Multiliterasi Itu Bisa dengan Berbagai Cara
Mendidik masyarakat agar memahami multiliterasi di satu sisi cukup sulit mengingat berbagai tantangan di era disrupsi yang memiliki perubahan serba cepat. Namun di sisi lain, ini memungkinkan beragam pendekatan bisa digunakan.
Literasi di abad ke-21 tidak hanya sebatas membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Kini, konsep literasi yang utuh atau multiliterasi mencakup kesadaran berbangsa dan berbudaya, memiliki pengetahuan atas pengelolaan keuangan, serta cakap menggunakan teknologi digital. Pembumiannya beragam, tergantung dengan kebutuhan yang perlu diprioritaskan intervensinya di masyarakat.
Bagi Inggri Dwi Rahesi, pegiat literasi dari Tasikmalaya, Jawa Barat, celah yang ia isi adalah memberi pemberdayaan intelektual dan ekspresi bagi kaum perempuan di kotanya. Ia mendirikan klub baca Konde Sartika pada tahun 2017 yang kini anggotanya mulai dari siswi SMA, ibu rumah tangga, hingga perempuan karier.
"Saya melihat perempuan Tasik sudah banyak yang berpendidikan. Tapi, entah kenapa masih banyak yang galau karena merasa budaya melarang mereka bebas berekspresi atau masih ada anggapan setelah lulus kuliah tidak perlu bekerja karena nanti akan menikah dan ikut suami," tutur mahasiswi S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia ini ketika ditemui pada Hari Aksara Nasional di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (6/9/2019).
Saya melihat perempuan Tasik sudah banyak yang berpendidikan. Tapi, entah kenapa masih banyak yang galau karena merasa budaya melarang mereka bebas berekspresi.
Inggri menjelaskan, pemahaman budaya secara keliru ini mengakibatkan berkembangnya hubungan pertemanan tidak sehat di komunitas perempuan. Contohnya, ketika seorang perempuan berhasil di dalam studi maupun karier, bukannya diberi ucapan selamat dan motivasi malah digunjingkan. Mental ini menghambat komunitas perempuan untuk maju dan produktif mengaktualisasi diri.
Ia kemudian mengambil pendekatan "nongkrong yang bermanfaat". Momen berkumpul dengan teman-teman di kedai kopi diubah agar tidak bergosip, melainkan mendiskusikan hal-hal yang memperluas wawasan. Caranya dengan membahas buku-buku yang dibaca.
"Ini zona bebas penghakiman. Setiap cewek yang datang nongkrong bebas bercerita tentang buku apapun yang ia baca, mau roman, cerita detektif, filsafat, sampai chick-lit enggak akan ada yang mengejek," katanya.
Tujuannya ialah agar anggota klub ini memiliki kepercayaan mengekspresikan diri melalui hal-hal yang mereka suka. Secara bertahap, mereka juga mulai membangun kemampuan berargumen, mendengarkan masukan orang lain, dan cara memberi pendapat yang benar melalui diskusi buku.
Sering kali tema buku yang dibahas, seringan apapun tampak di permukaan, dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Arisan buku ini pun bisa rutin dilakukan satu kali setiap pekan dengan setiap anggota membawa buku yang tengah mereka baca. Tercatat ada 60 anggota Konde Sartika dengan 45 orang yang aktif setiap pekan.
Inggri menjabarkan, selain arisan buku, juga ada agenda rutin lain, yaitu diskusi bulanan. Tema diskusinya beragam, mulai dari soal meningkatkan produktivitas individual sampai tema sensitif seperti kekerasan domestik dan rumah tangga, politik, dan ekspresi keragaman jender serta identitas seksual.
"Ini salah satu cara menangkal hoaks, yaitu mengajak anggota Konde Sartika belajar mencari informasi yang akurat. Setelah membacanya, mereka diajak berdiskusi dan berargumen. Ternyata, banyak sekali perbedaan pendapat dan kami belajar untuk saling menghargai," ucapnya.
