Kepolisian Daerah Jambi telah menentapkan 19 tersangka dari kalangan perorangan terkait 14 kasus kebakaran hutan dan lahan yang tengah mereka tangani. Sejauh ini belum ada tersangka dari kalangan korporasi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kepolisian Daerah Jambi telah menetapkan 19 tersangka dari kalangan perorangan terkait 14 kasus kebakaran hutan dan lahan yang tengah mereka tangani. Namun, sejauh ini belum ada tersangka dari kalangan korporasi karena polisi kesulitan membuktikannya.
”Dari kalangan korporasi memang belum ada (tersangka), tetapi sedang kami selidiki. Dalam waktu dekat akan dinaikkan dua kasus,” kata Kepala Polda Jambi Inspektur Jenderal Muchlis, seusai shalat Istisqa di Markas Polda Jambi, Rabu (18/9/2019). Shalat diikuti ratusan warga untuk memohon turunnya hujan supaya masalah kebakaran dan kabut asap segera berakhir.
Menanggapi hal itu, aktivis Walhi Jambi, Rudiansyah, mengatakan, aparat kepolisian tak sungguh-sungguh mengusut unsur kesengajaan dan kelalaian di balik luasnya kebakaran yang terjadi pada areal korporasi.
Data Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menunjukkan kebakaran paling luas terjadi pada areal hutan tanaman industri seluas 3.499 hektar, perkebunan sawit 4.359 hektar, hak pengelolaan hutan 1.193 hektar, lahan restorasi seluas 6.579 hektar, dan lahan masyarakat seluas 2.954 hektar.
”Ini menunjukkan pemegang konsesi di areal gambut tidak serius melakukan pengelolaan tinggi muka air gambut. Semestinya izin-izin yang telah diterbitkan agar segera ditinjau ulang,” kata Direktur KKI Warsi Rudi Syaf.
Adapun Ketua DPRD Provinsi Jambi Edi Purwanto menyatakan akan memanggil kalangan korporasi terkait kebakaran yang melanda wilayah kerja mereka. Pihaknya akan menelusuri sejauh mana unsur kelalaian ataupun kesengajaan terjadi di balik kebakaran tahun ini. ”Setelah seluruh data lengkap, kami akan segera mengambil sikap politik,” katanya
Pada 2015, DPRD Provinsi Jambi telah merilis 11 nama perusahaan yang masuk daftar hitam karena peristiwa kebakaran areal konsesinya. Pengamat lingkungan dan inisiator Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Pengendalian Karhutla Provinsi Jambi, Poprianto, menyatakan, perusahaan yang dimaksud adalah PT WKS yang arealnya mengalami kebakaran 1.623 hektar dan PT DYE dengan luas 1.465 hektar. Keduanya berada di konsesi hutan tanaman industri.
Selain itu, perkebunan sawit PT ATGA yang arealnya terbakar hingga 1.040 hektar, PT KU seluas 669 hektar, PT CIN dengan luas 1.321 hektar, dan PT RKK seluas 602 hektar. Ada pula PT BEP yang luas kebakarannya mencapai 148 hektar, PT EWF 581 hektar, PT BA seluas 337 hektar, PT BMB dengan luas 532 hektar, serta PT PHL 647 hektar.
Dua perusahaan lagi area terbakarnya berada di kawasan hak penguasaan hutan (HPH), yakni PT PBP seluas 5.229 hektar dan PT PDI seluas 561 hektar.
Nama-nama perusahaan yang masuk daftar hitam itu, kata Poprianto, mestinya ditindaklanjuti lewat audit dan penegakan hukum. Perda Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Pengendalian Karhutla serta turunnya, Peraturan Gubernur (Pergub) Jambi Nomor 31 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2016, dapat digunakan untuk menindak korporasi terkait. Sanksinya bisa mulai dari administratif hingga pencabutan izin.
Hingga kini audit tak pernah dilaksanakan.
Namun, kata Poprianto, hingga kini audit tak pernah dilaksanakan instansi terkait, yakni Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi. ”Kami sudah selalu mengingatkan dalam setiap dengar pendapat, tetapi menurut pihak DLH mereka terkendala dana operasional,” ujarnya.
Kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah sejak Januari hingga pertengahan September 2019 telah menimbulkan kerugian lingkungan bernilai Rp 130 triliun. Bambang Hero Saharjo, pakar kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor, menyebut besarnya kerugian itu disebabkan persoalan mendasar, yakni lemahnya pencegahan dan penanganan awal kebakaran.
Sesuai data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total luas lahan yang terbakar sejak Januari 2019 sudah mencapai 328.724 hektar.
Bambang mendapati sejumlah modus di balik kebakaran lahan yang meluas dalam areal konsesi di Sumatera dan Kalimantan. Ia melihat ada pemegang konsesi yang memang sengaja membakar lahannya untuk menghemat biaya pembukaan lahan.
Ada pula perusahaan yang seolah malu-malu, dengan cara membiarkan lahannya dirambati api dari luar, dan baru mengupayakan pemadaman setelah sebaran api meluas dalam konsesinya. ”Jadi, dibiarkan saja apinya merambat. Setelah luas terbakar, barulah mulai dipadamkan,” katanya.
Dua modus lain yang selama ini belum banyak diungkap, katanya, pembakaran lahan untuk mendapatkan klaim asuransi kebakaran. Lalu, untuk mendapatkan selisih keuntungan dari penyaluran kredit perbankan.