Nama Brigadir Kapala Eka Setiawan mendadak jadi perbincangan di jagad media sosial. Dalam sebuah video, tampak polisi lalu lintas itu ditabrak oleh pengendara Mobilio di Jalan Raya Pasar Minggu.
Oleh
Aditya Diveranta/Wisnu Wardhana Dhany/Ayu Pratiwi
·4 menit baca
Sepanjang Senin (16/9/2019), nama Brigadir Kepala Eka Setiawan mendadak jadi perbincangan di jagad media sosial. Dalam sebuah video, tampak polisi lalu lintas itu ditabrak pengendara mobil Mobilio di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Penabrakan tersebut menyebabkan Bripka Eka terseret sambil tertelungkup di atas kap mobil, hampir sejauh 200 meter. Kejadian itu pun menimbulkan keriuhan warga setempat. Dalam video tersebut, terlihat warga melempari mobil itu dengan batu atau berbagai barang lainnya.
Musabab dari penabrakan itu bermula saat Bripka Eka berusaha menegur Tavippudin, pengendara mobil yang parkir sembarangan di sekitar trotoar Jalan Raya Pasar Minggu. Saat Bripka Eka menanyakan kelengkapan surat berkendara, Tavippudin justru menolak.
”Ia berkeras menolak. Saat saya berusaha meminta kelengkapan surat itu lagi, ia lalu berusaha mencoba memundurkan kendaraannya dan tiba-tiba tancap gas. Saya yang berada tidak jauh dari mobil akhirnya melompat ke depan kap mobil dan terseret hampir sekitar 200 meter,” tutur Eka mengingat kejadian itu.
Mobil Tavippudin yang melaju kencang itu pun memancing kemarahan warga di sekitar jalan raya. Adit (28), salah satu pegawai bengkel di Jalan Raya Pasat Minggu, mengaku emosi karena mobil itu menabrak sejumlah pengendara sepeda motor.
”Pegawai di (bengkel) sini juga ikut melempar barang-barang kecil. Sempat ada yang teriak copet, padahal bukan,” ujarnya.
Mobil Tavippudin baru terhenti saat menabrak sebuah mobil lain tidak jauh dari Stasiun Pasar Minggu. Bripka Eka mengatakan, Tavippudin menabrak mobil Ayla. Akibat kejadian itu, mobil Tavippudin mengalami kaca pecah dan bodi penyok di bagian kiri.
”Setelah terseret, saya cek kelengkapan surat berkendara itu. Ternyata SIM milik dia mati,” kata Bripka Eka. Tavippudin pun dikenai tilang dan diproses secara hukum oleh kepolisian.
Lalu, Selasa (17/9/2019), Tavippudin dalam konferensi pers meminta maaf atas kesalahannya itu. Ia mengaku sedang dalam kondisi yang tidak stabil secara emosional. ”Saya meminta masyarakat untuk tidak meniru apa yang telah saya perbuat. Apa yang saya lakukan adalah salah dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya,” tuturnya sambil menangis.
Hampir sebagian besar kasus pelanggaran lalu lintas selalu berujung dengan penyesalan yang diungkapkan si pelanggar. Padahal, sebelumnya, si pelanggar lalu lintas ini dengan tega bertindak begitu kasar kepada polisi.
Saya meminta masyarakat untuk tidak meniru apa yang telah saya perbuat. Apa yang saya lakukan adalah salah dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Bahkan, kasus yang membuat polisi terseret mobil seperti ini juga terjadi sebelumnya di Pos Lalu Lintas Rajiman, Bandung, Juli lalu. Pengemudi bernama Christian (24) saat itu juga berusaha kabur dari tilangan polisi. Brigadir Natan Doris, polisi yang bertugas saat itu, nekat meloncat ke kap mobil untuk menghentikan laju kendaraan.
Praktisi Keamanan Berkendara dan Pendiri Jakarta Defensive Driving Consultant Jusri Pulubuhu mengatakan, pengendara yang melanggar lalu lintas sering kali berkilah dengan membuat pembenaran. Dalam beberapa kesempatan, mereka yang berani berbuat nekat, seperti berusaha kabur dari tilangan polisi, bisa jadi memang menyadari bahwa mereka berbuat salah.
Dalam sebuah riset berjudul ”Rationalization in Decision Making” oleh Vadim Cherepanov, Timothy Feddersen, dan Alvaro Sandroni dari Kellogg School of Management at Northwestern University disebutkan bahwa seseorang memiliki tujuan saat berkilah atau membuat pembenaran. Tujuan itu adalah untuk memberikan sugesti kepada diri sendiri saat seseorang mengambil sebuah keputusan.
Jusri menyayangkan, konsep pembenaran semacam itu kini dilakukan oleh banyak orang. Hal tersebut kemudian seakan menjadi lumrah dilakukan oleh sebagian besar pengendara.
Terkait sebagian pengendara yang berani bertindak ”keras” kepada polisi, peneliti sosial vokasi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan bahwa perilaku itu didasari budaya Indonesia yang hierarkis. Dalam kebudayaan yang dimaksud itu, masyarakat kelas atas cenderung memperoleh hak istimewa yang biasanya tidak didapat masyarakat kelas bawah.
”Sikap diskriminasi itu bisa disaksikan di jalan. Misalnya, orang dengan posisi tertentu bisa dibebaskan dari aturan lalu lintas, bahkan jeratan hukum. Bagi masyarakat lain, ini tidak adil,” kata Devie.
Selain itu, ada kecenderungan pada generasi pasca-kolonial mengagumi kalangan kelas atas yang berkuasa. Masalahnya, sebagian besar di antara mereka memiliki sikap yang kadang agresif.
”Sikap itu kemudian ditiru masyarakat lain yang ingin mendapatkan keistimewaan yang sama,” ucap Devie menambahkan.
Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane, ada anggapan di masyarakat bahwa polisi tidak tegas dalam menindak dan menuntaskan kasus tertentu. Kondisi itu diperparah dengan adanya masyarakat yang merasa bangga jika berani melawan polisi.
Hal itu tidak boleh diabaikan oleh kepolisian. Lanjut Neta, polisi harus tegas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai standar operasional prosedur.
”Jika polisi masih dituding negatif, saya kira tidak masalah karena pada akhirnya masyarakat sendiri yang akan merasakan manfaat ketegasan itu. Tujuan hal itu, kan, untuk melindungi kepentingan masyarakat luas,” tuturnya.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti mengatakan, polisi harus terus-menerus memberikan pemahaman kepada masyarakat agar semakin mematuhi aturan.
”Orang yang sengaja nakal melanggar aturan harus diberi teguran hingga sanksi hukum. Penilangan tetap harus diproses. Apabila mereka mencederai polisi, ya, juga harus diproses dengan hukum yang setimpal dengan tindak kekerasan itu,” kata Poengky.