Alun Ombak di Selatan Kian Menantang
Pertarungan untuk memperebutkan pengaruh di wilayah Pasifik Selatan semakin sengit. Bagaikan berselancar, ombak di kawasan perairan itu semakin menantang.
Kebijakan Pemerintah Kepulauan Solomon untuk mengalihkan dukungan diplomatiknya kepada China—dan meninggalkan Taiwan yang telah terjalin selama 36 tahun— membuat ”berang” Amerika Serikat.
Seorang pejabat senior AS, Selasa (18/9/2019), mengatakan, Wakil Presiden AS Mike Pence membatalkan rencana pertemuannya dengan Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare. Menurut rencana, pertemuan itu akan digelar di sela-sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, pekan depan, atau sesudahnya di Washington. Pertemuan itu sejatinya atas permintaan Sogavare pada Juli lalu.
”Tetapi keputusan Kepulauan Solomon untuk mengubah pengakuan diplomatiknya dari Taiwan ke China memiliki konsekuensi. Mereka merusak hubungan yang kuat secara historis dengan melakukan ini,” kata pejabat itu. ”Ini adalah kemunduran dan ini memprioritaskan keuntungan jangka pendek dengan China atas komitmen jangka panjang dengan AS,” kata pejabat itu.
Kejengkelan AS bisa dipahami. Dalam salinan surat yang dikirim Sogavare kepada Pence—sebagaimana dilihat oleh Reuters—disebutkan Solomon membutuhkan bantuan dari AS, Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan untuk mengembangkan infrastruktur di negeri yang dihuni oleh sekitar 600.000 orang itu. Bagi Solomon, pengembangan infrastruktur adalah persoalan kritis yang menurut Sogavare berpotensi memicu persoalan politik di dalam negeri.
Namun, sebelum permohonan itu mendapat jawaban, dukungan diplomatik Solomon berubah dari Taiwan yang merupakan mitra AS kepada China yang notabene tengah ”berseteru” dengan Washington atas isu perdagangan. Tak hanya itu, sejak beberapa tahun terakhir, kedua negara adi daya itu juga kerap ”bersemuka” dalam isu keamanan dan stabilitas di wilayah Laut China Selatan.
Baca juga: Negara Mitra Taiwan Semakin Berkurang
Perbedaan sikap
AS dan sekutunya di kawasan jengah dengan sikap agresif China. Bahkan, Australia dan Selandia Baru, beberapa waktu lalu, segera mengambil sikap—termasuk perkuatan alutsista— setelah ”menjejaki’ kehadiran China di Vanuatu.
AS yang sejatinya memiliki hubungan perdagangan intensif dengan China dan menjunjung tinggi kebijakan Satu China juga tidak serta-merta ”sepakat” dengan kehadiran China di Pasifik Selatan. Wapres Pence telah mengkritik China atas apa yang dia sebut sebagai praktik ”perangkap utang” ke negara-negara kecil. Jebakan itu berpotensi membahayakan kedaulatan mereka.
Namun, China menolak tuduhan itu. Kementerian Luar Negeri China mengatakan AS tidak memiliki hak untuk ikut campur urusan internal negara-negara lain, termasuk menyangkut hubungan mereka dengan China. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, mengatakan, jika AS benar-benar peduli dengan negara-negara kepulauan Pasifik, negara itu harus berbuat lebih banyak untuk membantu mereka meningkatkan ekonomi dan kehidupan masyarakat mereka dan tidak ”mengacungkan tongkat sanksi” pada mereka.
Selasa lalu, Beijing mengatakan, setelah memutuskan hubungan dengan Taiwan, Kepulauan Solomon akan memiliki peluang pengembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum keputusan itu dibuat, China telah menawarkan dana pembangunan kepada Kepulauan Solomon 8,5 juta dollar AS.
Juru bicara Kemenlu China lainnya, Hua Chunying, mengatakan, pihaknya percaya bahwa pengembangan hubungan diplomatik Kepulauan Solomon dengan China yang berpopulasi 1,4 miliar orang dan kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia akan membawa peluang besar bagi Kepulauan Solomon.
Perimbangan
Bagi kawasan, peralihan ini memiliki signifikansi geopolitik, terutama bagi Washington dan Australia. Kepulauan Solomon secara geografis terletak di antara kedua negara itu. Senator AS dari Partai Republik Marco Rubio mengatakan, Washington tidak boleh tinggal diam.
”Kepulauan Solomon secara resmi menjadi negara terbaru yang tunduk pada tekanan China dan memutuskan hubungan dengan Taiwan,” tulis Rubio. ”Komunitas AS dan internasional harus mendorong balik terhadap intimidasi Beijing dan upaya untuk mengisolasi Taiwan.”
James Batley, seorang peneliti di Australian National University dan mantan komisaris tinggi Australia di Kepulauan Solomon, mengatakan, perubahan haluan Kepulauan Solomon tidak mengejutkan. Menurut dia, Kepulauan Solomon melihat ada sumber daya signifikan yang ditawarkan oleh China. ”Dan mereka (Solomon) ingin bergerak seiring perkembangan zaman dan dari sisi sejarah,” kata Batley. Namun, ia mengingatkan agar Kepulauan Solomon berhati-hati dan tidak banyak berutang pada China.
Di sisi lain, Profesor Anne-Marie Brady, seorang ahli tentang China di Universitas Canterbury, Selandia Baru, mengatakan, kebijakan itu boleh jadi juga menguntungkan Kepulauan Solomon. Honiara akan mampu menyeimbangkan hubungannya dengan sejumlah negara yang lebih besar, termasuk AS, Australia, Selandia Baru, dan China. (AP/AFP/Reuters)