WWF dan ICEL Usulkan Status Darurat di Sumatera dan Kalimantan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — WWF Indonesia mengusulkan kepada Presiden untuk mengumumkan darurat kebakaran hutan dan lahan. Kata darurat ini untuk kian menggugah kesadaran pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan perusahaan berbasis lahan untuk serius mencegah kebakaran terulang kembali.
Darurat karhutla ini pun dinilai tak berlebihan karena kondisi sebagian Pulau Sumatera dan Kalimantan tertutup asap pekat akibat kebakaran pada area gambut. Asap ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan mengakibatkan kelumpuhan aktivitas pendidikan dan perekonomian di sejumlah daerah.
“Kebakaran hutan dan lahan jangan lagi dipandang permasalahan biasa dan normal. Ini bencana manmade, buatan manusia jadi juga bisa diselesaikan dari manusianya itu sendiri,” kata Aditya Bayunanda, Direktur Policy and Advocacy WWF Indonesia, Selasa (17/9/2019) dalam media briefing bertema kebakaran hutan dan lahan di Jakarta.
Kebakaran hutan dan lahan jangan lagi dipandang permasalahan biasa dan normal.
Ia mengatakan cara pandang menganggap karhutla sebagai peristiwa normal perlu diluruskan. Tragedi ini memiliki implikasi serius dan langsung bagi kehidupan manusia – terutama kesehatan kaum rentan yaitu anak-anak dan orang tua – juga bagi kehidupan satwa liar.
Aditya Bayunanda mengatakan karhutla biasanya menjadi sarana bagi perambah untuk membuka hutan dan menguasainya. Mereka memanfaatkan cuaca kering untuk membakar dan membersihkan hutan secara mudah dan cepat.
“Kebakaran hutan ini akhirnya membuat habitat satwa berkurang. Saat ini, ancaman terhadap satwa liar di alam terbesar bukan lagi pada perburuan, tetapi berkurangnya habitat alaminya,” kata dia.
Darurat udara bersih
Sementara itu Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) menyatakan Indonesia Darurat Udara Bersih. Alasannya, kualitas udara akibat karhutla di sejumlah daerah sudah sangat tidak layak bagi kehidupan manusia. Indikatornya, ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) Palangkaraya sempat tercatat mencapai angka 2.000, sangat jauh dari angka indikator batas aman 50 dan indikator berbahaya 300-500 yang ditetapkan Kementerian Kesehatan.
Pencemaran udara akibat karhutla telah mengakibatkan dampak luas di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Penderita ISPA di Riau menurut data Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan pada Minggu (15/9/2019) telah mencapai15,346 orang. Ribuan anak sekolah diliburkan.
Pemerintah dari mulai pusat sampai daerah sebagaimana diamanatkan oleh Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pengendalian Karhutla mempunyai kewajiban untuk memitigasi dampak ini. Kewajiban pemerintah ini pun juga ditekankan kembali melalui putusan CLS Kebakaran Hutan Kalimantan Tengah yang dimenangkan oleh warga negara.
Pemerintah dari mulai pusat sampai daerah sebagaimana diamanatkan oleh Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pengendalian Karhutla mempunyai kewajiban untuk memitigasi dampak ini.
“Jelas bahwa karhutla di berbagai daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan sudah menimbulkan keadaan darurat pencemaran udara. Selain berupaya menghentikan karhutla, pemerintah pusat dan daerah harus segera mengevakuasi masyarakat ke daerah dengan kualitas udara yang aman," kata Fajri Fadhilah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL.
Dia mengatakan, paparan pencemar udara seperti PM2,5 dengan konsentrasi ratusan hingga ribuan mikrogram per meter kubik merupakan tingkat yang berbahaya bagi semua populasi. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai penyakit yang dapat berujung pada kematian dini. "Tentu ini adalah dampak yang sangat signifikan dan tidak bisa dikesampingkan," kata Fajri.