JAKARTA, KOMPAS—Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat, untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi sehingga status kota layak anak tercapai. Sebaliknya, LSM meminta pemprov meneruskan program-program inisiasi LSM yang terbukti berdampak positif untuk jadi program berkelanjutan dan dibiayai anggaran daerah.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutkan, pihaknya terus mendorong terbentuknya ekosistem yang sehat bagi program kota layak anak.
“Kita harus membangunnya ekosistem karena memang ada begitu banyak pelaku dalam sebuah kota, dan kegiatan untuk membangun kota layak anak tidak bisa hanya dikerjakan pemerintah saja, masyarakat sipil saja, orang tua saja, tidak bisa. Karena itu, harus membangun sebuah kolaborasi,” ucap dia usai menerima anugerah Mitra Strategis Save the Children, Rabu (18/9/2019), di Jakarta Utara.
Save the Children merupakan organisasi non pemerintah internasional dengan fokus pemenuhan hak anak, beroperasi di lebih dari 120 negara sejak 1919. Di Indonesia, Save the Children bekerja melalui Yayasan Sayangi Tunas Cilik. Program di Jakarta terdapat di Jakarta Utara, Barat, Selatan, dan Timur sejak 2013.
Anies mengatakan, Pemprov DKI memiliki kelebihan berupa wewenang dan kapasitas fiskal dengan mengelola anggaran pendapatan dan belanja daerah. Namun, pemprov juga punya kelemahan, yaitu kerap minim inovasi karena bekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang membuat ruang inovasi tidak selebar pihak-pihak di luar pemerintahan. Kolaborasi dengan pihak non pemerintah, termasuk LSM, yang punya ruang inovasi luas bisa mengatasi kelemahan itu.
Meski demikian, Anies berpendapat, pemenuhan hak anak di DKI sudah amat baik, terbukti dengan penerimaan penghargaan pelopor provinsi layak anak 2019 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta penghargaan pemerintah daerah provinsi peduli anak dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang keduanya diterima Juli lalu.
Komitmen terhadap pemenuhan hak anak “dikunci” dalam kegiatan strategis daerah yang tercantum di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022. Nama kegiatannya, permuliaan perempuan, perlindungan anak, dan disabilitas.
Contoh konkretnya antara lain pendirian rumah aman untuk memberi perlindungan pada perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, pengembangan layanan kedaruratan Siaga 112 yang terintegrasi dengan Polda Metro Jaya, serta pos pengaduan kekerasan perempuan dan anak di 19 lokasi.
Evie Woro Yulianti, Field Manager Greater Jakarta Yayasan Sayangi Tunas Cilik, mengapreasiasi Pemprov DKI yang mengintegrasikan pemenuhan hak anak dalam sejumlah kebijakan. Contohnya, Anies meluncurkan dokumen Strategi Ketahanan Kota Jakarta pada Agustus. “Beberapa komponen sudah masuk di situ, termasuk sekolah dan madrasah aman bencana,” ujar dia.
Namun, Evie mengevaluasi, koordinasi lintas sektor di pemprov perlu ditingkatkan, mengingat pemenuhan hak anak bukan hanya urusan Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DKI.
Koordinator Program Literasi Digital Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Khusnul Aflah, menambahkan, pihaknya mendorong pemprov dengan sumber daya yang dimiliki melanjutkan program-program yang diinisiasi LSM dan terbukti berdampak positif. Ia merekomendasikan program literasi digital Yayasan Sayangi Tunas Cilik yang menyasar sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan berakhir 30 September ini untuk dilanjutkan pemprov.
Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Mudaris Ali Masyhud, yang diminta meneliti dampak program literasi digital tersebut, menyampaikan, saat program belum diterapkan, praktik internet aman oleh anak-anak SD/MI yang paling banyak berjalan adalah pada kategori sedang, tetapi di pengujung program, kategori yang paling banyak adalah yang tinggi. Praktik internet aman kategori sedang turun dari 53 persen ke 8,9 persen, sedangkan kategori tinggi naik dari 23,2 persen jadi 63,5 persen.
Artinya, dengan program semacam itu, anak-anak bisa makin terlindungi dari dampak negatif penggunaan internet. Studi dampak dilakukan dengan pendekatan metode gabungan kuantitatif dan kualitatif. Sampel terdiri dari 672 siswa SD/MI, 14 kepala sekolah, 42 guru, 42 orang tua, 14 komite sekolah, dan 12 pihak dari pemerintah dan non pemerintah. Batas galat +/- 3,78 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.