Organisasi masyarakat sipil meminta DPR tidak mempermainkan masyarakat terkait kelanjutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi masyarakat sipil meminta DPR tidak mempermainkan masyarakat terkait kelanjutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Janji Panitia Kerja Komisi VIII DPR untuk melanjutkan pembahasan dan mengesahkan RUU itu, tanpa diikuti dengan kepastian rapat pembahasan RUU tersebut, mengundang pertanyaan, bahkan membingungkan masyarakat.
”Hingga hari ini tidak ada keputusan apa pun yang dihasilkan oleh Panja. Sama sekali belum ada jadwal untuk melanjutkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pertanyaannya, bagaimana pimpinan Panja bisa berjanji akan merampungkan pembahasan dan mengesahkan, sementara rapat tidak pernah. Berhentilah membohongi rakyat dan para korban,” ujar Fatkhurozi dari Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan, Kamis (19/9/2019), di Jakarta.
Sebelumnya, Ketua Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Marwan Dasopang, Rabu (18/9/2019), mengatakan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih berpeluang disahkan oleh DPR dan pemerintah periode ini. Bahkan, Panja DPR masih mengagendakan pengesahan RUU tersebut pada Rapat Paripurna DPR tanggal 24 September 2019.
Namun, sejumlah anggota Panja Komisi VIII DPR mengungkapkan, sudah ada kesepakatan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan dilanjutkan pembahasan oleh DPR periode berikutnya (carry over).
Melihat ketidakpastian nasib dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Fatkhurozi berharap DPR tidak kehilangan rasa kemanusiaan. Karena masyarakat, para korban/penyintas, dan keluarganya serta para pendamping korban di seluruh Indonesia tetap menanti janji dari pimpinan Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
”Sejak tahun 2017 sudah sembilan kali DPR ingkar janji dengan para korban,” papar Fatkhurozi.
Menanti kemauan DPR dan pemerintah
Zumrotin K Susilo, Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan, menegaskan, sesungguhnya kalau ada kemauan dari DPR, maka pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan bisa diselesaikan dan disahkan.
”Ini masalah kemauan anggota DPR dan pemerintah yang masih sangat lemah. Jadi, kalau ada kemauan dari kedua pihak, pasti RUU bisa digolkan,” katanya.
Dalam Dialog Publik ”Membincang Kesehatan Perempuan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RKUHP” yang digelar Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) bekerja sama dengan Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPP-RI), Kamis petang, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, anggota Panja Komisi VIII DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Diah Pitaloka (Fraksi PDI-P), Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo (Fraksi Partai Gerindra), dan Itet Tridjajati Sumarijanto (F-PDIP) juga menyampaikan soal rencana adanya carry over.
Baik Diah maupun Rahayu menyatakan sebenarnya hingga kini sebagai anggota keduanya menanti pembahasan lanjutan RUU. ”Tapi, kami tidak memegang palu,” kata Diah.
Pada diskusi tersebut, Rahayu memaparkan keterwakilan perempuan di DPR masih minim. Meskipun di Komisi VIII perempuan cukup banyak dalam proses pengambilan keputusan, walaupun suara anggota kuat, mereka anggota fraksi.
”Yang diambil sebagai keputusan di DPR adalah suara fraksi. Suara fraksi sangat tergantung dari pimpinan. Anggotanya kalau dia berani di PAW (penggantian antarwaktu). Biasanya ini berlaku dalam UU apa pun, suara fraksi yang didengar bukan anggota. Kecuali sangat kontroversial dianggap isu hangat langsung ke voting,” ujar Rahayu.