Wakil Ketua Laode M Syarif menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang tidak menepati janji untuk melibatkan KPK dalam memberikan pendapat atas revisi UU KPK.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi membentuk tim transisi guna merespons Rancangan Undang-Undang KPK yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Tim transisi bertugas untuk menganalisis materi-materi hasil revisi UU KPK.
"Ikhtiar kita melawan korupsi tidak boleh berhenti. Kami langsung pada kalimat inti ini agar kita paham dan tidak ragu sedikit pun untuk tetap melaksanakan tugas sebagaimana mestinya", kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Mewakili pimpinan KPK lain, Agus menyampaikan pesan ini kepada seluruh pegawai KPK melalui surat elektronik internal. Pimpinan berpesan agar para pegawai KPK tetap menjalankan tugas sebagaimana yang telah diamanatkan undang-undang.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, tim transisi bertugas menganalisis materi-materi setelah hasil revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disahkan. Selain itu, tim transisi akan mengidentifikasi konsekuensi terhadap kelembagaan, sumber daya manusia, dan pelaksanaan tugas KPK baik di penindakan maupun pencegahan dan unit lain yang terkait.
"Tim transisi ini juga akan merekomendasikan tindak lanjut yang perlu dilakukan secara bertahap pada Pimpinan. KPK melihat ada sejumlah perubahan aturan yang berbeda dengan poin-poin yang disampaikan Presiden sebelumnya," ujarnya.
Febri mengatakan, perubahan tersebut memang bisa memperlemah kerja KPK. Untuk mencegah efek yang terlalu buruk ke KPK, tim transisi akan segera menyisir setiap pasal dan ayat dalam RUU KPK.
RUU KPK disahkan DPR pada Selasa (17/9/2019) dalam rapat paripurna yang dihadiri 108 orang dari 560 anggota DPR. Dari hasil revisi, setidaknya ada delapan pasal yang berpotensi melemahkan KPK.
Kompas mencatat, delapan pasal itu adalah Pasal 1 Ayat (6), Pasal 3, Pasal 12B Ayat (1), Pasal 12B Ayat (4), Pasal 24 Ayat (2), Pasal 37B huruf b, Pasal 37E, dan Pasal 40. Pasal-pasal itu mengatur soal kelahiran Dewan Pengawas (Dewas) dan perubahan status KPK menjadi lembaga eksekutif yang diikuti perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, serta kewenangan menghentikan penyidikan suatu perkara.
Wakil Ketua Laode M Syarif menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang tidak menepati janji untuk melibatkan KPK dalam memberikan pendapat atas revisi UU KPK. Padahal, Pimpinan KPK telah dijanjikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly akan diundang ke DPR dalam pembahasan revisi UU KPK.
“Pak Laoly berjanji akan mengundang KPK saat pembahasan di DPR tetapi tidak memenuhi janji tersebut. Pak Laoly tidak perlu membuat narasi baru dan mengaburkan fakta yang sebenarnya. Saya yakin beliau ber-Tuhan, jadi sebaiknya jujur saja,” kata Laode.
Pertemuan antara KPK dan Menkumham sebelumnya terjadi pada Kamis (12/9/2019) lalu di Kantor Menkumham. Saat itu, Pimpinan KPK diwakili Agus Rahardjo dan Laode serta ditemani oleh Deputi Pencegahan Pahala Nainggolan dan Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum Rasamala Aritonang.
Dalam pertemuan itu, KPK meminta daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait revisi UU KPK sebelum Pemerintah dan DPR mengambil sikap akhir. Namun, hingga saat ini KPK tidak pernah menerima baik draf resmi revisi UU KPK maupun DIM.
Dukungan
Febri menyampaikan, KPK tidak mau harapan publik terhadap pemberantasan korupsi selesai sampai ketokan palu paripurna DPR kemarin. Karena itu, KPK juga terus berkomitmen untuk tetap menjalankan ikhtiar pemberantasan korupsi ini.
KPK juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah menunjukkan sikap dan suara yang tegas untuk mengawal pemberantasan korupsi. Meskipun suara penolakan seolah tidak didengar, namun KPK tetap mengajak semua pihak menjadikan momentum ini untuk semakin memperkuat peran masyarakat mengawal pemberantasan korupsi.
“KPK juga mengajak agar masyarakat lebih kuat melakukan kontrol terhadap kerja KPK ke depan. Karena masyarakat adalah korban dari korupsi yang sesungguhnya,” kata Febri.
Febri mengungkapkan, dalam sejarahnya, baik di Indonesia maupun negara lain, ikhtiar pemberantasan korupsi memang selalu melewati rintangan demi rintangan. “Kami akan berupaya semaksimal mungkin melewatinya bersama-sama dengan seluruh pihak yang bersedia menjadi bagian dari gerakan anti korupsi ini,” tegasnya.