Peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah berpotensi mendongkrak konsumsi. Pelaku usaha perlu memanfaatkannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Oleh
FERRY SANTOSO/DIMAS WARADITYA N
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah berpotensi mendongkrak konsumsi. Pelaku usaha perlu memanfaatkannya untuk mendorong pertumbuhan industri dan ekonomi nasional.
Presiden Joko Widodo saat membuka Musyawarah Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) ke-16, di Jakarta, Senin (16/9/2019), menyatakan, pasar Indonesia makin menarik bagi investor dengan kenaikan kelas ekonomi masyarakat. Apalagi, situasi perekonomian global tengah melambat.
Jumlah penduduk kelas menengah diperkirakan meningkat dari 74 juta jiwa pada 2012 menjadi 141 juta jiwa pada 2020. Menurut Presiden, peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat akan disertai peningkatan kebutuhan konsumsi yang bisa memicu pertumbuhan industri.
”Indonesia makin atraktif bagi investasi bisnis global untuk memanfaatkan peluang yang ada. Jangan sampai (situasi) itu dipakai negara lain sehingga mereka berbondong-bondong memanfaatkan kesempatan ini,” kata Presiden.
Presiden meminta setiap kader Hipmi untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Jika momentum revolusi industri tidak dimanfaatkan, Indonesia hanya akan berakhir sebagai negara konsumen yang tidak mampu memproduksi kebutuhan masyarakatnya secara mandiri.
Masyarakat kelas menengah cenderung memiliki daya beli sehingga jadi penggerak ekonomi di sektor konsumsi. Hal ini jadi kesempatan bagi pelaku usaha dan industri untuk meningkatkan daya saing di kancah global. Apalagi, saat ini, Indonesia masih tertinggal dari negara lain, seperti Malaysia dan Korea Selatan, dalam hal daya saing dan produktivitas.
”Jangan sampai yang mengambil manfaat justru dari negara lain. Tantangannya bagi Indonesia adalah memanfaatkan momentum agar menjadi negara produsen, tidak sekadar menjadi bangsa konsumen,” ujarnya.
Tambah konglomerat
Dengan tidak adanya lagi batas perdagangan global, sangat memungkinkan bagi pasar dalam negeri dibanjiri produk atau komoditas dari luar negeri. Dalam rangka mengantisipasi hal itu, Presiden menyatakan bakal mempersempit ruang impor dengan tetap membuka ruang investasi, terutama untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
Dalam musyawarah nasional ini, Hipmi juga akan menentukan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) periode 2019-2022 menggantikan Bahlil Lahadalia. Menjelang akhir masa kepemimpinannya, Bahlil meminta pemerintah membuka jalan bagi terciptanya konglomerat-konglomerat baru dari kalangan pengusaha muda Tanah Air.
Para anggota Hipmi, kata Bahlil, berharap dapat mengembangkan usaha menjadi konglomerasi. Mereka berharap pemerintah membantu pengusaha untuk berkembang menjadi besar karena tidak ada konglomerasi yang berkembang tanpa campur tangan pemerintah.
Ekspor tertekan
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia Agustus 2019 surplus 85,1 juta dollar AS. Namun, sepanjang Januari-Agustus 2019, neraca perdagangan Indonesia masih defisit 1,81 miliar dollar AS.
”Neraca perdagangan Januari-Agustus 2019 memang defisit. Namun, defisit terus mengecil. Nilai defisit lebih kecil dibandingkan dengan defisit pada periode sama 2018 yang mencapai 4,16 miliar dollar AS,” kata Kepala BPS Suhariyanto, di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, ekspor nonmigas mengalami tekanan karena ketidakpastian global. ”Faktor global berpengaruh, khususnya pada mesin-mesin, karet, dan kertas. Komoditas itu terdampak perang dagang,” tuturnya. (FER/DIM/ERK)