Di tengah kuatnya penolakan dari pegiat antikorupsi, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah merampungkan pembahasan revisi Undang-Undang tentang KPK. Revisi UU ini terindikasi melemahkan KPK.
Ibarat membangun Candi Roro Jonggrang dalam semalam, DPR dan pemerintah, Senin (16/9/2019) malam, merampungkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pembahasan revisi UU KPK dilakukan cepat dan tergesa-gesa. Total, hanya lima kali rapat terkait revisi UU KPK dalam waktu dua pekan terakhir yang diketahui publik. Dari lima kali rapat itu, hanya dua kali rapat pembahasan di tingkat panja revisi UU KPK.
Rapat pertama diadakan Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 3 September 2019 secara tertutup dan diam-diam untuk mengusulkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR. Rapat kedua, pada 12 September, diadakan antara Baleg dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk membacakan persetujuan presiden membahas revisi UU KPK.
Rapat ketiga adalah rapat Panitia Kerja Revisi UU KPK pertama pada 13 September, disusul rapat Panja Revisi
UU KPK kedua pada Senin (16/9) malam, yang langsung disusul rapat kerja pengambilan keputusan tingkat satu antara Baleg DPR dengan Menkumham dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin. Rapat panja itu diadakan tertutup.
Selain diadakan tertutup, revisi UU KPK sejak awal ditengarai cacat prosedur. RUU ini sebenarnya sudah dicabut dari Program Legislasi Nasional 2019, tetapi tiba-tiba diputuskan jadi usul inisiatif DPR. Itu diduga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
Pembahasan tertutup itu juga bertentangan dengan janji pemerintah untuk membahas revisi UU KPK secara terbuka. Sebelumnya, dalam rapat kerja perdana yang diadakan tiba-tiba untuk menyampaikan pandangan Presiden Joko Widodo atas revisi UU KPK di Baleg DPR, Kamis (12/9) malam, Menkumham Yasonna Laoly menjanjikan pembahasan terbuka.
Permohonan KPK
KPK juga memohon agar DPR dan pemerintah tidak terburu-buru merevisi UU KPK. Hingga kemarin KPK belum mendapat draf RUU KPK dan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KPK.
”Dalam pembentukan UU perlu mendengar banyak pihak, seperti akademisi, suara masyarakat, dan pihak yang terdampak aturan tersebut,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Dukungan menunda pengesahan revisi UU KPK juga datang dari pimpinan KPK terdahulu, seperti Pimpinan KPK Jilid I Taufiequrachman Ruki, Tumpak Hatorangan Panggabean, Erry Riyana Hardjapamekas beserta Pimpinan KPK Jilid II, Chandra M Hamzah.
Ruki menyampaikan, pimpinan KPK terdahulu berharap pembahasan revisi UU KPK tidak terburu-buru dan harus diperbanyak menyerap aspirasi.
Permohonan KPK untuk berdialog dengan Presiden Jokowi hingga kemarin juga belum terealisasi. Tiga dari lima unsur pimpinan KPK, bahkan, sempat menyampaikan pernyataan menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK ke Presiden Jokowi. KPK menunggu instruksi Presiden.
Menanggapi hal itu, kemarin, Presiden Jokowi mengatakan hal itu tidak dikenal dalam UU KPK.
”Sejak awal saya tidak pernah meragukan pimpinan KPK yang sekarang. Dan, sudah saya sampaikan berkali-kali bahwa kinerja KPK itu baik,” kata Presiden Jokowi.
Presiden ajak awasi
Presiden Jokowi menekankan, pemerintah sedang memperjuangkan substansi-substansi di revisi UU KPK yang diinisiasi DPR. Pembahasan revisi terbatas UU KPK akan digelar DPR. Oleh karena itu, Presiden mengajak semua pihak mengawasi.
”Marilah kita awasi bersama-sama. Semuanya ngawasi agar KPK tetap pada posisi kuat dan terkuat dalam pemberantasan korupsi. Tugas kita bersama,” kata Presiden.
Hanya saja, semua rapat panja pembahasan revisi UU KPK diadakan tertutup. DPR dan pemerintah bahkan sudah merampungkan revisi, kemarin malam. Partai Demokrat belum bersikap karena perlu berkonsultasi dengan fraksi, sedangkan Gerindra memberi catatan soal Dewan Pengawas, dan PKS memberi catatan soal Dewan Pengawas dan ketentuan izin tertulis penyadapan. Hari ini, Selasa (17/9), revisi UU KPK menurut rencana akan disahkan menjadi undang-undang di Rapat Paripurna DPR.
”Kami mengejar waktu yang tersisa sangat pendek. Kami juga banyak agenda lain, jadi Baleg ingin cepat-cepat,” kata anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi.
Taufiqulhadi juga membantah revisi UU KPK akan mengganggu upaya pemberantasan korupsi ke depan. ”Ini bukan persoalan melemahkan atau tidak, melainkan untuk menjamin kepastian hukum semua warga negara,” katanya.
Titik berat pencegahan
Apa yang ingin dicapai DPR dan pemerintah dengan pembahasan yang tergesa-gesa, tertutup dari publik?
Melihat substansi RUU KPK, pemberantasan korupsi seolah akan bergeser ke
arah pencegahan. Berbagai kewenangan KPK yang ada selama ini juga akan dipangkas dan dibatasi, seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Becermin pada lembaga antikorupsi di negara lain, ada dua negara, yakni Estonia dan Kroasia, yang hanya punya kewenangan penindakan, tetapi memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang baik. Estonia mendapat skor 73 pada 2018, sedangkan Kroasia meraih skor 49, lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang skornya 38. Makin tinggi skor IPK, makin bersih dari korupsi sebuah negara dipersepsikan.
Inggris, Austria, Singapura, dan Switzerland tetap memadukan kewenangan pencegahan dan penindakan secara simultan sehingga nilai IPK yang diperolehnya selalu masuk 20 besar. Namun ada juga, lembaga antikorupsi yang hanya fokus pada pencegahan seperti Korea Selatan sehingga IPK-nya stagnan.
Bagaimana menurut Anda?
(AGE/NIA/IAN/LAS/SHR)