DPR Sahkan RKUHP di Tengah Banyak Pasal Bermasalah
Koalisi masyarakat sipil akan mengajukan uji materi (judicial review) sejumlah pasal RKUHP yang bermasalah ke Mahkamah Konstitusi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Padahal, sejumlah pasal masih kontroversial dan mendapat kritik tajam dari masyarakat.
Kepastian pengesahan RKUHP disampaikan saat rapat tingkat pertama Komisi III DPR dan pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019). Rapat dipimpin Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin dan dihadiri Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mewakili pemerintah.
Hasil rapat selama 2,5 jam tersebut menyimpulkan, 10 fraksi menyetujui RKUHP dibawa ke pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR yang diagendakan pada Selasa (24/9/2019).
Dalam rapat tersebut, pemerintah dan DPR sepakat merevisi dan menambahkan sejumlah pasal dalam RKUHP. Namun, Yasonna meminta Pasal 418 yang mengatur tentang perzinaan dihapus.
Adapun Pasal 418 berbunyi “Laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini, kemudian mengingkari janji tersebut karena tipu muslihat yang lain dipidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak kategori III.”
Yasonna mengatakan, pemerintah menghapus Pasal 418 karena mendapat perdebatan panjang dalam rapat panitia kerja. Pasal tersebut juga dikhawatirkan terlalu mudah digunakan untuk mengkriminalisasi orang.
Yasonna mengakui, pembahasan RKUHP sudah lama dan dilanjutkan kembali pada 2015 tidak akan bisa sempurna. Sebab, dalam pembahasannya menuai banyak kontroversi maupun perdebatan di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen dan memiliki kompleksitas pandangan. Dia pun mempersilakan masyarakat yang tidak puas untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Selain Yasonna, Ketua Panitia Kerja RKUHP DPR Mulfahri Harahap juga mengakui ada kontroversi dan ketidaksempurnaan dalam pembahasan RKUHP. Namun, Mulfahri menegaskan bahwa penyusunan RKUHP dilakukan dengan tujuan memberikan konstribusi yang positif bagi pembangunan hukum di Indonesia.
Problematik
Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP (ICJR, Elsam, ICW, AJI Indonesia, LBH, YLBHI, dan Kontras) menilai, RKUHP masih berisi sejumlah pasal problematik. Hal ini membuka peluang masalah dan multitafsir sehingga berpotensi mengganggu kehidupan sosial masyarakat.
Sejumlah pasal yang bermasalah tersebut antara lain mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 2 dan 598); hukuman mati (Pasal 67, 99, 100, dan 101); pengaturan makar (Pasal 167); penghinaan presiden, pemerintahan yang sah dan lembaga negara (Pasal 218, 219, 240, 241, 353, dan 354); tindak pidana agama (Pasal 304); dan kesusilaan (Pasal 417 dan 419).
Selain itu, terdapat juga pasal bermasalah yang mengatur kriminalisasi perempuan yang melakukan pengguguran (Pasal 470-472); tindak pidana peradilan atau contempt of court (Pasal 281 dan 282); tindak pidana penghinaan (Pasal 440-449); tindak pidana korupsi (Pasal 604-607); dan pelanggaran HAM berat (Pasal 599 dan 600).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, sikap DPR dan pemerintah memaksa mengesahkan RKUHP merupakan upaya memberangus kritik dan memperlancar kepentingan kelompok masing-masing. Oleh karena itu, mereka pun membuat pasal atau aturan yang dapat menertibkan rakyat dengan mudah.
Hal ini juga yang melatarbelakangi revisi sejumlah aturan selain RKUHP, yakni RUU KPK, RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), RUU Pertanahan, hingga RUU Sumber Daya Air.
Selain itu, kata Asfinawati, pengesahan RKUHP juga bertepatan dengan momentum berakhirnya masa jabatan dan masuknya periode baru. Komposisi partai di DPR periode 2019-2024 yang tidak terlalu berbeda jauh dengan periode sebelumnya memperkuat dugaan lobi politik yang terjadi.
“Rasanya tidak mungkin ada kesepakatan mengesahkan sejumlah RUU ini jika partai tidak ada lobi-lobi. Ini bentuk sinyal buruk bagi demokrasi karena tidak akan ada oposisi yang mengontrol berjalannya pemerintah. Semua satu suara untuk bagi-bagi keuntungan,” ujarnya.
Setelah pengesahan ini, Asfina menegaskan bahwa koalisi masyarakat sipil akan mengajukan uji materi (judicial review) sejumlah pasal RKUHP yang bermasalah ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, publik juga harus terus diingatkan terkait implikasi dari pasal yang bermasalah tersebut karena berpotensi mengancam tatanan sosial masyarakat.