Campur tangan asing terhadap urusan domestik Suriah sangatlah telanjang! Kekuatan asing bahkan ingin mendikte konstitusi baru kepada Suriah.
Dengan dalih melakukan upaya perdamaian, Rusia, Iran, dan Turki awal pekan ini bersepakat menulis ulang konstitusi Suriah sebagai bagian dari usaha mengakhiri konflik sembilan tahun di negara itu. Belum diketahui apa reaksi bangsa Suriah. Namun, sudah pasti, prakarsa ketiga negara mempunyai taruhan tak kecil bagi eksistensi Suriah sebagai negara-bangsa yang merdeka, berdaulat, dan independen.
Sudah menjadi pertanyaan serius, apakah prakarsa Rusia, Iran, dan Turki dapat membantu meredam konflik berdarah di Suriah, atau justru sebaliknya mengusik perasaan, menambah runyam keadaan. Tentu jelas pula, intervensi asing dimungkinkan karena kelemahan bangsa-negara Suriah sendiri, yang tidak mampu mengelola persoalan internalnya, mudah diadu domba, dan soliditas sosialnya tergolong rapuh.
Keretakan dan perpecahan itu telah dimanfaatkan kekuatan asing sebagai celah untuk campur tangan dan mengaduk-aduk Suriah. Perpecahan tidak hanya digunakan kekuatan asing, tetapi pertama-tama oleh elite politik Suriah sendiri. Para petualang politik Suriah ingin merebut kekuasaan antara lain dengan mengeksploitasi ideologi kekerasan dan radikalisme.
Namun, di luar dugaan para petualang politik, keadaan berkembang tidak terkendali dan menciptakan kerawanan bagi mereka juga. Lebih-lebih karena keadaan yang bertambah runyam tidak hanya mengundang kaum radikal kawasan dan global mengalir masuk ke Suriah, tetapi sekaligus mendorong negara besar seperti Amerika Serikat dan Rusia melakukan intervensi sebagai bagian dari tarik-menarik pertarungan pengaruh global.
Tentu saja intervensi asing dan kekuatan radikal tidak mungkin menyusup ke dalam urusan domestik jika Suriah sebagai negara-bangsa solid di level politik, ekonomi, ideologi, kebudayaan, dan sosial. Sejarah dunia sering memperlihatkan, intervensi asing dan kekuatan pengacau akan merajalela jika sendi-sendi kehidupan sebuah bangsa kedodoran.
Kasus Suriah juga memperlihatkan betapa konflik sangat mudah dimulai, tetapi tidak gampang dihentikan. Konflik yang semula berlangsung di tingkat elite dalam pertarungan dan perebutan kekuasaan kemudian pecah menjadi konflik horizontal. Idealnya, bangsa Suriah harus menyelesaikan masalahnya sendiri. Apa pun, bangsa Suriah paling tahu tentang apa yang dibutuhkannya, termasuk menyusun konstitusi.
Mediator, jika memang diperlukan, haruslah netral untuk membebaskan Suriah yang sudah kelelahan oleh konflik berdarah selama sembilan tahun. Di atas segalanya, sangatlah diharapkan, konflik Suriah akan segera berakhir. Hampir tidak ada hari berlalu tanpa jatuh korban jiwa dan kerugian harta benda tidak sedikit, sementara sekitar empat juta dari 18,5 juta penduduknya tercerabut dari akarnya, mengasingkan diri, hidup terlunta di pengungsian. Sungguh memprihatinkan!