RUU Pertanahan Tidak Mengarah Penuntasan Konflik Lahan
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pertanahan dipandang tidak mengarah pada penuntasan konflik lahan. Padahal, pengaduan hukum terbanyak berupa konflik lahan. Pembentukan pengadilan pertanahan dinilai tidak tepat untuk penyelesaian konflik pertanahan yang sifatnya struktural, masif, dan luas.
Rencana Undang-Undang Pertanahan (RUUP) tidak meletakkan perkara penguasaan lahan secara struktural, dan ketimpangan yang diakibatkannya tidak menjadi pertimbangan di bagian awal. Penyelesaian konflik agraria hanya difasilitasi melalui mediasi oleh menteri dan upaya membentuk pengadilan pertanahan.
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rakhma Mary Herwati, Senin (16/9/2019), di Jakarta mengatakan, “Konflik agraria dan ketimpangan penguasaan lahan secara struktural merupakan persoalan agraria yang mendasar. Tidak ada niat dari RUUP menyelesaikan konflik. Penyelesaian berdasar mediasi dan upaya membentuk pengadilan pertanahan belum jelas seperti apa,” katanya.
Konflik muncul karena ada perampasan-perampasan lahan masyarakat untuk pembangunan, industri, pertambangan, perkebunan, industri kehutanan, bahkan penguasaan oleh lembaga negara. Tahun 2018, YLBHI menangani 300 konflik agrarian di semua sektor tersebut. Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, jumlah konflik agraria pada 2015-2018 ada 1.771 kasus.
Sandrayati Moniaga, komisioner Komnas HAM menegaskan, “Masalahnya, RUUP ini mengabaikan realitas sosial setelah Undang-Undang Pokok Agraria dan semua undang-undang terkait tanah lainnya yang menyebabkan tumpang tindih lahan. Seharusnya semua konflik ini dibereskan dulu sebelum mengeluarkan peraturan baru terkait HGU (Hak Guna Usaha), HPL (Hak Pengelolaan Lahan), dan sebagainya. Lahan harus bersih dulu dari konflik,” ujar Sandra.
Pendaftaran tanah
Sementara Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Yagus Suyadi mengatakan, RUUP tersebut berperan sebagai bridging (penghubung) sebelum ada peraturan baru yang lebih komprehensif untuk penyelesaian konflik agraria.
Sampai 2025, kata Yagus, semua bidang tanah didaftar dengan kategori, kalau bisa diterbitkan sertiifikat, sementara yang sengketa menjadi obyek penyelesaian pengaturan.
Langkah pertama adalah mendaftar seluruh tanah atau daratan di seluruh Indonesia. Menurut dia perkara pengadilan adalah kasus agraria.
“Jadi ini dimuat dalam bridging (penghubung ke peraturan baru). Begitu undang-undang disahkan, bisa dibuat aturan pelaksanaannya. Kami sudah siapkan rancangan peraturan menterinya. Pemerintah dan DPR sudah komitmen dan sepakat soal ini,” tambahnya.
Menurut catatan BPN ada sekitar 3000-4000 sengketa tanah. “Nanti kalau sudah terdaftar bisa kita pilah, kita identifikasi sengketa masyarakat tidak selalu dengan BPN, bisa dengan pemda atau badan hukum. Kalau sudah masuk perkara maka historical tanah bisa dibuka. Namun kami mengedepankan penyelesaian non-litigasi,” tegas Yugas.
Penyelesaian konflik pun tak mudah dan memakan waktu lama. Menurut Rakhma, kasus yang diadukan tahun 1998 sekitar 30 kasus baru selesai tiga kasus. Ketiganya selesai pada 2009, 2013, dan 2015.
Kesulitan penyelesaian kasus agrarian antara lain ketertutupan data Hak Guna Usaha di Kementerian ATR/BPN. Dalam konflik agraria masyarakat tak hanya berhadapan dengan pihak swasta namun juga lembaga pemerintah seperti ATR/BPN, atau PTPN sebagai badan usaha milik negara, dan TNI.