JAKARTA, KOMPAS - Revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan berpotensi mematikan ketentuan pembatasan remisi bagi pelaku kejahatan luar biasa, termasuk korupsi, yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak Warga Binaan.
Pasalnya, salah satu fokus revisi UU PAS itu ialah pemberian kelonggaran dan kemudahan dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada setiap narapidana. Kini, melalui revisi UU Pemasyarakatan, keputusan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu diharmonisasikan dengan revisi Kitab undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), yang memberikan kewenangan dan kekuasaan besar kepada hakim dalam memberikan putusan, termasuk tentang boleh tidaknya seorang terpidana mendapatkan potongan hukuman.
Direktur Center for Detention Studies (CDS) Ali Aranoval, Rabu (18/9/2019) di Jakarta mengatakan, pembahasan mengenai pemberian remisi di tangan hakim itu telah disepakati antara pemerintah dan DPR, sehingga kemungkinan besar poin itu akan diketok dalam rapat antara pemerintah dan DPR, Kamis ini. Kedua pihak sepakat bahwa pemberian potongan hukuman dan pembebasan bersyarat adalah hak setiap warga binaan, dan semuanya berbasis pada kepastian hukum.
"Kesepahaman yang dibangun ialah bahwa pembatasan atas hak-hak seseorang itu harsu dilakukan dengan putusan hakim atau melalui UU. Oleh karenanya, pembatasan hak kemerdekaan seseorang atau napi dilakukan melalui putusan hakim, begitu pula pemotongan hukumannya juga diserahkan kepada hakim dalam putusan yang dibacakannya," kata Ali yang merupakan tim ahli dalam pembahasan RUU Pemasyarakatan.
Dengan demikian, bukan lagi pihak eksekutif atau kementerian yang menentukan apakah seseorang diberi remisi dan pembebasan bersyarat ataukah tidak, karena semuanya itu telah menjadi satu paket dalam putusan hakim. Rezim kepastian hukum yang dianut sebagai basis revisi UU Pemasyarakatan ini disesuaikan dengan aturan dalam revisi KUHP yang memberikan hakim kekuasaan yang besar.
"Dengan bergesernya pemberian remisi pada ranah hakim, bukan eksekutif, maka hakim dituntut untuk berani dalam memutus suatu perkara dengan memerhatikan rasa keadilan publik, sebab semuanya kini berada di tangannya," kata Ali.
Di satu sisi, pemberian kewenangan pada hakim dalam memutuskan remisi dan pembebasan bersyarat ini menghindarkan praktik jual beli dan kepentingan politik yang rentan mewarnai pemberian keringanan hukuman oleh pemerintah atau kementerian.
Namun, di sisi lain, hal ini secara langsung memangkas ketentuan pembatasan remisi yang sebelumnya ada bagi kejahatan-kejahatan tertentu, seperti korupsi, terorisme, dan narkoba, yang secara khusus diatur di dalam PP 99/2012.
Berdasarkan PP tersebut, pelaku kejahatan luar biasa, yakni korupsi, terorisme, dan narkoba, tidak mendapatkan remisi dan PB terkecuali mereka bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap pekerjaannya atau justice collabolator.
Sebab, dengan berlakunya kekuasaan hakim dalam penentuan pemotongan hukuman, peraturan pemerintah mana pun terkait dengan hal itu menjadi hilang daya ikatnya secara hukum.
Pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan Bandung Agustinus Pohan mengatakan, pemindahan kewenangan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat dari eksekutif kepada hakim, adalah praktik yang janggal dalam hukum pidana. Sebab, di mana-mana pemberian hak napi merupakan bagian dari penghargaan atau reward atas sikap mereka selama masa pembinaan di lembaga pemasyarakatan (lapas). Oleh karena itu, pemberiannya pun sangat tergantung pada penilaian penyelenggara pembinaan secara teknis, yakni tentang bagaimana mereka selama ini bersikap di lapas.
"Memberikan kewenangan itu kepada hakim menjadi aneh, karena yang menilai perkembangan napi selama masa pembinaan adalah pihak eksekutif yang secara teknis menyelenggarakan pembinaan sehari-hari. Jika itu dipindahkan kepada hakim, ukuran mana yang dipakai untuk memberikan potongan ataukah tidak," kata Agustinus Pohan.
Hak napi
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak setiap napi, dan karenanya setiap peraturan di bawah UU yang tidak sesuai dengan ketentuan UU harus disesuaikan atau diharmonisasikan. Masukan dari masyarakat dalam pembahasan revisi UU Pemasyarakatan tetap didengar.
Yasonna juga menampik jika nantinya RUU Pemasyarakatan merupakan upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi, sepaket dengan RUU KPK. Menurut ia, dibentuknya RUU Pemasyarakatan ini merupakan upaya pemerintah untuk membenahi undang-undang yang sejak tahun 1995 belum direvisi kembali.
"Jangan suudzon, nanti semuanya, termasuk RKUHP juga dibilang untung melemahkan pemberantasan korupsi. Inti dari RUU Pemasyarakatan adalah untuk mengakomodasi kemajuan zaman, di negara yang jauh tertinggal dari kita saja reform UU Pemasyarakatannya lebih maju dari kita," ucapnya.
Yasonna mengatakan, pembebasan bersyarat itu merupakan hak yang bisa diperoleh semua narapidana, termasuk narapidana korupsi. Menurut ia, hak-hak narapidana hanya bisa dibatasi melalui undang-undang dan proses pengadilan.
Senada dengan Yasonna, anggota Komisi III dari Fraksi PPP Arsul Sani menepis anggapan revisi UU Permasyarakatan dibuat untuk meringankan hukuman bagi napi koruptor. Namun, pemberian remisi pada RUU Permasyarakatan dibuat dalam rangka menata kembali sistem peradilan terpadu sehingga setiap lembaga konsisten menjalankan tugas pokok dan fungsi di ranahnya masing-masing.
“Lembaga yang tupoksinya penyelidikan dan penyidikan tidak boleh ikut campur dalam penuntutan dan peradilan, begitu juga lembaga lain. Lembaga permasyarakan yang membina narapidana juga jangan dicampuri lembaga yang tupoksinya menyidik dan menyelidik. Ketika dicampuri ini akan terjadi diskriminasi,” ujarnya.
Menurut Arsul, pemberian remisi juga tidak akan sembarangan karena memiliki parameter tersendiri sesuai peraturan internal Kementerian Hukum dan HAM dan peraturan lainnya. Parameter ini ditentukan oleh Direktorat Jenderal Permasyarakatan Kemenkumham yang diberikan otonomi khusus.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.