PBB menyatakan, keselamatan dari 600.000 warga Rohingya yang berada di Myanmar masih terancam oleh genosida. Pernyataan ini mengisyaratkan rencana repatriasi pengungsi Rohingya di Bangladesh kembali tidak memungkinkan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
GENEVA, SELASA — Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan, keselamatan dari 600.000 warga Rohingya yang berada di Myanmar masih terancam oleh genosida. Pernyataan ini mengisyaratkan rencana repatriasi pengungsi Rohingya di Bangladesh kembali tidak memungkinkan.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah mengirim Tim Pencari Fakta Internasional PBB untuk Myanmar guna menyelidiki insiden yang terjadi di Rakhine, Myanmar, pada 2018. Tim ini mengumpulkan laporan baru kepada Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss, Selasa (17/9/2019).
”Ancaman genosida terus berlanjut bagi Rohingya yang tersisa. Fakta-fakta ini menekankan repatriasi bagi hampir 1 juta pengungsi Rohingya yang sebagian besar berada di Bangladesh menjadi mustahil,” kata anggota Tim Pencari Fakta Internasional PBB untuk Myanmar, Christopher Sidoti, melalui pernyataan yang menyertai laporan itu.
Laporan menyebutkan, Pemerintah Myanmar terus menyangkal kesalahan, menghancurkan bukti, dan menolak untuk melakukan investigasi yang efektif. Warga Rohingya yang masih berada di Rakhine dinyatakan tetap hidup dalam kondisi tidak manusiawi.
Lebih dari 40.000 bangunan di wilayah itu hancur dalam insiden yang terjadi pada 2017. Alih-alih membersihkan lokasi, bunyi laporan tersebut, Pemerintah Myanmar justru menyita dan membangun bangunan lain di atas rumah warga Rohingya.
Setidaknya 130.000 warga Rohingya kini tinggal di kamp-kamp pengungsi di Rakhine. Amnesty International menyebut kamp itu sebagai penjara terbuka karena warga bergantung pada bantuan kemanusiaan dan jarang diizinkan keluar.
Kondisi warga yang hidup di luar kamp pengungsi sedikit lebih baik meskipun tetap dipantau. Untuk meninggalkan desa, mereka perlu menyuap penjaga dalam jumlah besar.
”Myanmar tak berupaya menghapus sistem kekerasan dan persekusi di Rakhine. Gambar satelit mengungkapkan keberadaan 34 kamp pengungsi dengan tujuan yang tidak jelas, tetapi mungkin menunjukkan Myanmar berniat menahan warga Rohingya dan yang akan kembali,” kata Pelapor Khusus PBB Yanghee Lee, secara terpisah.
Myanmar dan Bangladesh menandatangani perjanjian repatriasi pada 2017. Bangladesh menampung hampir 1 juta pengungsi Rohingya. Opsi repatriasi semakin mendesak akibat keberadaan pengungsi mulai memengaruhi dinamika masyarakat Bangladesh.
Upaya pertama repatriasi gagal pada November 2018. Sejak Agustus 2019, Bangladesh kembali berupaya melakukan repatriasi. Belum ada pengungsi yang bersedia untuk kembali hingga memasuki September 2019.
Warga Rohingya selama puluhan tahun tidak diakui sebagai warga negara Myanmar dan dituduh sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Warga Rohingya selama puluhan tahun tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Mereka dituduh sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Ketiadaan pengakuan membuat mereka tidak memperoleh akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hukum.
Juru bicara militer Myanmar, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun, menolak laporan tim PBB. Ia menyebut temuan mereka bersifat sepihak.
”Alih-alih membuat tuduhan yang bias, mereka seharusnya turun ke tanah untuk melihat kenyataan,” ujar Zaw Min Tun.
Tim Pencari Fakta Internasional PBB tidak pernah menerima izin untuk memasuki Rakhine atau Myanmar. Tim yang diketuai oleh Marzuki Darusman ini telah memberikan laporannya kepada panel investigasi yang bertugas mengumpulkan bukti pendukung bagi tuntutan di masa mendatang.
Rekomendasi tim
Laporan tim pencari fakta menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB untuk merujuk Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau membentuk pengadilan seperti yang dibuat di Yugoslavia dan Rwanda. Tim juga mendesak moratorium untuk investasi dan bantuan pembangunan di Rakhine.
Negara dan perusahaan asing diimbau agar berhenti berbisnis dengan militer Myanmar. Laporan tim pencari fakta menyatakan memiliki daftar tertutup lebih dari 100 nama pejabat dan militer yang diduga terlibat dalam genosida dan kejahatan perang pada 2017.
PBB telah merilis nama enam jenderal militer yang diduga terlibat pada tahun lalu, termasuk Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing.
”Skandal kelambanan (respons) internasional harus berakhir. Kecuali PBB dan komunitas internasional mengambil tindakan efektif untuk kali ini, sejarah menyedihkan ini akan berulang,” kata Sidoti. (AFP/REUTERS)