Pasca-pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), kontestasi pengisian jabatan Ketua MPR periode 2019-2023 masih sepi. Mekanisme pemilihan Ketua MPR dilakukan melalui musyawarah mufakat.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Pradipta Pandu Mustika/Dhanang David Aritonang
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasca-pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), kontestasi pengisian jabatan Ketua MPR periode 2019-2023 belum tampak. Mekanisme pemilihan Ketua MPR dilakukan melalui musyawarah mufakat antarfraksi.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/9/2019), menjelaskan, pemilihan Ketua MPR periode 2019-2023 akan dilaksanakan melalui musyawarah mufakat dalam rapat MPR. Setelah jumlah pimpinan MPR bertambah, semua fraksi sudah terwakili. Oleh karena itu, paket pimpinan sudah tidak ada lagi.
Pernyataan itu terkait dengan revisi UU MD3 yang menambah jumlah pimpinan MPR dari lima menjadi 10 orang, terdiri dari sembilan perwakilan DPR dan satu perwakilan DPD. Rancangan UU MD3 sudah disahkan melalui Rapat Paripurna DPR kemarin. Materi pokok pengubahan adalah pimpinan MPR terdiri dari perwakilan masing-masing fraksi.
Hal serupa dikatakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. Penentuan pengisi kursi Ketua MPR membutuhkan musyawarah antarfraksi. ”Namanya juga MPR, selalu butuh musyawarah (untuk menentukan ketua),” ucapnya.
Secara terpisah, anggota Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, mengatakan, penetapan Ketua MPR akan disepakati dalam lobi antarfraksi. Oleh karena itu, pemimpin terpilih nantinya juga belum tentu berasal dari partai pemenang Pemilu 2019.
”Dalam RUU MD3 memang diatur bahwa partai pemenang pemilu secara otomatis mendapatkan jatah Ketua DPR, tetapi belum tentu untuk Ketua MPR,” ujar Taufiqulhadi.
Penetapan Ketua MPR akan disepakati dalam lobi antarfraksi. Oleh karena itu, pemimpin terpilih nantinya juga belum tentu berasal dari partai pemenang Pemilu 2019.
Ia menambahkan, sebagai partai yang masuk dalam lima besar perolehan suara Pemilu 2019, Nasdem sudah semestinya mendapatkan jatah kursi pimpinan MPR. Beberapa nama sudah disiapkan, di antaranya Ahmad Ali, Johnny G Plate, dan Lestari Moerdijat. Meski demikian, pihaknya tak mengincar kursi ketua.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hendrawan Supratikno mengatakan, lobi politik dari semua fraksi yang lolos ambang batas parlemen untuk menduduki kursi MPR juga belum dilakukan. Semuja pihak saat ini sudah merasa terakomodasi karena semua fraksi mendapatkan perwakilan.
Dari internal PDI-P, sudah ada sejumlah nama yang akan diusulkan. Salah satunya Ketua DPP PDI-P sekaligus Wakil Ketua MPR Achmad Basarah.
Sementara itu, Ketua Komite I DPD Benny Rhamdani mengatakan, pihaknya juga belum menggencarkan lobi politik untuk menduduki kursi Ketua MPR. Hal itu masih sangat dinamis.
”Idealnya (kursi Ketua MPR) dari partai koalisi pemenang pemilihan presiden. Berikanlah kesempatan bagi mereka untuk memimpin,” ujarnya.
Pemborosan anggaran
Penambahan jumlah pimpinan MPR masih dikritik sejumlah kalangan. Salah satunya peneliti di Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karius. Ia menilai, upaya menghemat atau efisiensi anggaran telah hilang dengan adanya pengesahan RUU MD3 ini. Pertimbangan anggaran tidak lagi menjadi sesuatu yang penting bagi anggota parlemen.
Agar tidak semakin melambungkan anggaran, pimpinan MPR diminta berkomitmen untuk tidak meminta kemewahan fasilitas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak meminta mobil dinas untuk para wakil atau fasilitas protokoler lainnya.
”Soal anggaran program sosialisasi empat pilar, saya kira perlu ditekan juga, apalagi jika program ini tidak jelas konsepnya. Sosialisasi berulang tanpa evaluasi mengenai metode dan kontennya akan cenderung menjadi formalitas belaka,” ujar Lucius.
Mengacu pada realisasi belanja gaji dan tunjangan, pimpinan MPR akan memperoleh gaji pokok, sejumlah tunjangan, uang kehormatan, uang paket harian, dan bantuan penunjang kegiatan Dewan.
Agar tidak semakin melambungkan anggaran, pimpinan MPR diminta tidak meminta kemewahan fasilitas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak meminta mobil dinas untuk para wakil atau fasilitas protokoler lainnya.
Berdasarkan kajian dari Indonesia Budget Center (IBC), pada 2017 pimpinan MPR rata-rata memperoleh gaji dan tunjangan Rp 1,77 miliar per tahun atau Rp 147,2 juta per bulan. Anggaran terbanyak adalah untuk uang kehormatan Rp 1,1 miliar dan tunjangan struktural Rp 211 juta.
Selain itu, anggaran untuk pimpinan MPR juga meningkat setiap tahun. Pada 2018, setiap unsur pimpinan memperoleh dukungan anggaran Rp 8,16 miliar dan meningkat menjadi Rp 8,75 miliar pada tahun 2019.
IBC berkesimpulan, penambahan dua unsur pimpinan MPR lewat pengesahan RUU MD3 akan memboroskan uang rakyat sekitar Rp 22 miliar per tahun atau Rp 111 miliar untuk lima tahun.