Wiranto Minta Publik Tidak Apriori, Pengamat: Formula Revisi Melumpuhkan KPK
Revisi diyakinkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto untuk menguatkan KPK. Namun pernyataannya tak langsung dipercaya. Sebab, materi revisi bernuansa pelemahan pada KPK.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto meminta publik tidak apriori dengan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-undang baru itu diklaim akan semakin menguatkan lembaga antirasuah tersebut. Namun, pernyataan ini tetap saja tak dapat dipercaya karena materi revisi bernuansa pelemahan pada KPK.
Wiranto saat jumpa pers, di Jakarta, Rabu (18/9/2019), mengklaim, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK tidak bertujuan untuk melemahkan KPK.
Pemerintah juga menyadari korupsi merupakan penyakit kronis yang menggerogoti uang rakyat hingga triliunan rupiah.
“Pemerintah sadar. Tidak mungkin pemerintah pro-koruptor dan menghalang-halangi penanganan kasus korupsi,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah melihat penindakan oleh KPK sejak KPK berdiri 17 tahun lalu tak efektif memberantas korupsi.
“Pencegahan kita bagaimana? Apakah penindakan memberikan efek jera? Jadi ini tidak usah kita perdebatkan lagi. Yang terpenting kita tetap melanjutkan aksi KPK, tidak dimatikan, tetapi dihidupkan, dengan penguatan yang memberikan akuntabilitas dan kepastian hukum terkait langkah-langkah yang dilakukan KPK,” tambahnya.
Kemarin (17/9/2019), revisi UU KPK disetujui disahkan menjadi undang-undang melalui Rapat Paripurna DPR. Ada sejumlah pasal baru, di antaranya pembentukan Dewan Pengawas, kewenangan KPK untuk menghentikan perkara (SP3), dan perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN), yang dinilai banyak kalangan berpotensi melemahkan KPK.
Wiranto meyakinkan, keberadaan Dewan Pengawas agar kerja KPK sebagai penegak hukum tidak menyimpang dari fungsi dan kewenangannya.
Ini disebutnya mirip dengan lembaga penegak hukum lain yang juga diawasi. Kejaksaan Agung misalnya, yang diawasi oleh Komisi Kejaksaan dan Polri yang diawasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Sementara terkait kewenangan KPK menerbitkan SP3, Wiranto menyatakan kewenangan itu diberikan kepada KPK untuk memberikan kepastian hukum bagi mereka yang tersangkut kasus hukum. Jangan sampai ada warga negara yang berlarut-larut menjadi tersangka.
Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor berpendapat, yang harus dipahami oleh pemerintah adalah korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, penanganan korupsi pun harus menggunakan cara-cara luar biasa.
Dia menilai, revisi UU KPK bukan cara yang diharapkan masyarakat jika memang pemerintah serius memberantas korupsi.
“Secara gampang saja, masyarakat akan menilai ini lebih bernuansa pelemahan. Ini bukan suatu formula yang bisa meyakinkan bahwa ini upaya penguatan, tetapi tepatnya melumpuhkan KPK,” katanya.