Perenang difabel Rahmat Hidayatullah (34) kembali membuktikan diri. Keterbatasan manusia bisa menjadi kekuatan terbesarnya.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Setelah berenang 3 kilometer tanpa kedua kaki di bawah terik matahari di Pelabuhan Cirebon, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rahmat Hidayatullah (34) akhirnya menepi. Ia berhasil menuntaskan lombanya sekaligus membuktikan bahwa keterbatasan adalah kekuatannya.
Siang itu, Sabtu (14/9/2019), Rahmat membukukan waktu 1 jam 9 menit dan 6 detik dalam Navy Open Tournament atau olahraga air Pangkalan TNI Angkatan Laut Cirebon cabang fin swimming nomor laut 3.000 meter. Memang, ia lebih lambat sekitar 30 menit dibandingkan dengan lebih dari 80 peserta yang kedua kakinya masih ada.
Akan tetapi, ketika warga Cimahi, Jabar, ini keluar dari air di pelabuhan yang agak gelap, berlumpur, dan berbau oli, sorak tepuk tangan menyambutnya. Seperti biasa, di hadapan kamera awak media, Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis jongkok sambil mengalungkan medali di lehernya. Lalu, menyalaminya dengan amplop.
”Kalau enggak diteriakin, dia enggak mau berhenti. Padahal, sudah 6 putaran,” ucap Komandan Lanal Cirebon Letnan Kolonel Laut (P) Agung Nugroho, takjub melihat Rahmat. Agung mengaku, sebagai marinir, mungkin membutuhkan waktu lebih dari 1 jam melintasi 3 kilometer perairan Pelabuhan Cirebon.
Mendengar itu, Rahmat tersenyum lalu berjalan dengan tangan ke tempat teduh. Otot di punggung dan lengannya menonjol. Setelah menarik napas dan meneguk air mineral, ia mengatakan, ”Keterbatasan (fisik) itu tidak jadi masalah. Kalau ada kemauan, kita pasti bisa.”
Sejak lahir, anak petani ini mengaku tidak memiliki kedua kaki. Penyebabnya apa, ia tak tahu. Namun, ia masih ingat bagaimana teman satu sekolah dasar memandangnya hingga mengejeknya karena berbeda dengan anak lainnya.
”Itu saya rasakan sampai kelas III SD. Lalu, saya masuk pondok pesantren di Singaparna, Tasikmalaya. Di sana, saya merasa bersyukur atas pemberian Tuhan dan tidak minder lagi hingga SMA umum kelas I. Setelah itu, saya fokus mondok,” kata Rahmat.
Meski tanpa kaki, Rahmat tumbuh dengan jiwa besar. Pantang baginya memasrahkan diri seperti pengemis tanpa kaki, juga yang pura-pura tanpa kaki, di sudut kota-kota besar.
Meski tanpa kaki, Rahmat tumbuh dengan jiwa besar. Pantang baginya memasrahkan diri seperti pengemis tanpa kaki, juga yang pura-pura tanpa kaki, di sudut kota-kota besar.
Ia memilih menjadi guru mengaji sekaligus penjaga masjid di Kampung Babakan Muncang, Kelurahan Padaasih, Cimahi. Katanya, pekerjaan itu sukarela. ”Saya mau berbuat sesuatu yang bermanfaat, termasuk menjadi atlet renang,” ucapnya.
Belajar
Rahmat mulai berlatih renang pada 2016, setelah sebelumnya menjadi atlet lari kursi roda 100 meter. Adalah Oman Hermawan, guru olahraga di SDN Cibabat 5 Cimahi yang memancing bakat renangnya.
Ketika itu, Jabar menjadi tuan rumah Pekan Paralimpiade Nasional dan Oman sebagai panitianya. Sebagai pelatih renang, ia tertantang membimbing atlet renang difabel. Segera, ia meminta rekannya mencarikan orang berkebutuhan khusus yang mau belajar berenang.
”Kata teman saya, ada yang mau jadi atlet renang, tetapi enggak punya kaki. Bisa berenang, tetapi ngambang aja. Saya bilang, enggak apa-apa. Bawa ke sini orangnya,” kenang Oman. Rahmat pun datang dengan mengendarai motor ATV bekas, pemberian temannya.
Awal latihan, Rahmat hanya melatih mengayunkan lengannya. Ia duduk di paha Oman. Punggungnya menempel di dada pelatih. ”Pertamanya, dia (Rahmat) nyungsep. Dia enggak bisa pakai pelampung dan ban karena bisa tenggelam, tubuhnya enggak seimbang,” ujar Oman teringat saat itu.
Kata Oman, dalam tiga kali pertemuan atau 6 jam, Rahmat mulai lancar berenang jarak 20 meter. ”Kalau saya melatih orang normal, punya dua kaki, bisa makan waktu tiga bulan. Dari sini, saya lihat dia punya potensi bagus untuk nomor laut,” ucapnya.
Nomor itu dipilih karena, menurut dia, sangat jarang atlet difabel di nomor laut dengan jarak berkilo-kilometer. Berbeda dengan nomor kolam yang sudah diisi banyak atlet difabel. Beberapa kali percobaan, tekanan darah Rahmat setelah berenang juga normal, 120/80 mmHg.
Enam bulan setelah latihan, Rahmat diajak merasakan panasnya kolam Pelabuhan Cirebon. Lanal Cirebon turut memfasilitasinya, termasuk tempat menginap dan makanan. Ia juga merasakan tingginya ombak Pantai Tirtamaya setinggi 3 meter. Di pesisir Kabupaten Indramayu itu, Rahmat berlatih berenang sepanjang 4 km.
September 2017, Rahmat terjun dalam lomba lintas teluk Palu, setahun sebelum tsunami menghantam kota itu dan sekitarnya. Dalam lomba itu, Rahmat memang tidak juara karena bersaing dengan perenang yang fisiknya sempurna. Namun, ia cakap menuntaskan berenang 4 km.
Dalam acara HUT Armada RI di Surabaya, Rahmat pun turut berpartisipasi melintasi Selat Madura sepanjang 3,5 kilometer. Juli 2019, Rahmat dan Oman berlabuh ke Pantai Kuta untuk mengikuti Bali Ocean Swim 2019.
”Saya pinjam Rp 5 juta dari koperasi untuk ikut. Padahal, kami tidak hanya mewakili Cimahi, tetapi Jabar, bahkan Indonesia, karena hanya Rahmat yang difabel dari Indonesia di nomor laut. Ada 15 negara yang ikut,” ujar Oman.
Meskipun tidak menang, menurut dia, Rahmat berhasil menyelesaikan 5 kilometer selama 4,5 jam. Padahal, saat itu, akunya, ombaknya 3 meter. Bahkan, garis start terpaksa dimundurkan 150 meter. Namun, bukan kesombongan yang ia ingin utarakan.
”Saya cuma mau Indonesia melihat kalau ada atlet difabel yang berpotensi untuk fin swimming nomor laut. Selama ini, belum ada atlet difabel di nomor itu,” kata Oman.
Sepertinya, Rahmat masih harus melintasi laut di belahan Nusantara untuk membuktikan kalau perenang difabel negeri ini mampu. Begitu juga Oman yang menjadi pelatih sekaligus menjelma pendorong motor modifikasi Rahmat yang kerap mogok.