JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi telah menerima berkas permohonan uji formil dan materiil Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi. Permohonan pengujian UU KPK diperkirakan akan bertambah, mengingat sejumlah kelompok tengah bersiap mengajukan pengujian yang sama.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, permohonan pengujian UU KPK yang pertama diterima MK diajukan oleh 17 pemohon yang sebagian besar adalah mahasiswa. Tak hanya uji materi, uji formil atas proses pembahasan revisi UU KPK juga dipersoalkan. Sebab, proses pembahasannya dinilai tidak memenuhi tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Permohonan itu diterima dulu dan diperiksa serta diverifikasi seperti biasa. Kalau berkas permohonannya sudah lengkap, baru diregistrasi dan dijadwalkan untuk disidangkan.
Dalam berkas permohonannya, dua alasan utama melandasi uji formil oleh pemohon, yakni revisi UU KPK tidak dilakukan secara terbuka sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan pengambilan keputusan yang tidak memenuhi kuorum.
Adapun untuk pengajuan uji materi, pemohon menilai ada kekosongan hukum dalam UU No 30/2002 tentang KPK mengenai penegakan syarat-syarat anggota KPK yang diatur di dalam Pasal 29 UU tersebut. Ketiadaan aturan itu membuat pelanggaran atas pasal itu tidak bisa ditindaklanjuti.
M Fahrudin Andryansyah juga menyatakan, Koalisi masyarat Sipil Nasional juga akan menempuh jalur konstitusional melalui MK untuk mempersoalkan UU KPK hasil revisi. Pengujian akan dilakukan setelah UU KPK yang baru diundangkan.
Tim transisi
Saat ini, KPK pun telah membentuk tim transisi untuk menganalisis UU KPK yang baru, mengidentifikasi konsekuensi terhadap kelembagaan, sumber daya manusia, dan pelaksanaan tugas KPK, baik di penindakan, pencegahan, maupun unit lain.
Tim juga merekomendasikan tindak lanjut yang perlu dilakukan bertahap pada pimpinan. Perubahan ini memang bisa memperlemah kerja KPK.
KPK saat ini masih dapat menjalankan tugas pemberantasan korupsi seperti biasa selama undang-undang baru belum ditandatangani Presiden Joko Widodo dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam jangka waktu 30 hari. ”Tapi melihat yang terjadi, sepertinya proses pengundangan akan cepat,” ujar peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Oce Madril.
Saat undang-undang itu berlaku, menurut Oce, KPK bisa mengalami kendala teknis saat akan melakukan penindakan. Bahkan, KPK terancam tak efektif dalam membuka perkara baru. Di sisi lain, peyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang saat ini tengah ditangani pun berpotensi terhenti karena wewenang penghentian perkara yang kini dimiliki KPK.
”Dengan adanya pasal itu, kemungkinan pimpinan baru akan melihat kembali perkara yang ada dan banyak sekali perkara yang masuk kategori diberikan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) karena ketentuan dalam UU baru itu sangat longar. SP3 hanya seperti cek kosong yang diberikan kepada pimpinan karena tidak ada syarat lebih lanjut,” tutur Oce.