KAIRO, KOMPAS -- Nasib Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dipertaruhkan dalam pemilu Israel, Selasa (17/9/2019), yang akan menentukan apakah dia mampu mempertahankan jabatannya atau lengser. Jika tetap bertahan, Netanyahu membawa ancaman serius bagi Palestina. Guna mendapatkan simpati dari massa kubu kanan dan garis keras Israel, ia berjanji menganeksasi sepertiga wilayah Tepi Barat dan Lembah Jordan.
Sebanyak 6.395.000 warga Israel memiliki hak suara dalam pemilu untuk memilih 120 anggota Knesset (parlemen). Pemungutan suara dimulai pukul 07.00 dan ditutup pukul 22.00 waktu setempat. Israel mengumumkan jajaran militer dan aparat keamanan dalam siaga penuh untuk mengamankan jalannya pemilu. Sebanyak 18.800 personel aparat keamanan disebarkan di sekitar tempat-tempat pemungutan suara.
Israel menutup Tepi Barat mulai Senin malam. Warga Palestina dilarang masuk dari Tepi Barat ke wilayah Israel selama pemilu berlangsung. Israel juga memperkuat kontrol di sepanjang perbatasan Israel-Jalur Gaza, perbatasan Israel-Lebanon, dan perbatasan Israel-Suriah.
Sebanyak 32 faksi politik ikut serta dalam pemilu parlemen tersebut, tetapi yang akan mendapatkan kursi di Knesset diperkirakan hanya 10 hingga 12 faksi politik. Pemilu ini digelar hanya lima bulan setelah pemilu parlemen, April lalu, saat Netanyahu gagal membentuk pemerintahan koalisi sehingga diputuskan menggelar pemilu lagi, 17 September ini.
Kegagalan Netanyahu membentuk pemerintah koalisi pasca-pemilu parlemen, April lalu, disebabkan partai Yisrael Beiteinu pimpinan Avigdor Lieberman menolak bergabung dengan koalisi pimpinan Netanyahu. Perbedaan pendapat antara Netanyahu dan Lieberman itu terkait isu Jalur Gaza dan isu wajib militer bagi warga Yahudi ultra-ortodoks. Lieberman menuduh Netanyahu terlalu banyak kompromi dengan Hamas. Sebaliknya, Netanyahu mengklaim sudah bersikap keras terhadap Hamas.
Sikap politik Lieberman itu membuat Netanyahu gagal membangun koalisi 60+1 di Knesset dan pada gilirannya gagal membentuk pemerintah koalisi. Menurut undang-undang pemilu Israel, pemerintah koalisi bisa terbentuk jika mendapat dukungan minimal 60+1 kursi dari 120 kursi Knesset.
Dari segi ideologi, pemilu kali ini—seperti pemilu pada April lalu—ajang pertarungan sengit antara kubu kanan radikal pimpinan Netanyahu dan kubu tengah kiri pimpinan mantan kepala staf angkatan bersenjata Israel.
Dari segi ideologi, pemilu kali ini—seperti pemilu pada April lalu—adalah ajang pertarungan sengit antara kubu kanan radikal pimpinan Netanyahu dengan lokomotif partai Likud dan kubu tengah kiri pimpinan mantan kepala staf angkatan bersenjata Israel, Benny Gantz, dengan lokomotif faksi Kahol Lavan, yang juga populer dengan nama Gerakan Biru-Putih.
Media Israel juga menyebut, pemilu kali ini merupakan pertarungan masa depan Netanyahu, baik politik maupun hukum. Saat ini ia menunggu vonis hukum pada 2 Oktober mendatang terkait tiga kasus, yaitu korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan penyalahgunaan dana negara. Netanyahu berharap memenangi pemilu dan mempertahankan jabatan PM agar bisa menggagalkan proses hukum terhadap dirinya.
Sebaliknya, Gantz berusaha keras mengakhiri rezim PM Netanyahu dan mengubah arah ideologi Israel dari kanan radikal ke tengah kiri yang bisa menjanjikan terciptanya stabilitas dan perdamaian di Israel dan Timur Tengah.
Menurut jajak pendapat, hasil pemilu ini tidak jauh berbeda dari hasil pemilu pada April lalu. Saat itu partai Likud dan Gerakan Biru-Putih sama-sama mendapat 35 kursi. Adapun kubu kanan radikal dan agama meraih 65 kursi, berbanding 55 kursi yang diperoleh kubu tengah kiri.