Evaluasi Sistem Pendanaan
Penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka mengindikasikan perlunya evaluasi menyeluruh sistem pendanaan olahraga di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sebagai tersangka kasus korupsi dana hibah dari pemerintah untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia menjadi peringatan keras terkait sistem pendanaan olahraga. Evaluasi mesti dilakukan menyeluruh karena korupsi bukan kasus baru di Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Pada 2012, Menpora saat itu, Andi Mallarangeng, juga diproses hukum karena kasus pembangunan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor. Andi langsung menyatakan mundur sebagai Menpora saat diumumkan sebagai tersangka oleh KPK.
Evaluasi di Kemenpora ini juga menjadi penting karena Badan Pemeriksa Keuangan pernah dua kali memberi predikat disclaimer atau tidak memberikan pendapat terkait penggunaan anggaran di kementerian itu tahun 2015 dan 2016.
”Praktik suap dan ketidakpatuhan pelaporan penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara sangat mengganggu upaya pemerintah dalam mencapai tujuannya. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk memajukan prestasi atlet dan meningkatkan kapasitas pemuda Indonesia malah dikorupsi,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Rabu (18/9/2019), di Gedung KPK, Jakarta, saat mengumumkan penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka. Imam disangka telah menerima suap Rp 26,5 miliar.
Pada Rabu (11/9), KPK juga telah menetapkan tersangka sekaligus menahan Miftahul Ulum, staf pribadi Imam. Selama 2014-2018, Imam dikatakan menerima uang Rp 14,7 miliar melalui Ulum.
Selain itu, dalam periode 2016-2018, Imam juga diduga meminta uang sejumlah Rp 11,8 miliar sehingga total yang diterima mencapai Rp 26,5 miliar. Uang itu diduga untuk kepentingan pribadi Imam dan pihak lain yang terkait.
Imam menjadi menteri kedua di pemerintahan Presiden Joko Widodo yang diproses hukum. Akhir Agustus 2018, Idrus Marham juga diproses hukum terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1. Idrus langsung menyatakan mundur sebagai Menteri Sosial saat menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dari KPK.
Konsultasi
Imam menyatakan akan mengonsultasikan terlebih dahulu masalah hukum yang menjeratnya dengan Presiden Joko Widodo. ”Saya belum tahu seperti apa karena saya harus bertemu dan melapor ke Bapak Presiden. Untuk itu saya akan menyerahkan nanti kepada Bapak Presiden karena saya ini pembantu Pak Presiden,” kata Imam di rumah dinasnya di kawasan Widya Chandra, Jakarta.
Imam pun berpesan agar asas praduga tak bersalah tetap dijunjung tinggi. Ia mengatakan, tuduhan suap yang dialamatkan kepadanya harus bisa dibuktikan oleh KPK.
Semalam, Imam didatangi sejumlah politisi dan rekannya, seperti Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Imam dan Hanif sama-sama berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sekretaris Jenderal PKB Hasanuddin Wahid menyatakan partainya menghormati keputusan KPK. PKB juga akan memberi pendampingan kepada Imam.
Pelajaran
Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Marciano Norman berharap kasus hukum yang dialami Imam menjadi peringatan keras bagi Kemenpora dan KONI. ”Hal ini tidak boleh terjadi lagi, dan ini saat yang tepat untuk mengevaluasi sistem pendanaan olahraga dari Kemenpora ke KONI.
Sistem hibah tentu bukan lagi pilihan yang tepat karena kerawanannya sangat tinggi. Harus ada sistem pendanaan yang lebih transparan dan akuntabilitasnya lebih terjamin,” ujarnya. Marciano berharap kasus Imam tidak memengaruhi persiapan tim Indonesia yang akan mengikuti World Beach Games 2019 di Qatar, 12-16 Oktober, dan SEA Games 2019 di Filipina, 30 November-10 Desember.
”Kami harap roda organisasi Kemenpora tetap berjalan baik sesuai mekanisme yang ada,” tambah Ketua Kontingen Indonesia untuk SEA Games 2019 Harry Warganegara.
Kemarin, situasi di kantor Kemenpora berjalan seperti biasa. Sepanjang kemarin, Imam tidak terlihat di kantor. Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora Asrorun Ni’am Sholeh mengaku terakhir kali berjumpa Imam pada Selasa lalu untuk membahas reformasi birokrasi.
Penangkapan
Kasus yang menjerat Imam berawal dari penangkapan KPK terhadap Deputi IV Kemenpora Mulyana, Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy, serta dua pegawai Kemenpora, Adhi Purnomo dan Eko Triyanto, pada 18 Desember 2018. Ending dan Jhonny telah diputus bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Tiga tersangka lain kini masih dalam proses persidangan.
Mengacu pada dakwaan milik lima orang itu, total dana hibah untuk KONI yang disetujui Kemenpora pada 2018 sebesar Rp 47,9 miliar. Rinciannya, Rp 30 miliar untuk pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga pada Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta Rp 17,9 miliar untuk pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi yang ditujukan bagi SEA Games 2019.
Pada prosesnya, pengajuan dana tersebut diduga melalui akal-akalan. Dalam kasus ini, suap yang diterima Imam diduga banyak yang melalui asistennya, Miftahul Ulum. Imam pernah diperiksa sebagai saksi saat penyidikan tersangka lain di KPK dan juga dalam persidangan.
Saat persidangan di Pengadilan Tipikor pada April 2019, Imam sempat ditanya jaksa mengenai disposisi kepada Deputi IV. Menurut Imam, saat sudah didisposisi, ia tak lagi bertanggung jawab, bahkan tak melakukan evaluasi.
Padahal, tugas menteri sesuai undang-undang yang sempat dibacakan Imam sendiri di hadapan majelis hakim, ia semestinya melakukan evaluasi dan pemantauan terhadap proses disposisi tersebut.
Imam juga membantah mengetahui aliran uang yang ditudingkan kepadanya, terlebih lagi melalui Ulum. Ia juga menyampaikan Ulum tak tahu perihal proposal. Namun, dalam persidangan, Ulum menyatakan hal yang sebaliknya.
(IAN/DNA/DRI/SKA/SHR)