Di Balik Kekuatan Pariwisata Bali
Cinta adalah rahasia di balik kesuksesan pariwisata Bali yang telah mendunia. Cinta terhadap Tuhan, sesama manusia, dan alam. Ketiga pengamalan cinta inilah yang senantiasa menjaga keajekan Bali.
Bali seakan ”ditakdirkan” menjadi destinasi wisata. Perpaduan alam yang indah dengan budaya yang menarik menjadi magnet bagi turis. Setiap tahunnya jutaan wisatawan asing dan domestik datang ke pulau ini. Jumlahnya bertambah dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2017, jumlah turis di Bali 8,2 juta jiwa, hampir dua kali lipat jumlah penduduknya. Tiga per empat turis adalah wisatawan mancanegara.
Sektor pariwisata menyumbang sekitar Rp 27 triliun atau lebih kurang 20 persen dari total PDRB—bandingkan dengan APBD 2018 Bali sebesar Rp 5,980 triliun. Tak pelak pendapatan dari sektor pariwisata menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat dan pembangunan di Pulau Bali.
Pariwisata Bali sudah puluhan tahun diakui dunia. Pada 2017, Bali menjadi pemenang destinasi wisata yang dipilih wisatawan oleh TripAdvisor, situs travel terbesar di dunia. Bali merupakan destinasi di Asia pertama yang mendapatkan penghargaan ini, mengalahkan London (United Kingdom), Paris (Perancis), Roma (Italia), New York (Amerika Serikat), Crete (Yunani), Barcelona (Spanyol), Siem Reap (Kamboja), Praha (Republik Ceko), dan Phuket (Thailand).
Mengapa Bali menjadi demikian atraktif bagi wisatawan asing? Apakah faktor budaya, termasuk agama Hindu, telah membentuk warga Bali menjadi selaras dengan hal-hal yang dianggap menarik dan eksotik oleh para wisatawan?
Konsep Tri Hita Karana
Berbagai destinasi wisata lain juga memiliki kearifan lokal melalui nilai budaya, adat istiadat, dan agama. Namun, di Bali, hal tersebut menjadi landasan di setiap lini kehidupan, seperti Tri Hita Karana yang diimplementasikan dan menjadi kekuatan pariwisata.
Ida Ayu Tary Puspa, pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Bali, menyatakan Tri Hita Karana adalah falsalah dalam Hindu yang berarti tiga hal yang menyebabkan kesejahteraan, yakni keharmonisan hubungan antara manusia dan Tuhan (parahyangan), manusia dan sesamanya (pawongan), serta manusia dan alam (palemahan). Tiga hal yang selalu dijaga ini menjadi landasan pariwisata Bali.
Hubungan manusia-Tuhan diimplementasikan lewat berbagai cara oleh umat Hindu di Bali. Tidak hanya sembahyang sehari-hari di rumah atau di pura, tetapi juga lewat peringatan hari raya keagamaan, seperti Galungan, Kuningan, dan Nyepi. Hal ini menjadi wujud syukur, mengingat Sang Pencipta.
Terkait hubungan manusia dengan sesamanya, umat Hindu di Bali memegang prinsip untuk memperlakukan orang lain seperti memperlakukan diri sendiri. Hal ini dikenal dengan Tat Twam Asi, yang berarti aku adalah kamu, kamu adalah aku. Maka, wisatawan yang datang diperlakukan dengan baik selayaknya keluarga.
Tat Twam Asi, jika dibawa ke tingkat yang universal, bermakna toleransi, saling menghormati, dan memahami antarsesama. Landasan cinta kasih antarsesama ini membuat Bali menarik untuk dikunjungi.
Terakhir adalah palemahan, hubungan manusia dengan alam. Bagi umat Hindu di Bali terdapat dua alam, yakni alam kecil, seperti manusia, hewan, dan tumbuhan (bhuana alit), dan alam besar atau jagat raya (bhuana agung).
Kedua alam harus seimbang dan harmonis. Menjaga dan merawat keduanya merupakan kewajiban, baik itu melalui ritual agama maupun perilaku sehari-hari.
Ketut Sumadi, pengamat pariwisata budaya, menyatakan, pariwisata Bali sebenarnya sejalan dengan konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Menurut Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), pariwisata berkelanjutan diharapkan memperkuat tradisi dan kearifan lokal masyarakat yang multikultur dalam mengelola daya tarik lingkungan alam dan budaya. ”Karena ada cinta inilah, Bali semakin kuat,” ujar Sumadi.
Hindu telah menjadi roh budaya Bali. Beragam jenis kebudayaan di Bali bersumber dari Hindu, termasuk nilai-nilai yang menjadi landasan pelaksanaan pariwisata. Tri Hita Karana adalah dasar di setiap lini kehidupan umat Hindu di Bali.
Wisata minat khusus
Bali, yang telah sekian lama menjadi wisata massal (mass tourism), membuat konsep Tri Hita Karana perlahan-lahan mulai terkikis. Pemahaman mengenai makna ritual-ritual yang dijalani harus ditingkatkan kembali. Hubungan antarmasyarakat juga perlu dikuatkan agar tidak renggang. Salah satu cara agar konsep ini tidak terkikis adalah dengan manusa yajna.
Ida Ayu Tary Puspa mengatakan, manusa yajna secara harfiah berarti memberi makan kepada sesama. Hal itu diimplementasikan pada bentuk upacara pengorbanan suci untuk kebersihan lahir batin sejak lahir hingga meninggal. Dalam upacara manusa yajna, masyarakat saling menolong, baik itu dalam memasak, membuat sesajen, atau persiapan upacara lainnya.
Upaya lainnya yang juga dilakukan agar falsafah agama Hindu tidak tersisih dari pariwasata Bali adalah menuangkannya ke bentuk pengaturan melalui awig-awig bernama Tata Sukerta. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Nomor 4
Tahun 2019 tentang Desa Adat Bali yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Bali, Mei lalu.
Sebelumnya, telah pula dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Peraturan ini dikeluarkan atas kesadaran bahwa pariwisata Bali berlandaskan kebudayaan, dijiwai nilai-nilai Hindu dengan menerapkan falsafah Tri Hita Karana.
Selain itu, kondisi lingkungan kini menjadi persoalan. Tidak dapat dimungkiri terdapat dampak negatif dari wisata massal di Bali. Pencemaran sampah di wilayah pesisir dan laut sudah dikeluhkan beberapa tahun terakhir.
Karena itu, kini toko modern, mal, dan swalayan tidak lagi menyediakan kantong plastik. Konsumen harus membawa sendiri kantong belanja. Namun, terlihat masih banyak warung yang tetap menggunakannya.
Bali pun kini mengarah ke wisata minat khusus (special interest tourism). Salah satu bentuknya ialah wisata warisan budaya (heritage tourism).
Bali memang memiliki beragam warisan budaya yang belum dijelajahi wisatawan, baik yang berwujud maupun tidak. Contoh warisan budaya yang berwujud ialah belajar membuat sesajen atau makanan khas Bali. Adapun contoh yang tidak berwujud, antara lain, mendengarkan cerita-cerita tradisional Bali di desa wisata.
Pada akhirnya, falsafah Hindu yang menjadi akar budaya Bali harus terus dirawat dan dijaga karena Bali adalah rumah bagi jutaan orang.
(LITBANG KOMPAS)