agar program itu berjalan dengan baik, setiap unit kerja di lingkungan sekda diminta menyediakan galon air. Dengan demikian, jika air minum dalam tumbler habis, setiap karyawan bisa segera mengisinya kembali dari air dalam galon yang tersedia.
Tidak berhenti sampai di situ, gubernur juga berharap, Provinsi NTB memiliki lokasi mesin pengolahan sampah. Produksi sampah yang dihasilkan oleh publik bisa didaur ulang sehingga tidak menumpuk. Dengan demikian, sampah tersebut justru menjadi berguna dan memiliki nilai tambah.
Namun, banyak pihak yang menilai bahwa program itu kurang fokus dan membumi. Meski program yang digariskan pasangan Zul-Rohmi tidak sepenuhnya keliru, mereka dinilai kurang tepat membuat program unggulan.
Mereka menilai program yang dicanangkan Zul-Rohmi tidak langsung memberikan nilai tambah ekonomi buat pemprov, terlebih bagi masyarakat NTB. Hal itu patut dikritisi agar lebih bermanfaat.
Dalam sidang (Jumat, 23/8/2019) tentang penjelasan Gubernur NTB terhadap Nota Keuangan dan Raperda/ RAPBD tahun anggaran 2020, Ketua Fraksi PKS DPRD NTB Johan Rosihan (kini anggota DPR) mempertanyakan program pasangan tersebut. Johan menilai, prioritas pembangunan infrastruktur, industrialisasi, posyandu, stunting (tengkes), dan bebas dari sampah merupakan program yang kurang tepat.
Ia mempertanyakan, kenapa pasangan Zul-Rohmi tidak memprioritaskan sektor pariwisata sebagai program unggulan. Sebab, sektor ini tidak saja sudah siap dan berjalan, tetapi juga secara geografis mendukung. Bahkan, sumber daya manusianya lebih siap, meski masih harus dibina lebih baik lagi. Namun, yang lebih penting, jika sektor pariwisata menjadi program unggulan, hal itu jauh lebih cepat untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi NTB dan nilai tambah bagi masyarakat.
Pariwisata sudah on the track. Bahkan, Lombok juga sudah berhasil meraih predikat terbaik di dunia sebagai destinasi wisata halal. Meski sudah jelas potensi itu, tetap tak dilihat sebagai potensi. Hal itu terbukti dari ketiadaan atau terbatasnya alokasi dana untuk mendukung sektor tersebut.
”Kondisi itu nyata terlihat dari dokumen RAPBD NTB 2020 yang diajukan TPAD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) Pemprov NTB kepada Dewan,” kata Johan Rosihan. Misalnya, NTB telah mencanangkan 99 desa wisata di 10 kabupaten-kota. Meskipun telah dicanangkan, nyatanya dalam raperda tidak dialokasikan dananya.
Kepala Dinas Pariwisata NTB MH Faozal hanya mengatakan, calon desa wisata itu perlu dipersiapkan produknya (atraksi), sarana dan infrastruktur (aksesbilitas) menuju destinasi. Apa saja sarana dan fasilitas pendukung (amenitas), yang dibutuhkan wisatawan selama berada di destinasi itu.
Namun, karena memang tidak dialokasikan, kata Faozal, ia mencari sumber pembiayaan lain. Mereka mengusulkan pembiayaan desa wisata dan infrastruktur tersebut dari pemerintah pusat, yakni melalui dana alokasi khusus.
Kearifan lokal
Program Zul-Rohmi, tambah Ketua Majelis Adat Sasak Lombok Mudjitahid, belum mengangkat nilai kearifan lokal etnis NTB. Padahal, kearifan lokal itu merupakan energi bagi spirit untuk meningkatkan etos kerja dalam membangun perekonomian lokal. Spirit itulah yang membuat etnis NTB bertahan dari serbuan kuliner luar daerah, yang dijual pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang Jalan Langko Pejanggik, Kota Mataram.
”Tidak seperti sekarang, pedagang kuliner lokal hanya ayam taliwang dan nasi puyung. Selebihnya, PKL itu menjual kuliner soto Lamongan, bakso Solo, pecel Madiun, sate Madura, dan cendol Banjarnegara. Ada apa ini,” kata Mudjitahid. Oleh sebab itu, Pemprov NTB harus mencari penyebab utama, kenapa PKL lokal kalah bersaing. Upaya itu bisa dilakukan melalui pendekatan yang lebih intensif dengan masyarakat.
Misalnya, aparat turun ke lapangan, berdialog dari hati ke hati, dan menyapa masyarakat. Apabila perlu, para birokrat menginap di desa atau kampung, tujuannya agar bisa menyerap aspirasinya mereka. Dengan demikian, hasil penelusuran dan temuan dari lapangan digunakan sebagai masukan. Nantinya, masukan dirumuskan sebagai strategi untuk membenahi program unggulan ”NTB Gemilang” yang lebih membumi.
Masukan ini sangat penting karena memiliki keterkaitan dengan keinginan masyarakat. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat akan memiliki keterikatan dan kesinambungan dengan kebijakan kepala daerah.
Jangan sampai gemerlap cahaya gemilang yang gencar ditebarkan sejak dicanangkan justru jauh dari kegemilangan itu sendiri. Jangan sampai visi itu hanya gencar di awal dan akhirnya meredup tanpa implementasi yang jelas.