Pemerintah Lalai Cegah Karhutla
Kelalaian pemerintah dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan saat musim kemarau panjang tahun ini menuai bencana kabut asap hingga ke negeri tetangga.
JAKARTA, KOMPAS Bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan terus memburuk hingga mengancam kesehatan warga. Kebakaran lahan telanjur sulit dikendalikan karena upaya pencegahan tidak optimal mengantisipasi kemarau panjang tahun ini.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut terjadi di enam provinsi, meliputi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melansir data luasan lahan yang terbakar selama Januari-Agustus 2019 mencapai 328.724 hektar. Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam 10 hari terakhir mendeteksi lebih dari 25.000 titik panas di seluruh wilayah Indonesia.
Kebakaran menimbulkan asap pekat pada level ”tidak sehat” hingga ”berbahaya”, di antaranya di Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Kalbar, Kalteng, Kalsel, dan Kalimantan Timur. Asap juga terpantau melintasi batas negara dan masuk ke wilayah Malaysia serta Singapura.
Kondisi ini mengingatkan pada bencana asap terburuk tahun 2015. Setelah bisa menekan kebakaran lahan selama tiga tahun berikutnya, tahun ini bencana asap diprediksi lebih buruk karena kemarau masih berlangsung hingga Oktober.
Kepala BNPB Letnan Jenderal Doni Monardo, Senin (16/9/2019), mengatakan, El Nino mengakibatkan kemarau panjang tahun ini. Dampaknya, lahan gambut menjadi kering karena lebih dari 60 hari tidak diguyur hujan. Ironisnya, terjadi pembakaran lahan gambut untuk pembukaan kebun.
Pengerahan lebih dari 9.000 personel dan 44 helikopter untuk memadamkan api tidak cukup efektif memadamkan kebakaran. Sementara upaya pemadaman melalui hujan buatan juga terkendala kualitas awan yang kurang dari 70 persen sehingga sering gagal.
Kurang sinergi
Kurangnya sinergi aparat pemerintah dalam melakukan upaya pencegahan menjadi penyebab semakin parahnya bencana karhutla tahun ini. Upaya apa pun yang dilakukan pemerintah pusat tidak akan sepenuhnya berhasil tanpa dukungan pemerintah daerah.
Presiden Joko Widodo dalam pengantar rapat terbatas membahas kebakaran hutan dan lahan di Pekanbaru, Riau, kemarin malam, mengatakan, sejak awal ia sudah mengingatkan pencegahan karhutla mutlak dilakukan. Apalagi kemarau tahun ini relatif panjang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, berdasarkan pengalaman puluhan tahun sebelumnya, karhutla gambut sangat sulit diatasi.
Meski memiliki infrastruktur berupa perangkat dari pusat hingga daerah, Presiden melihat, infrastruktur itu tidak dimanfaatkan secara optimal untuk mencegah karhutla. Upaya pencegahan dan penanganan karhutla akan efektif jika seluruh infrastruktur pemerintah bersinergi.
”Gubernur memiliki perangkat sampai ke bawah, pangdam juga punya perangkat, kapolda juga punya perangkat sampai ke desa. Belum yang di BNPB, kita juga punya perangkat di kehutanan. Kita punya semuanya, tetapi perangkat-perangkat ini tidak ditertibkan dengan baik,” katanya.
Presiden Jokowi pun mengakui, pemerintah lalai dalam pencegahan karhutla. ”Setiap tahun tidak perlu lagi rapat seperti ini. Otomatis menjelang musim kemarau harus sudah siap. Sebetulnya itu saja, tetapi kita lalai sehingga asapnya jadi membesar,” tuturnya.
Lebih jauh Presiden juga meminta aparat penegak hukum menindak tegas pihak-pihak yang terbukti melakukan tindakan yang menyebabkan kebakaran. Tak hanya perseorangan, hukuman juga harus diberikan kepada perusahaan yang terbukti bersalah.
Dampak bencana
Asap pekat dari karhutla telah memicu gangguan kesehatan bagi ratusan ribu warga. Data Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan mencatat, penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Riau pada 1-15 September 2019 mencapai 15.346 orang.
Penderita ISPA di Jambi selama Juli-Agustus mencapai 15.047 orang dan Palembang sebanyak 76.236 orang. Sementara penderita ISPA yang tercatat di Palangkaraya periode Mei-September sebanyak 11.758 orang dan Banjarbaru, Kalimantan Selatan, sebanyak 10.364 orang.
Guru Besar IPB University Bambang Hero Saharjo menghitung kerugian lingkungan akibat karhutla sejak Januari hingga pertengahan September 2019 mencapai Rp 130 triliun. ”Jumlah ini untuk kerugian lingkungan, belum termasuk berbagai kerugian lainnya, dan juga korban nyawa dan penderita sakit,” katanya. (ITA/ESA/RAM/IDO/DNE/TAN/HLN/ICH/JOL/NTA/KUM/WHY)