Setelah membacanya, mereka diajak berdiskusi dan berargumen. Ternyata, banyak sekali perbedaan pendapat dan kami belajar untuk saling menghargai.
Selain itu, di hari-hari besar para anggota melakukan bakti sosial sesuai kompetensi masing-masing. Misalnya, mahasiswa di program ilmu kesehatan membuat penyuluhan mengenai sanitasi, anggota yang gemar mendongeng mengadakan kegiatan dongeng interaktif, dan anggota yang suka memasak membuat kelas masak.
Menegakkan disiplin
Lain lagi cerita Wily Ariwiguna yang mendirikan Rumah Belajar Aqil di Malang, Jawa Timur. Asal muasal aktivitas Wily yang dulu bekerja sebagai konsultan ketenagakerjaan mengajar literasi bermula ketika ia penasaran dengan keluhan berbagai perusahaan mengenai sumber daya manusia Generasi Z kerap tidak disiplin dan susah diatur dalam pekerjaan.
Ia memutuskan melakukan penelitian pada tahun 2007-2010 di tiga perguruan tinggi di Malang. Hampir setiap hari ia menyambangi kantin dan ruang-ruang publik di sana untuk ikut nongkrong dengan mahasiswa. Ternyata, mahasiswa sekarang kurang berpikir kritis. Mereka lebih suka mengambil jalan pintas jika ada masalah tanpa menganalisa akar penyebabnya dan alternatif solusi yang tersedia. Sikap pragmatis ini yang membuat mereka tidak taat standar prosedur saat bekerja.
"Bahkan, saya pernah bertemu mahasiswa yang beranggapan benar itu tidak penting, lebih penting adalah gampang dikerjakan. Kalau ada masalah, itu urusan belakangan," tutur Wily. Ia mendeduksi, bagi kalangan mahasiswa literasi yang dibutuhkan adalah kedisiplinan dan pemikiran analitis yang menekankan kepada proses sekaligus hasil.
Pada tahun 2010 berdirilah Rumah Belajar Aqil. Di sana Wily membentuk kelompok riset skripsi yang mengajar mahasiswa teknis melakukan penelitian dan menulis kritis. Menurut dia, butuh perjuangan mengajak mahasiswa untuk mau banyak membaca, menganalisa, dan menelaah konteks bacaan sebelum dipilih yang cocok untuk penelitian skripsi mereka.
Butuh perjuangan mengajak mahasiswa untuk mau banyak membaca, menganalisa, dan menelaah konteks bacaan sebelum dipilih yang cocok untuk penelitian skripsi mereka.
"Per tahun 2013 muncul masalah baru yaitu sifat apatis akibat anak muda jarang bersosialisasi secara tatap muka. Pendekatan rumah belajar pun diubah. Jam 08.00-12.00 untuk riset dan diskusi penulisan skripsi dan jam 13.00-17.00 mereka terjun ke masyarakat untuk melihat potensi yang bisa dikembangkan," ujar Wily.
Ada mahasiswa yang mengajar calistung, membuat kolase, hingga membantu guru-guru lokal menyiapkan rencana pemelajaran. Ditambah ada program "unggah ulas", yaitu mahasiswa mengunggah foto proyek yang mereka kerjakan ke media sosial. Setelah itu, sama-sama diulas jika ada usulan mengenai hal yang perlu dibenahi.
"Sebenarnya, ini cara mengajarkan mereka membuat profil media sosial yang profesional. Isinya bukan cuma selfie, tapi ada konten berbobot. Nanti ketika melamar kerja profil ini akan jadi pertimbangan perusahaan yang dilamar," katanya.
Pendekatan-pendekatan ini sesuai dengan prinsip multiliterasi. Sekretaris Direktur Jenderal PAUD dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Warsono menjelaskan, literasi adalah cara memahami, melakukan, dan menciptakan. Tujuannya mencari jalan keluar bagi permasalahan nyata di masyarakat.